Featured

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KEPUTUSAN BISNIS DIREKSI YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN PERSEROAN TERBATAS DALAM PERSPEKTIF DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE

I. PENDAHULUAN

Business Judgment Rule Doctrine for The Directors1.1. Latar Belakang.

Seiring dengan berkembangnya dunia usaha (bisnis) dalam skala nasional maupun internasional, maka tidaklah berlebihan apabila berbagai pihak melihat dunia usaha (bisnis) perlu dikaji lebih komprehensif, terutama dalam kacamata hukum bisnis itu sendiri, baik dalam sudut pandang teoritis maupun praktis. Apabila berbicara mengenai persoalan bisnis saat ini, hampir tidak ada lagi sekat – sekat antar negara di dunia. Karena dalam beberapa dekade terakhir ini, mobilitas bisnis melintas antar negara begitu cepatnya. Maka dari itu, tanpa terasa norma hukum maupun karakteristik dari perusahaan yang akan melakukan kegiatannya di suatu negara sedikit banyak juga akan dipengaruhi oleh sistem hukum dari negara asal perusahaan masing – masing yang bersangkutan. Di sisi lain, bagi pelaku usaha / bisnis yang akan melakukan kegiatan bisnisnya di luar negeri harus memahami bagaimana ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut, khususnya yang berkaitan dengan bentuk badan usaha yang akan didirikan dalam hal ini, Perseroan Terbatas (PT).

Perseroan Terbatas adalah Badan Hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang – undang[1]. Apabila ditelusuri lebih lanjut, mengapa para pelaku usaha lebih cenderung memilih Perseroan Terbatas sebagai bentuk usaha, tentu ada beberapa alasan, yakni kontinuitas badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas tidak tergantung dari pribadi para pemilik akan tetapi dari akumulasi modal yang terkumpul. Di dalam badan usaha Perseroan Terbatas terdapat pemisahan tanggung jawab antara pemilik perusahaan dengan perusahaan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena Perseroan Terbatas setelah memenuhi prosedur tertentu diakui sebagai badan hukum dan mempunyai hak dan kewajiban sama halnya dengan individu.

Perseroan Terbatas atau Perseroan adalah entitas hukum (legal entity) yang digunakan sebagai kendaraan bisnis (business vechile) di era modern untuk memenuhi hampir semua bidang kehidupan manusia, khususnya perekonomian. Perseroan sebagai makhluk atau subyek hukum artificial disahkan oleh negara menjadi badan hukum memang tetap tidak bisa dilihat dan tidak bisa diraba (invicible and intangible). Akan tetapi, eksistensinya riil ada sebagai subyek hukum yang terpisah (separate) dan bebas (independent) dari pemiliknya atau pemegang sahamnya maupun Direksi Perseroannya.

Secara terpisah dan independen, Perseroan melalui pengurus yang dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling, legal act), seperti melakukan kegiatan untuk dan atas nama Perseroan membuat perjanjian, transaksi, menjual aset dan menggugat atau digugat serta dapat hidup dan bernafas sebagaimana layaknya manusia (human being) selama jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar belum berakhir[2]. Oleh karena Perseroan hanyalah artificial legal person, maka Perseroan tidak memiliki kehendak dan tidak dapat bertindak sendiri. Untuk itu, diperlukan orang – orang yang menjalankan, mengurus dan mengawasi Perseroan. Inilah yang disebut dengan Organ Perseroan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Dari ketiga Organ Perseroan tersebut, Direksi memiliki peran utama dalam Perseroan. Adapun tugas utama Direksi, yaitu menjalankan dan melaksanakan “pengurusan” (beheer, administration or management) Perseroan. Pasal 97 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa pengurusan tersebut wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan i’tikad baik dan penuh tanggung jawab. Dalam mengurus Perseroan, Direksi harus berorientasi pada kepentingan Perseroan[3].

Menurut undang – undang, Direksilah yang dipercayakan untuk mengurus Perseroan. Selain itu, tugas kedua dari Direksi adalah tugas perwakilan. Maksudnya, siapa yang berwenang mewakili Perseroan sekiranya perlu dilakukan tindakan – tindakan untuk dan atas nama Perseroan. Dalam hal ini, Direksilah yang berwenang untuk mewakili Perseroan untuk segala tindakan yang harus dijalankan untuk dan atas nama Perseroan, baik untuk tindakan intern ke dalam maupun untuk tindakan ekstern terhadap pihak ketiga, termasuk untuk mewakili Perseroan dalam Pengadilan[4].

Kepengurusan Perseroan Terbatas sehari – hari dilakukan oleh Direksi. Keberadaan Direksi dalam suatu Organ Perseroan merupakan suatu keharusan dengan kata lain Perseroan wajib memiliki Direksi. Hal ini dikarenakan Perseroan sebagai artificial person, yang mana Perseroan tidak dapat berbuat apa – apa tanpa adanya bantuan dari anggota Direksi sebagai natural person[5]. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2, Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan. Selanjutnya, Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, memerintahkan dalam Anggaran Dasar harus dimuat maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan. Hal inilah yang diperingatkan Pasal 92 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Direksi dalam menjalankan kewenangan pengurusan Perseroan, tidak boleh melampaui batas – batas maksud dan tujuan yang ditentukan dalam Anggaran Dasar. Tindakan yang demikian dianggap mengandung “ultra vires” dan kategori sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of authority)[6].

Istilah ultra vires diterapkan dalam arti luas, yakni termasuk tidak hanya kegiatan yang dilarang oleh Anggaran Dasar, tetapi termasuk juga tindakan yang dilarang, tetapi melampaui yang diberikan kepadanya. Istilah ini diterapkan juga tidak hanya jika Perseroan melakukan tindakan yang ia miliki kewenangannya, tetapi dilaksanakan secara tidak teratur (irregular). Bahkan, lebih jauh lagi, suatu tindakan digolongkan sebagai ultra vires bukan hanya jika tindakan itu melampaui kewenangan baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam Anggaran Dasar, tetapi juga jika tindakan itu bertentangan dengan peraturan perundang – undangan ataupun ketertiban umum[7].

Wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Direksi suatu Perseroan didasarkan atas posisinya sebagai Organ Perseroan, artinya sebagai alat perlengkapan Perseroan (badan hukum). Dalam posisinya sebagai Organ Perseroan dalam bertindak dibatasi atas wewenang yang diberikan kepadanya selaku pihak yang mewakili Perseroan. Seseorang yang menduduki posisi sebagai Direksi kemungkinan bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan untuk Perseroan yang diwakilinya. Hal ini bisa terjadi apabila ia melakukan suatu tindakan atas perbuatan yang tidak menjadi wewenangnya atau melampaui batas wewenangnya.

Dalam rangka menjalankan bidang usaha Perseroan, keputusan demi keputusan harus diambil oleh Direksi, baik keputusan yang sifatnya administratif, maupun keputusan bisnis yang terkait dengan bidang usaha Perseroan. Di dalam praktek, suatu keputusan bisnis yang diambil oleh Direksi dengan mempertimbangkan berbagai faktor di lapangan, seperti sumber bahan baku barang produksi, alat produksi, kualitas hasil produksi, area distribusi, rencana dan strategi pemasaran, mitigasi resiko bisnis, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, informasi yang tepat dan akurat sangatlah diperlukan sebagai bahan pertimbangan Direksi sebelum mengambil suatu keputusan bisnis yang akan menentukan untung ruginya Perseroan. Namun demikian, adakalanya suatu keputusan bisnis yang diambil oleh Direksi ternyata salah karena adanya faktor – faktor lain yang tidak diperhitungkan oleh Direksi, sehingga alih – alih mengambil suatu keputusan untuk memperoleh keuntungan bagi Perseroan, ternyata justru mengakibatkan kerugian bagi Perseroan. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan Direksi dapat bertanggung jawab secara pribadi apabila ternyata dalam melakukan pengurusan Perseroan dan mengambil keputusan bisnis untuk kepentingan Perseroan tidak dilandasi dengan prinsip kehati – hatian, tidak jujur (beritikad tidak baik), serta terbukti melakukan ultra vires. Namun, apabila Direksi telah menerapkan prinsip kehati – hatian, tidak melakukan ultra vires, serta telah menjalankan tanggung jawabnya dengan didasari i’tikad baik, maka atas kerugian Perseroan tersebut belum tentu dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi terhadap Direksi atau pertanggungjawabannya dibebankan sepenuhnya kepada pundak seorang Direksi.

Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu kaidah yang dijadikan sebagai kerangka berpikir dan bertindak bagi seorang Direksi agar terhindar dari tuntutan yang berdampak pada pertanggungjawaban hukum secara pribadi terhadap Direksi. Dalam ruang lingkup Hukum Perseroan dikenal dengan adanya prinsip atau doktrin Business Judgement Rule.

Salah satu hal yang terkait dengan perihal kewenangan Direksi adalah soal prinsip atau doktrin Business Judgement Rule. Prinsip atau doktrin ini mendalilkan bahwa seorang Direktur tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai Direktur, bila Direktur meyakini bahwa tindakan yang dilakukan adalah yang terbaik untuk Perseroan Terbatas dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik demi kepentingan Perseroan. Jadi, Business Judgement Rule yang demikian itu dikategorikan kebijaksanaan yang fair dan masuk akal[8]. Doktrin Business Judgement Rule merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu putusan Direksi mengenai aktifitas Perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun putusan tersebut kemudian salah atau merugikan Perseroan[9].

Doktrin putusan bisnis (Business Judgement Rule) yang merupakan cermin dari kemandirian dan diskresi dari Direksi dalam memberikan putusan bisnisnya merupakan perlindungan bagi Direksi – Direksi yang beritikad baik dalam menjalankan tugas – tugasnya selaku Direksi. Hanya salah dalam mengambil putusan (mere error of judgement) atau kesalahan yang jujur (honest mistake) tidak dapat dipikulkan tanggung jawabnya kepada Direksi. Doktrin Business Judgement Rule ini berdampingan dengan doktrin – doktrin lain yang lebih memberatkan posisi Direksi, seperti doktrin Fiduciary Duty, Due Care and Loyalty, Derivative Suit, Piercing The Corporate Veil, Ultra Vires, Proper Purpose, dan lain – lain. Masing – masing doktrin tersebut menekankan pada bidang tertentu yang berbeda. Di lain pihak, demi memenuhi tuntutan keadilan, maka doktrin Business Judgement Rule berbeda dalam langkah operasionalnya. Ada Direksi yang dibebankan tanggung jawab yang besar atas putusan bisnisnya, seperti Direksi Bank, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Pengelola Dana (Mutual Funds), dan Perusahaan Publik atau Perusahaan Terbuka. Disamping itu, ternyata sampai batas – batas tertentu dan dalam suatu koridor tertentu, Undang – Undang tentang Perseroan Terbatas memberlakukan pula doktrin putusan bisnis (Business Judgement Rule) sehingga permasalahan ini menjadi semakin semarak dan menarik untuk didiskusikan[10].


1.2. Rumusan Permasalahan.

Berdasarkan uraian dari isu hukum yang dirangkum dalam suatu latar belakang permasalahan tersebut di atas, sehingga substansi pembahasan dalam penulisan ini difokuskan dengan tema atau judul yang dimaksud. Oleh karena itu, diperoleh beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Apa saja ruang lingkup tugas dan wewenang, serta tanggung jawab seorang Direksi selaku Organ Perseroan Terbatas?
  2. Apakah keberadaan Doktrin Business Judgement Rule telah diakomodir dan ditentukan dalam Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?
  3. Bagaimana bentuk perlindungan hukum atas keputusan bisnis Direksi yang mengakibatkan kerugian Perseroan berdasarkan doktrin Business Judgement Rule?

II. PEMBAHASAN


2.1. Tinjauan Yuridis mengenai Ruang Lingkup Definisi, Konsep, dan Organ Perseroan Terbatas.


2.1.1. Definisi Perseroan Terbatas.

Istilah Perseroan Terbatas (PT) yang digunakan dewasa ini, dulunya dikenal dengan istilah Namlooze Vennotschap (NV). Sebutan “naamloos” dalam arti tanpa nama disebabkan karena NV itu tidak mempunyai nama seperti firma pada umumnya, juga tidak mempergunakan salah satu nama dari anggota perseronya, identifikasinya adalah obyek perusahaan[11]. Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum, artinya bahwa ia dapat mengikatkan diri dan melakukan perbuatan – perbuatan hukum seperti orang pribadi (natuurlijk persoon) dan dapat mempunyai kekayaan atau utang[12].

Istilah Perseroan Terbatas terdiri dari dua kata, yaitu “Perseroan” dan “Terbatas”. Perseroan merujuk pada modal Perseroan Terbatas yang terdiri atas sero – sero atau saham – saham. Kata Terbatas merujuk pada tanggung jawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nominal semua saham yang dimilikinya[13]. Dasar pemikiran bahwa modal Perseroan terdiri atas sero – sero atau saham – saham dapat ditelusuri dari ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yakni:

“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam saham dan memenuhi persyaratan dan ketentuan dalam undang – undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.

Penunjukkan terbatasnya tanggung jawab pemegang saham tersebut dapat dilihat dari Pasal 3 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menentukan bahwa:

“Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi nilai saham yang dimilikinya”.

Definisi otentik Perseroan Terbatas ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dimana pasal ini menyatakan bahwa Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Dari definisi itu dapat ditarik unsur – unsur yang melekat pada Perseroan, yakni:

    1. Perseroan Terbatas merupakan merupakan badan hukum.
    2. Perseroan Terbatas adalah persekutuan modal.
    3. Perseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian.
    4. Perseroan Terbatas melakukan kegiatan usaha.
    5. Modal Perseroan Terbatas terdiri atas saham – saham.

Definisi – definisi lain yang diberikan kepada suatu Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut:

    1. Suatu manusia semu yang diciptakan oleh hukum baik dari 1 (satu) orang anggota (jika hukum menginginkan untuk itu), yakni disebut dengan perusahaan 1 (satu) orang (corporation sole) maupun yang terdiri dari sekumpulan atau beberapa orang anggota, yakni yang disebut dengan perusahaan banyak orang (corporation aggregate), dan
    2. Suatu badan intelektual (intellectual body) yang diciptakan oleh hukum, yang terdiri dari dari beberapa individu, yang bernaung di bawah nama bersama, dimana Perseroan Terbatas tersebut sebagai badan intelektual tetap sama dan eksis meskipun para anggotanya sering berubah – ubah.

Ilmu hukum mengenal 2 (dua) macam subyek hukum, yaitu subyek hukum pribadi (natuurlijk persoon) dan subyek hukum yang berbentuk badan hukum (rechts persoon). Terhadap masing – masing subyek hukum tersebut, berlaku ketentuan hukum yang berbeda satu sama lainnya, meskipun dalam hal – hal tertentu terhadap keduanya dapat diterapkan suatu aturan yang berlaku umum. Salah satu ciri khas yang membedakan subyek hukum berupa badan hukum (rechts persoon) adalah lahirnya subyek hukum tersebut yang pada akhirnya akan menentukan saat lahirnya hak – hak dan kewajiban – kewajiban bagi masing – masing subyek hukum tersebut. Pada subyek hukum pribadi (natuurlijk persoon), status subyek hukum dianggap telah ada, bahkan pada saat pribadi orang – perorangan tersebut dalam kandungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Sedangkan pada subyek hukum yang berbentuk badan hukum (rechts persoon), keberadaan status badan hukumnya baru diperoleh setelah ia memeproleh pengesahan dari pejabat yang berwenang, yang memberikan hak – hak, kewajiban – kewajiban, dan pemisahan harta kekayaan pribadi sang pendiri, pemegang saham, maupun para pengurusnya.

Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) tiada satu pasalpun yang menentukan bahwa Perseroan Terbatas sebagai badan hukum. Akan tetapi, dalam Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, secara tegas diatur dalam Pasal 1 angka 1, bahwa Perseroan adalah badan hukum. Ini berarti, Perseroan tersebut telah memenuhi syarat dan kedudukan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri dan terpisah dengan harta kekayaan pribadi para pengurus, pendiri atau pemegang sahamnya.

Perseroan Terbatas merupakan badan usaha dan besar modalnya Perseroan tercantum dalam Anggaran Dasar. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliki harta kekayaan sendiri. Setiap orang dapat memiliki harta kekayaan sendiri. Setiap orang dapat memiliki lebih dari satu saham sebagai bukti pemilikan perusahaan. Pemilik saham mempunyai tanggung jawab yang terbatas, yaitu sebanyak saham yang dimiliki. Apabila utang perusahaan melebihi kekayaan perusahaan, maka kelebihan utang tersebut tidak menjadi tanggung jawab para pemegang saham. Apabila perusahaan mendapat keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagikan sesuai dengan  ketentuan yang ditetapkan. Pemilik saham akan memperoleh bagian keuntungan yang disebut Dividen yang besarnya tergantung pada besar atau kecilnya keuntungan yang diperoleh Perseroan Terbatas. Selain berasal dari saham, modal Perseroan Terbatas dapat pula berasal dari obligasi. Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi adalah mereka mendapatkan bunga tetap tanpa menghiraukan untung atau ruginya Perseroan Terbatas tersebut.


2.1.2. Konsep Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum.

Dalam ilmu hukum dikenal dengan konsep subyek hukum, yaitu segala sesuatu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Sesuatu yang dapat menjadi subyek hukum adalah manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechts persoon)[14]. Badan hukum sebagai subyek hukum menurut pendapat dari Satjipto Raharjo merupakan hasil konstruksi fiktif dari hukum yang kemudian diterima, diperlakukan dan dilindungi seperti halnya hukum memberikan perlindungan terhadap manusia[15].

Pada dasarnya badan hukum adalah suatu badan yang dapat memiliki hak – hak dan kewajiban – kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan seperti manusia, memiliki kekayaan sendiri, dan digugat maupun menggugat di Pengadilan. Badan hukum ini adalah rekayasa manusia untuk membentuk suatu badan yang memiliki status, kedudukan, dan kewenangan yang sama, seperti manusia. Oleh karena badan hukum ini merupakan hasil rekayasa manusia, maka badan hukum ini disebut artificial person.

Istilah persoon (orang) mencakup makhluk pribadi, yakni manusia (natuurlijk persoon, natural person) dan badan hukum (persona moralis, legal person, legal entity, rechts persoon). Keduanya adalah subyek hukum, sehingga keduanya adalah penyandang sebagaimana yang dikatakan oleh J. Satrio, keduanya memiliki hak dan/atau kewajiban yang diakui hukum[16]. Oleh karena badan hukum adalah subyek hukum, maka badan hukum merupakan badan yang independen atau mandiri, yang terlepas dari pendiri, anggota, atau penanam modal badan tersebut. Badan ini dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri seperti manusia. Bisnis yang dijalankan, kekayaan yang dikuasai, kontrak yang dibuat semata – mata atas nama badan itu sendiri. Badan ini seperti halnya manusia memiliki kewajiban – kewajiban hukum, seperti membayar pajak dan mengajukan ijin kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri.

Nindyo Pramono berpendapat bahwa filosofi pendirian badan hukum adalah dengan kematian pendirinya, harta kekayaan badan hukum tersebut diharapkan masih dapat bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, hukum menciptaka suatu kreasi “sesuatu” yang oleh hukum kemudian dianggap atau diakui sebagai subyek mandiri seperti halnya orang. Kemudian, “sesuatu” itu oleh ilmu hukum disebut sebagai badan hukum. Agar badan hukum itu dapat bertindak seperti halnya orang alamiah, maka diperlukan organ sebagai alat bagi badan hukum itu untuk menjalin hubungan hukum dengan pihak ketiga[17].

Secara teori, baik di negara Common Law maupun Civil Law dikenal beberapa ajaran atau doktrin yang menjadi landasan teoritik keberadaan badan hukum. Ada beberapa konsep terkemuka tentang personalitas badan hukum (legal personality), yakni:[18]

1. Legal Personality as Legal Person.
Menurut konsep ini, badan hukum adalah ciptaan atau rekayasa manusia, badan merupakan hasil suatu fiksi manusia. Kapasitas hukum badan ini didasarkan pada hukum positif, maka negara mengakui dan menjamin personalitas hukum badan tersebut. Badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban tersebut diperlakukan sama dengan manusia “real person”.

2. Corporate Realism.
Menurut konsep ini, personalitas hukum suatu badan hukum berasal dari suatu kenyataan dan tidak diciptakan oleh proses inkorporasi, yakni pendirian badan hukum yang didasarkan pada peraturan perundang – undangan. Suatu badan hukum tidak memiliki personalitas sendiri yang diakui negara. Personalitas hukum ini tidak didasarkan pada fiksi, tetapi didasarkan pada kenyataan ilmiah layaknya manusia. Di dalam pendekatan yang demikian, ada kesulitan untuk menjelaskan mengapa beberapa badan seperti persekutuan perdata dan perkumpulan yang tidak berbadan hukum (unincorporated association) yang juga ada dalam realitas, di sejumlah negara tidak diakui sebagai badan hukum.

3. Theory of the Zweckvermogen.
Menurut konsep inis uatu badan hukum terdiri atas sejumlah kekayaan yang digunakan untuk tujuan tertentu. Teori ini dapat ditelusuri ke dalam sistem hukum yang menentukan seperti hukum Jerman bahwa institusi dalam hukum publik (anstalten) dan endowment dalam hukum perdata (stiftungen) adalah badan hukum yang ditentukan oleh suatu obyek dan tujuan, dan tidak ditentukan oleh individual anggotanya.

4. Aggregation Theory.
Teori agregasi ini disebut juga sebagai teori “symbolist” atau teori “bracker”, dalam versi modern dikenal sebagai “corporate nomanalism” secraa teori berhubungan dengan teori fiksi. Pandangan individualistik ini menyatakan bahwa makhluk (human being) dapat menjadi subyek atau penyandang hak dan kewajiban timbul atau lahir dari hubungan hukum dan oleh karenanya benar – benar menjadi badan hukum. Menurut konsep personalitas korporasi, badan hukum ini adalah semata – mata suatu nama bersama (collective name), suatu simbol bagi para anggota korporasi.

5. Modern Views on Legal Personality.
Hukum nasional modern dewasa ini menggabungkan antara realist dan ficsionist theory dalam mengatur hubungan bisnis domestik dan internasional, di satu sisi mengakui realitas sosial yang ada di belakang personalitas hukum, dan disisi lain, memperlakukan badan hukum dalam sejumlah aspek sebagai suatu fiksi.

Konsep Perseroan sebagai badan hukum yang kekayaannya terpisah dari para pemegang saham merupakan sifat yang dianggap penting bagi status Perseroan sebagai suatu badan hukum yang membedakan dengan bentuk – bentuk Perseroan yang lain. Sifat terbatasnya tanggung jawab secara singkat merupakan pernyataan dari prinsip bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas kewajiban sebagai badan hukum yang kekayaannya terpisah dari pemegang sahamnya. Prinsip “continuity of existence[19] menegaskan tentang pemisahan kekayaan korporasi dengan pemiliknya. Badan hukum itu sendiri tidak dipengaruhi oleh kematian atau pailitnya pemegang saham. Badan hukum juga tidak dipengaruhi oleh perubahan struktur “kepemilikan” Perseroan. Sebagai akibatnya, saham – saham Perseroan diperdagangkan secara bebas[20].

Teori selanjutnya mengenai badan hukum dikemukakan oleh H.M.N. Purwosutjipto yang berpendapat bahwa ada beberapa syarat agar suatu badan dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Persayaratan agar suatu badan dapat dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan:[21]

    1. Adanya harta kekayaan (hak – hak) dengan tujuan tertentu yang terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan itu. Tegasnya, ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para sekutu.
    2. Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama.
    3. Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.

Ketiga unsur di atas merupakan unsur materiil (substantif) bagi suatu badan hukum. Kemudian persyaratan lainnya adalah persyaratan yang bersifat formil, yakni adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu badan adalah badan hukum.

Perseroan atau korporasi (corporation) merupakan perkumpulan yang berbadan hukum memiliki beberapa ciri substantif yang melekat pada dirinya, yakni:[22]

  1. Terbatasnya tanggung jawab.
    Pada dasarnya, para pendiri atau pemegang saham atau anggota suatu korporasi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian atau utang korporasi. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas jumlah maksimum nominal saham yang ia kuasai. Selebihnya ia tidak bertanggung jawab.
  2. Perpectual succesion.
    Sebagai sebuah korporasi yang eksis atas haknya sendiri, perubahan keanggotaan tidak memiliki akibat atas status atau eksistensinya, bahkan dalam konteks Perseroan Terbatas, pemegang saham dapat mengalihkan saham ia miliki kepada pihak ketiga. Pengalihan tidak menimbulkan masalah kelangsungan Perseroan yang bersangkutan. Bahkan, bagi Perseroan yang masuk dalam kategori Perseroan Terbuka dan sahamnya terdaftar di suatu bursa efek (listed), terdapat kebebasan untuk mengalihkan saham tersebut.
  3. Memiliki kekayaan sendiri.
    Semua kekayaan yang ada dimiliki oleh badan itu sendiri. Kekayaan tidak dimiliki oleh pemilik, anggota, atau pemegang saham. Ini adalah suatu kelebihan utama badan hukum. Dengan demikian, kepemilikan kekayaan tidak didasarkan pada anggota atau pemegang saham.
  4. Memiliki kewenangan kontraktual serta dapat menuntut dan dituntut atas nama dirinya sendiri.
    Badan hukum sebagai subyek hukum diperlakukan seperti manusia yang memiliki kewenangan kontraktual. Badan itu dapat mengadakan hubungan kontraktual atas nama dirinya sendiri. Sebagai subyek hukum, badan hukum dapat dituntut dan menuntut di Pengadilan.

Reiner R. Kraakman menyebutkan bahwa suatu Perseroan biasanya memiliki 5 (lima) karakteristik yang penting, yaitu mempunyai personalitas hukum, terbatasnya tanggung jawab, adanya saham yang dapat dialihkan, manajemen terpusat di bawah struktur Dewan Direksi, dan kepemilikan saham oleh penanam modal. Setiap korporasi pada umumnya didirikan berdasarkan undang – undang yang mencakup 5 (lima) karakteristik tersebut, kecuali jika pendiri korporasi tersebut (dan diperbolehkan oleh undang – undang) membuat aturan khusus tersendiri yang meniadakan salah satu dari karakteristik tersebut di atas[23].

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa, Perseroan Terbatas adalah subyek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, memiliki kekayaan, dapat dituntut dan menuntut di hadapan Pengadilan atas namanya sendiri, namun tidak sebagaimana manusia, Perseroan sebagai badan hukum tidak memiliki daya pikir, kehendak, dan kesadaran diri. Oleh karena itu, Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan dan hubungan sendiri. Perseroan harus bertindak dengan perantaraan orang alamiah yang menjadi pengurus badan hukum tersebut. Perbuatan pengurus tersebut bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dan atas nama, serta tanggung jawab badan hukum.


2.1.3. Organ – Organ Perseroan Terbatas.

Perseroan Terbatas sebagai artificial person atau subyek hukum buatan tidak mungkin dapat bertindak sendiri. Kondisi ini berbeda dengan manusia, yang secara alami sudah diberi alat perlengkapan untuk melakukan perbuatan – perbuatan dalam aktifitas hidupnya. Karena Perseroan Terbatas merupakan subyek buatan, diperlukan orang – orang yang memiliki kehendak menjalankan Perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian Perseroan[24].

Perseroan adalah badan hukum. Hal ini berarti bahwa Perseroan merupakan subyek hukum dimana Perseroan sebuah badan yang dapat dibebani hak dan kewajiban seperti halnya manusia pada umumnya. Oleh karena itu, sebagai badan hukum Perseroan Terbatas mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dengan kekayaan sendiri yang terpisah dengan kekayaan pengurusnya, dituntut dan menuntut di hadapan Pengadilan atas namanya sendiri[25]. Perseroan Terbatas mempunyai alat yang disebut organ Perseroan, gunanya untuk menggerakkan Perseroan agar badan hukum dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris.

Terhadap hubungan ketiga Organ Perseroan tersebut, menurut Rudhi Prasetya terdapat dua pandangan. Pertama adalah pandangan klasik dimana kekuasaan Direksi dan Komisaris berasal dari limpahan Rapat Umum Pemegang Saham. Karenanya, dalam menjalankan kebijaksanaannya, Direksi bertindak untuk kepentingan para pemegang saham. Kedua, yang merupakan pandangan mutakhir, dimana kedudukan ketiga organ tersebut adalah sederajat, wewenang Direksi dan Komisaris diperoleh berdasarkan kekuatan undang – undang dan/atau Anggaran Dasar, yang tidak boleh dicampuri oleh organ yang satu terhadap yang lain. Sehingga, tindakan Direksi adalah untuk kepentingan Perseroan (het vennotschapbelang). Pandangan terakhir ini dianut oleh Undang – Undang tentang Perseroan Terbatas.

Pada hakikatnya suatu Perseroan Terbatas memiliki 2 (dua) sisi, yaitu pertama sebagai suatu badan hukum, dan kedua pada sisi yang lain adalah wadah atau tempat diwujudkannya kerja sama antara para pemegang saham, atau pemilik modal[26]. Sebagai suatu subyek hukum yang mandiri, maka keberadaan Perseroan Terbatas (PT) tidak bergantung dari keberadaan para Pemegang Sahamnya, para anggota Direksi, dan Dewan Komisaris. Pergantian Pemegang Saham, Direksi, dan / atau Komisaris tidak mempengaruhi keberadaan Perseroan Terbatas (PT) selaku “persona standi in judicio”.

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Pemegang saham di dalam Perseroan tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka tidak boleh mencampuri pengelolaan perusahaan. Pemegang saham itu baru memiliki kekuasaan tertentu terhadap Perseroan jika mereka bertemu dalam satu forum yang disebut RUPS[27]. Rapat Umum Pemegang Saham (yang selanjutnya disebut RUPS) adalah Organ Perseroan Terbatas yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris[28]. Agar dapat menilai pernyataan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) memiliki kekuasaan tertinggi dalam Perseroan Terbatas (PT), perlu dibedakan antara kewenangan yang diberikan oleh undang – undang (de jure) kepada Pemegang Saham dan kekuasaan de facto yang dijalankan oleh Rapat Umum Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas tertentu[29]. RUPS adalah organ perwujudan kepentingan Pemegang Saham. Agar Pemegang Saham tidak menjadi penanggung jawab kewajiban Perseroan, maka ada organ pengurus dan pengawas Perseroan, yaitu Direksi dan dewan Komisaris[30].
Forum ini merupakan metode terbaik untuk mengambil keputusan. Tujuan diadakannya Rapat Umum Pemegang Saham, baik berdasarkan peraturan perundang – undangan maupun Anggaran Dasar adalah untuk memungkinkan Pemegang Saham memiliki kesempatan untuk mengetahui dan mengevaluasi kegiatan kegiatan Perseroan dan manajemen Perseroan pada waktu yang tepat tanpa turut campur tangan terhadap Perseroan, manakala Perseroan melakukan kegiatan bisnis[31]. Dalam hukum Perseroan Indonesia, suatu Rapat Umum Pemegang Saham dikatakan sah jika forum dihadiri oleh dua orang Pemegang Saham. Oleh karena Perseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian, maka pendiri atau Pemegang Saham Perseroan Terbatas minimal harus ada dua orang[32].
Pasal 1 angka 4 juncto Pasal 78 ayat (1) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang – undang mengenai batas – batas dan ruang lingkup kewenangan yang dapat dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam suatu Perseroan Terbatas, tetapi dapat ditarik beberapa pedoman sebagai berikut:[33]

    1. RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku.
    2. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan Anggaran Dasarnya. Namun demikian, Anggaran Dasar dapat diubah oleh RUPS asalkan memenuhi syarat untuk itu.
    3. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan kepentingan stakeholders, seperti Pemegang Saham Minoritas, karyawan, kreditur, masyarakat sekitar, dan sebagainya.
    4. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang merupakan kewenangan Direksi dan Dewan Komisaris, sejauh kedua organ perusahaan tersebut tidak menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip kewenangan residual dari RUPS.

Rapat Umum pemegang Saham (RUPS) sebagai Organ Perseroan Terbatas memiliki beberapa kewenangan eksklusif tertentu yang diberikan Undang – Undang tentang Perseroan Terbatas. Kewenangan tersebut berkaitan dengan:[34]

    1. Penetapan perubahan Anggaran Dasar.
    2. Pembelian kembali saham oleh Perseroan atau pengalihannya.
    3. Penambahan modal Perseroan.
    4. Pengurangan modal Perseroan.
    5. Persetujuan rencana kerja tahunan.
    6. Pengesahan neraca dan laporan keuangan Perseroan.
    7. Persetujuan laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta laporan pengawasan dan komisarisnya.
    8. Penetapan penggunaan laba.
    9. Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris.
    10. Penetapan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
    11. Penetapan pembubaran Perseroan.

Kewenangan di atas diperoleh berdasarkan kesepakatan hak suara para Pemegang Saham. Tempat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dilakukan harus terletak di wilayah Negara Republik Indonesia. Dalam hak Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tidak diadakan tempat kedudukan ataupun di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya, maka keputusan hanya dapat diambil bila keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat. RUPS dapat diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar, RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa dimana saham Perseroan dicatatkan, RUPS juga dapat diadakan dimanapun jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua Pemegang Saham dan semua Pemegang Saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu.
RUPS pada hakikatnya adalah wadah dimana Para Pemegang Saham berhimpun untuk memperjuangkan kepentingannya, yang dalam mengambil keputusan akan berakhir dengan pemungutan suara. Maka untuk sahnya RUPS, merupakan syarat mutlak semua Pemegang Saham harus diberitahu jika diadakan RUPS, sehingga untuk menjadikan pertimbangan bagi Pemegang Saham, menurut kepentingannya, apakah ia perlu merasa hadir atau tidak dalam RUPS yang diadakan[35]. RUPS dapat diselenggarakan dalam bentuk pertemuan fisik, dimana Para Pemegang Saham berkumpul di suatu tempat pada hari dan jam yang ditentukan. Dalam penyelenggaraan RUPS ini tidak menjadi persyaratan utama bahwa seluruh Pemegang Saham yang hadir harus berada dalam satu ruangan yang sama. Sepanjang diantara mereka bisa berinteraksi satu sama lain ketika RUPS berlangsung, maka selama itu pula RUPS yang diadakan itu sah. Bentuk penyelenggaraan RUPS lainnya yang diperkenankan melalui Pasal 77 Undang – Undang tentang Perseroan Terbatas, adalah dengan cara dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi di dalamnya. Untuk itu, harus dibuatkan risalah rapat yang ditandatangani semua peserta RUPS. Penandatanganannya dapat dilakukan secara fisik atau elektronik.
Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengenal 2 (dua) macam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pasal 78 ayat (1) menyebutkan, Bahwa Rapat Umum Pemegang Saham terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (annual general meetings) dan Rapat Umum Pemegang Saham lainnya. Rapat Umum Pemegang Saham lainnya adalah apa yang di dalam masyarakat atau dikenal atau praktik dikenal sebagai Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (extra ordinary general meetings). Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir, sedangkan Rapat Umum Pemegang Saham lainnya atau Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan, semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan harus diajukan[36].
Biasanya Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) diadakan untuk membahas dan mengambil keputusan atas masalah – masalah yang timbul secara mendadak dan memerlukan penanganan segera. Jika tidak segera dilakukan penanganan terhadap permasalahan tersebut akan menghambat operasionalisasi Perseroan Terbatas. Adapun Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan antara lain bertujuan untuk menilai kegiatan Perseroan Terbatas pada tahun yang lampau dan rencana kegiatan Direksi pada tahun berikutnya[37].
Organ Perseroan Terbatas yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) adalah Direksi. Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham adalah wewenang Direksi. Dalam hal – hal tertentu (Direksi berhalangan atau ada pertentangan kepentingan antara Direksi dengan Perseroan) sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, maka pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan oleh Komisaris. Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), baik Rapat Umum Pemegnag Saham (RUPS) Tahunan maupun Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), dapat pula dilaksanakan atas permintaan:[38]

    1. 1 (satu) orang Pemegang Saham atau lebih yang bersama – sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau suatu jumlah yang lebih kecil bila diperbolehkan oleh Anggaran Dasar Perseroan. Atau
    2. Komisaris.

Pasal 91 Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar Rapat Umum Pemegang Saham dengan syarat Pemegang Saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 91 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pengambilan keputusan di luar Rapat Umum Pemegang Saham” dalam praktik dikenal dengan usul keputusan yang diedarkan (circular resolution). Ditambahkan lagi oleh penjelasan Pasal tersebut bahwa pengambilan keputusan seperti dilakukan tanpa diadakan Rapat Umum Pemegang Saham secara fisik, keputusan diambil dengan cara mengirim secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham dan usul tersebut disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham. Terakhir, penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “keputusan yang mengikat” adalah keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham[39].
Direksi atau Dewan Komisaris memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham, namun dalam hal tertentu Pemegang Saham juga dapat meminta kepada Direksi untuk diselenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham. Apabila permohonan tersebut ditolak atau tidak dilaksanakan oleh Direksi, pemohon dapat meminta dapat meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham dimaksud. Dalam kondisi semacam ini penetapan tersebut memiliki peranan penting untuk mengatasi kebuntuan pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham.[40]
Dalam hal Direksi atau Komisaris tidak melakukan sendiri pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham diterima, maka pemohon yakni Pemegang Saham yang meminta penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. Permohonan tersebut diajukan untuk meminta penetapan ijin kepada pemohon untuk melakukan sendiri pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham[41].
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri tersebut menurut Pasal 80 ayat (3) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, memuat juga mengenai:[42]

    1. Bentuk Rapat Umum Pemegang Saham, mata acara Rapat Umum Pemegang Saham sesuai dengan permohonan Pemegang Saham, jangka waktu pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham, kuorum kehadiran, dan / atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atau Anggaran Dasar. Dan / atau
    2. Perintah yang mewajibkan Direksi dan / atau Dewan Komisaris untuk hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham.

Ketua Pengadilan Negeri akan menolak permohonan tersebut apabila pemohon tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah terpenuhi dan pemohon memiliki syarat yang wajar untuk diselenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham. Rapat Umum Pemegang Saham yang demikian menurut Pasal 80 ayat (5) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya boleh membicarakan mata acara sebagaimana ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Dengan ketentuan ini, tertutup kemungkinan bagi pemohon penyelenggara Rapat Umum Pemegang Saham tersebut untuk membuat mata acara sendiri[43].

2. Direksi.
Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar[44]. Sebagai “artificial person”, Perseroan tidak mungkin dapat bertindak sendiri. Perseroan tidak memiliki kehendak untuk menjalankan dirinya sendiri. Untuk itulah, maka diperlukan orang – orang yang memiliki kehendak yang akan menjalankan Perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian Perseroan[45].
Pada dasarnya Direksi adalah buruh atau pegawai Perseroan. Perseroan sebagai badan hukum adalah majikan anggota Direksi. Di dalam Perseroan Terbatas (Tertutup) seringkali Pemegang Saham juga menjadi Direksi Perseroan yang bersangkutan. Walaupun Direktur itu adalah Pemegang Saham, namun ketika dia menjadi Direktur, maka dia terikat pada hubungan kerja dengan Perseroan. Dengan perkataan lain, dia adalah karyawan Perseroan. Di dalam Perseroan Terbatas (Terbuka), biasanya orang yang menjadi anggota Direksi adalah orang profesional yang bukan Pemegang Saham di Perseroan yang bersangkutan. Dalam kondisi demikian, anggota Direksi murni pekerja atau karyawan Perseroan[46].
Hubungan antara Direksi dan Perseroan selain didasarkan hubungan kerja, Direksi juga memiliki hubungan dengan Perseroan. Direksi memiliki kedudukan fidusia (fiduciary position) di dalam Perseroan. Perseroan Terbatas sebagai badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum melalui pengurusnya. Tanpa adanya pengurus, badan hukum itu tidak akan dapat berfungsi. Ketergantungan antara badan hukum dan pengurus menjadi sebab mengapa antara badan hukum dan pengurus lahir hubungan fidusia (fiduciary duties) dimana pengurus selalu pihak yang dipercaya bertindak menggunakan wewenangnya hanya untuk kepentingan Perseroan semata[47].
Kepengurusan Perseroan Terbatas sehari – hari dilakukan oleh Direksi. Keberadaan Direksi dalam suatu keharusan dengan kata lain Perseroan wajin memiliki Direksi. Hal ini dikarenakan Perseroan sebagai artificial person, dimana Perseroan tidak dapat berbuat apa – apa tanpa adanya bantuan dari Direksi sebagai Natural Person. Berdasarkan fiduciary duty, Direksi suatu perseroan diberi kepercayaan yang tinggi oleh Perseroan untuk mengelola suatu perusahaan. Dalam hal ini, Direksi harus memiliki standar integritas dan loyalitas yang tinggi, tampil serta bertindak untuk kepentingan Perseroan secara bonafides[48]. Direksi juga harus mampu mengartikan dan melaksanakan kebijakan Perseroan secara baik demi kepentingan Perseroan, memajukan Perseroan, meningkatkan nilai saham Perseroan, menghasilkan keuntungan pada Perseroan, shareholders dan stakeholders. Berdasarkan kewenangan yang ada padanya (proper purposes), Direksi harus mampu mengekspresikan dan menjalankan tugasnya dengan baik, agar perusahaan selalu berjalan di jalur yang benar atau layak. Dengan demikian, Direksi harus mampu menghindarkan perusahaan dari tindakan – tindakan yang ilegal, bertentangan dengan peraturan dan kepentingan umum serta bertentangan dengan kesepakatan yang dibuat dengan Organ Perseroan lain, shareholders dan stakeholders[49].
Kepengurusan Perseroan dilakukan oleh Direksi. Ketentuan ini menugaskan Direksi untuk menjalankan pengurusan Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, menerbitkan surat pengakuan utang, atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit dua orang anggota Direksi. Hal ini perlu mengingat beratnya tugas dan tanggung jawab Direksi jika hanya dijalankan oleh satu orang anggota Direksi saja.
Selain Rapat Umum pemegang Saham dan Komisaris, Direksi merupakan alat perlengkapan Perseroan Terbatas yang paling vital. Direksi adalah organ yang menjalankan kepengurusan yang bersifat internal maupun eksternal. Maju mundurnya suatu Perseroan Terbatas akan tergantung dari kepengurusan dalam mengelola perusahaan[50]. Dalam melaksanakan tugasnya mengurus Perseroan Terbatas, Direksi diwajibkan melaksanakan tugas dengan mengacu kepada prinsip i’tikad baik (good faith)[51]. Asas i’tikad baik dan penuh tanggung jawab ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berlaku bagi semua Direksi. I’tikad baik dan penuh tanggung jawab merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan di dalam menjalankan sebuah tugas atau pekerjaan. Pengurus Perseroan dengan melaksanakan pekerjaan berlandaskan i’tikad baik dan penuh tanggung jawab, dikehendaki setiap anggota Direksi dapat menghindari dari perbuatan yang menguntungkan kepentingan pribadi dengan merugikan Perseroan.

3. Dewan Komisaris.
Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan / atau khusus serta memberikan nasehat kepada Direksi dalam menjalankan Perseroan[52]. Ketentuan ini dilanjutkan oleh Pasal 108 ayat (1) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa, Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasehat kepada Direksi[53].
Menurut Pasal 108 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pengawasan dan pemberian nasehat dilakukan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Penjelasan pasal 108 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud “untuk kepentingan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan” adalah bahwa pengawasan dan pemberian nasehat yang dilakukan oleh Dewan Komisaris tidak untuk kepentingan pihak atau golongan tertentu. Pengawasan dan pemberian nasehat yang dilakukan oleh Dewan Komisaris tidak untuk kepentingan pihak atau golongan tertentu. Pengawasan dan pemberian nasehat itu untuk kepentingan Perseroan secara menyeluruh dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan[54]. Dengan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa, Dewan Komisaris di dalam Perseroan berkedudukan sebagai badan supervisi. Komisaris adalah badan non eksekutif yang tidak berhak mewakili Perseroan, kecuali dalam hal tertentu yang disebutkan dalam Undang – Undang tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Perseroan[55].
Perseroan memiliki Komisaris yang wewenang dan kewajibannya ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang, atau Perseroan Terbuka wajib memiliki paling sedikit dua orang Komisaris. Jika terdapat satu orang Komisaris, mereka merupakan sebuah majelis. Komisaris diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham. Untuk pertama kali, pengangkatan Komisaris dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama Komisaris dalam Akta Pendirian Perseroan.
Komisaris diangkat untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan dianghkat kembali. Tata cara pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian Komisaris diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan. Yang dapat diangkat menjadi Komisaris adalah orang perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan pailit, atau orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam kurun waktu lima tahun sebelum pengangkatan.
Fungsi Dewan Komisaris, termasuk Anggota Komisaris Independen adalah mencakup dua peran sebagai berikut:[56]

    1. Mengawasi Direksi perusahaan dalam pencapaian kinerja business plan dan memberikan nasehat kepada Direksi mengenai penyimpangan pengelolaan usaha yang tidak sesuai dengan arah yang dituju oleh perusahaan.
    2. Memantau penerapan dan efektifitas praktik Good Corporate Governance.

Direksi memberikan pertanggungjawabannya dalam bentuk laporan keuangan kepada Rapat Umum Pemegang Saham, yang lebih dahulu sudah harus disetujui dan / atau melalui Komisaris, yaitu dengan jalan Komisaris diminta ikut menandatangani laporan keuangan yang bersangkutan. Dalam Pasal 106 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, diberikan wewenang kepada Komisaris untuk melakukan schorsing kepada Direksi, yaitu memberhentikan Direksi untuk sementara waktu untuk kemudian diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham. Dalam hal pejabat Direksi lowong, maka untuk sementara dapat digantikan oleh Komisaris untuk menjalankan tugas dan kewenangan Direksi tersebut.
Suatu perbuatan apapun bentuknya pasti diikuti dengan tanggung jawab. Demikian pula dengan pekerjaan Dewan Komisaris. Apabila terjadi kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang menimbulkan kerugian bagi Perseroan, maka Anggota Dewan Komisaris wajib bertanggung jawab atas perbuatannya. Tanggung jawab Anggota Dewan Komisaris diatur dalam Pasal 114 ayat (3) dan ayat (4) yaitu, apabila Anggota Dewan Komisaris hanya satu orang, maka bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan. Sedangkan, apabila Anggota Dewan Komisaris jumlahnya lebih dari satu orang pertanggungjawabannya secara tanggung renteng yang sumbernya dari harta pribadi masing – masing.
Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Komisaris juga mempunyai beberapa kewajiban tertentu. Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 116 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kewajiban Dewan Komisaris, meliputi:[57]

    1. Membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya.
    2. Melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan / atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain.
    3. Memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Ketentuan Pasal 114 ayat (3) dan ayat (4) yang memikulkan tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab secara tanggung renteng kepada Anggota Dewan Komisaris, dapat dikesampingkan atau disingkirkan penerapannya sesuai dengan ketentuan Pasal 114 ayat (5). Hal – hal yang dapat menyingkirkan tanggung jawab pribadi Anggota Dewan Komisaris, disebut secara limitative pada pasal tersebut yang terdiri dari:[58]

    1. Apabila dapat membuktikan, telah melakukan pengawasan dengan i’tikad baik dan hati – hati untuk kepentingan Perseroan dan sesuai maksud serta tujuan Perseroan.
    2. Dapat membuktikan, tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan kepengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian.
    3. Dapat membuktikan, telah memberikan nasehat untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Hal – hal tersebutlah yang dapat membebaskan Anggota Dewan Komisaris memikul tanggung jawab pribadi atas kerugian Perseroan. Pembebasan diri itu, digantungkan pada faktor kemampuan Anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan “membuktikan” kerugian yang terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaiannya[59].


2.2. Doktrin – Doktrin Modern dalam Hukum Perseroan.

Dalam hukum korporasi modern atau hukum Perseroan, khususnya dikenal beberapa doktrin yang diakui dan berkembang dalam penyelenggaraan suatu perusahaan atau Perseroan, baik dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) maupun sistem hukum Anglo Saxon (Common Law). Doktrin – doktrin tersebut diantaranya:


2.2.1. Doktrin Piercing The Corporate Veil.

Salah satu ciri dari Perseroan adalah terbatasnya tanggung jawab hanya sebesar saham yang disetorkan atau diinvestasikan. Hal ini lah yang yang disebut dengan tirai korporasi (corporate veil), Namun, demi tegaknya keadilan dan mencegah ketidakwajaran pada keadaan tertentu atau secara kasuistik, tirai korporasi (corporate veil) ini dapat ditembus (Piercing The Corporate Veil).

Perseroan Terbatas sebagai suatu badan hukum membawa konsekuensi terhadap tanggung jawab terbatas organ – organ Perseroan Terbatas, yakni Pemegang Saham, Dewan Komisaris, dan Direksi, dan inilah yang dikenal sebagai limited liability. Prinsip limited liability pada perkembangaannya sekarang tidak berlaku mutlak sejak dikenal doktrin Piercing The Corporate Veil, yang dalam hal tertentu tertutup kemungkinan dihapusnya tanggung jawab terbatas Organ – Organ Perseroan tersebut.

Piercing The Corporate Veil dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “The judicial act of imposing personal liability on otherwise immune corporate officers, directors, or shareholders for the corporation’s wrongful acts[60]. Dalam terjemahan bebasnya, diartikan sebagai “tindakan hukum yang memaksakan tanggung jawab pribadi atas kekebalan Komisaris, Direksi, atau Pemegang Saham atas kesalahan yang dilakukan oleh Korporasi.

Istilah Piercing The Corporate Veil ada juga yang menyebutnya dengan istilah Lifting of Corporate Veil atau ada juga dengan istilah Going Behind the Corporate Veil. Istilah Piercing The Corporate Veil terdiri dari kata – kata “Pierce” yang berarti menyobek / mengoyak / menembus, “Veil” yang berarti kain / tirai / kerudung, dan “Corporate” yang berarti perusahaan. Karena itu secara harfiah istilah “Piercing The Corporate Veil” berarti menyingkap tirai perusahaan. Sedangkan, dalam ilmu hukum perusahaan merupakan suatu prinsip atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang lain, oleh suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh Perseroan pelaku tersebut[61].

Dengan ditembusnya tirai korporasi tersebut, maka dengan sendirinya Pemegang Saham, Direksi, dan / atau Dewan Komisaris ikut secara bersama – sama menanggung resiko dalam pembayaran utang Perseroan dengan menggunakan harta kekayaan pribadi. Adapun hal – hal yang dapat menghapus tanggung jawab terbatas adalah sebagai berikut:

    1. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi, sehingga perbuatan Perseroan menjadi tanggung jawab bersama semua pendiri, Komisaris, dan Direksi secara tanggung renteng.
    2. Pemegang saham Perseroan yang bersangkutan baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai i’tikad buruk untuk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi.

Demikian dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga mengakui berlakunya doktrin Piercing The Corporate Veil dengan membebankan tanggung jawab kepada pihak – pihak segai berikut:

    1. Beban tanggung jawab dipindahkan ke pihak Pemegang Saham.
    2. Beban tanggung jawab dipindahkan ke pihak Direksi dan Komisaris.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa tanggung jawab terbatas dapat dihapus dan dimungkinkan menembus karena diberlakukannya doktrin Piercing The Corporate Veil yang tidak bisa berlaku bagi Pemegang Saham tetapi juga Organ Perseroan lainnya, yaitu Direksi dan Komisaris. Direksi sebagai Organ Perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Bismar Nasution menyatakan pendapatnya bahwa “Direksi kedudukannya sebagai eksekutif dalam Perseroan, tindakannya dibatasi oleh Anggaran Dasar Perseroan. Perseroan Terbatas sebagai badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum itu melalui pengurusnya, yaitu Direksi. Tanpa adanya pengurus, badan hukum itu tidak akan dapat berfungsi. Ketergantungan antara badan hukum dan pengurus menjadi sebab mengapa antara badan hukum dan Direksi lahir hubungan fidusia (fiduciary duties), dimana pengurus selalu pihak yang dipercaya untuk bertindak dan menggunakan wewenangnya hanya untuk kepentingan Perseroan semata”[62].

Selanjutnya dalam Pasal 97 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan bahwa setiap Anggota Direksi wajib dengan i’tikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan ini berarti setiap Direksi agara dapat menghindari perbuatan yang menguntungkan kepentingan pribadi dengan menguntungkan kepentingan pribadi dengan merugikan kepentingan Perseroan. Dengan demikian, apabila Direksi dengan sengaja berbuat melampaui kewenangan yang diberikan berarti Direksi telah melakukan tindakan ultra vires. Akibat dari tindakan ultra vires yang berakibat dapat merugikan Perseroan, maka tanggung jawab terbatas Direksi menjadi terkoyak karena kesalahan Direksi. Artinya, Direksi yang secara sengaja dengan i’tikad buruk melakukan tindakan atau perbuatan buruk untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan timbulnya kerugian bagi Perseroan, maka Direksi dapat dituntut pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin Piercing The Corporate Veil.


2.2.2. Doktrin Ultra Vires.

Istilah Ultra Vires berasal dari Bahasa Latin yang berarti diluar atau melampaui kekuasaan, yaitu diluar apa yang sudah ditentukan oleh hukum atau ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Terminologi Ultra Vires dipakai khususnya terhadap tindakan pengurus Perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh Anggaran Dasarnya atau oleh peraturan perundang – undangan yang melandasi Perseroan tersebut.

Ultra Vires berasal dari Bahasa Latin yang dalam Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “Beyond the Power” atau dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai melampaui kewenangan. Pemahaman secara akademis misalnya dituliskan oleh Timothy Endicott, “Ultra Vires means beyond (the agency) legal powers[63]. Kemudian, Frank A. Mack mengartikannya sebagai:

The term ultra vires in its proper sense, denotes some act or transaction on the part of corporation which although not unlawful or contrary to public policy if done or executed by an individual, is jet beyond the legitimate powers of the corporation as they are defined by the statute under which it is formed, or which are applicable, or by its charter or incorporation papers”.[64]

Ultra Vires, dalam kepustakaan hukum seringkali disebut juga sebagai Extra Vires, karena Extra Vires juga memiliki makna yang sama dengan Ultra Vires yaitu Beyond the Power atau melampaui kewenangan. Doktrin Ultra Vires diterapkan pada perusahaan – perusahaan serta organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial dan keagamaan berbadan hukum yang memiliki peranan yang sangat luas terhadap kehidupan masyarakat. Sebuah perbuatan yang dilakukan oleh organ perusahaan, pengurus organisasi sosial berbadan hukum, yang dilakukan melampaui kewenangan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan / atau peraturan perundang – undangan terkait yang mengatur eksistensi badan hukum tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan Ultra Vires atau perbuatan melampaui kewenangan. Dampak pelanggaran terhadap doktrin Ultra Vires dapat berupa tuntutan perdata yang diajukan oleh pihak – pihak yang dirugikan, serta dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana baik terhadap korporasi maupun terhadap orang yang melakukannya[65].

Batas kewenangan pengurus Perseroan dalam hukum korporasi berada pada doktrin Ultra Vires dan Intra Vires. Secara sederhana pengertian Intra Vires adalah “dalam kewenangan”, sedangkan Ultra Vires diartikan sebagai “melebihi kewenangannya”.

Doktrin Ultra Vires sebenarnya sudah lama dijadikan pedoman oleh para pemangku kepentingan dalam mengelola Perseroan. Pada awalnya doktrin tersebut tidak terlalu diperhatikan karena dianggap tidak bermanfaat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap posisi investor dan kreditur. Hal ini dapat dipahami karena dalam bentuk awal Perseroan sebelum masuk pada era revolusi industri yang melanda Eropa masih bersifat partnership. Segala sesuatu yang bersifat fundamental dalam Perseroan mesti saling diketahui oleh partner usaha atau kongsinya masing – masing. Sekalipun terjadi perubahan penting yang telah dilakukan dan belum diketahui oleh partner / kongsi lain dalam perusahaan yang berbentuk partnership tersebut, namun hal itu masih dapat diratifikasi oleh para kongsi lain dalam rapat perusahaan yang diadakan untuk kepentingan tersebut.

Menurut I. G. Rai Widjaja berpendapat bahwa, disebut Ultra Vires apabila tindakan yang dilakukan berada berada di luar kapasitas (capacity) perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan tujuan perusahaan yang tercantum dalam Anggaran Dasarnya[66]. Sedangkan menurut Henry Campbell, definisi Intra Vires adalah “An acts is said to be intra vires (within the power) of a person or corporation when it is within the scope of his or its power or authority. It’s the opposite of ultra vires (q.v.)”[67].

Tindakan Ultra Vires Perseroan pada dasarnya merupakan setiap tindakan yang bersifat melampaui kewenangan yang telah diberikan kepada Perseroan, dalam hal ini melampaui objects clause. Bisa jadi tindakan itu merupakan tindakan Direksi yang sah, dalam artian menjalankan fungsi mengurus dan mewakili Perseroan, akan tetapi tindakannya itu dipandang melampaui maksud dan tujuan Perseroan.

Mengingat karena tugas pengurusan yang diemban Direksi itu tidaklah bersifat tunggal, tetapi berdimensi jamak, maka penerapan doktrin Ultra Vires tidak dapat dikatakan sederhana, sebab terkadang sulit mengambil garis tegas yang bisa menunjukkan telah terjadi pelampauan kewenangan Perseroan oleh Direksi[68]. Apakah maksud dan tujuan Perseroan yang bergerak dalam bidang penerbitan, misalnya, dipandang tidak bisa melakukan kegiatan percetakan, demi menunjang usaha penerbitannya. Ini adalah salah satu contoh bagaimana penerapan doktrin Ultra Vires ini tidak sesederhana yang terlihat. Terlepas dari hal itu, perlu ditegaskan bahwa suatu tindakan yang mana Perseroan memiliki kewenangannya, dan dilakukan secara sah oleh Direksinya, tidak bisa dikatakan Ultra Vires, hanya karena pelaksanaannya dilakukan secara tidak teratur (irregular)[69]. Tidak mengherankan jika Bourne mengusulkan agar suatu company dapat dengan baik menghindari “jebakan” Ultra Vires, maka pencantuman seluas – luasnya bagi objects clause, itulah yang harus dilakukan di Anggaran Dasarnya[70].

Diterapkannya doktrin Ultra Vires dalam Perseroan Terbatas dapat ditemukan dalam norma pengaturan pada Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, misalnya Pasal 2 mengatur bahwa “Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang – undangan, ketertiban umum, dan / atau kesusilaan”. Menurut pendapat dari Fred B. G. Tumbuan[71] bahwa pencantuman maksud dan tujuan Perseroan mempunyai 2 (dua) segi, disatu pihak merupakan sumber kewenangan bertindak bagi Perseroan, dan di lain pihak menjadi pembatasan dari ruang lingkup kewenangan bertindak Perseroan yang bersangkutan (de doelomschrijsving van de rechts persoon geltd als begrenzing van haar bevoegheid).

Selanjutnya, dalam Pasal 15 ayat (1) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengatur antara lain:

“Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat sekurang – kurangnya: (a) Nama dan tempat kedudukan Perseroan; (b) Maksud dan tujuan Perseroan serta kegiatan usaha Perseroan; (c) Jangka waktu berdirinya Perseroan; (d) Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; (e) Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak – hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal tiap saham; (f) Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris; (g) Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; (h) Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris; (i) Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen”.

Norma pengaturan dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b yang menegaskan bahwa Anggaran Dasar Perseroan harus mencantumkan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan, menunjukkan bahwa doktrin Ultra Vires diterapkan secara ketat dalam hukum positif nasional, khususnya terhadap badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Pengaturan secara ketat penerapan doktrin Ultra Vires lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 19 dan Pasal 21 Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa perubahan Anggaran Dasar harus ditetapkan oleh RUPS dan disetujui oleh Menteri dalam hal perubahan Anggaran Dasar antara lain menyangkut maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan.

Pengaturan selanjutnya dalam Pasal 155 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan bahwa “Ketentuan dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris atas kesalahannya dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang – Undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang Hukum Pidana”. Dalam kaitannya dengan ketentuan ini, Erman Rajagukguk[72] berpendapat bahwa “tindakan – tindakan yang digolongkan sebagai Ultra Vires atau yang dianggap tidak berguna, tidak akan mendapat perlindungan hukum. Sedangkan, Eddie Supriyadi[73] menegaskan bahwa, bila Direksi melakukan tindakan – tindakan di luar tugas dan kewenangannya (Ultra Vires), maka tanggung jawab Direksi adalah pribadi.


2.2.3. Doktrin Fiduciary Duty

Fidusia (Fiduciary) dalam Bahasa Latin dikenal sebagai fiduciaries yang bermakna kepercayaan. Secara teknis, istilah tersebut dimaknai sebagai “memegang sesuatu dalam kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang”. Seseorang memiliki tugas fiduciary (fiduciary duty) manakala ia memiliki kapasitas fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang memiliki kapasitas fiduciary jika bisnis yang ditransaksikannya, harta benda atau kekayaan yang dikuasainya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain. Orang yang memberikan kewenangan tersebut, memiliki kepercayaan yang besar kepadanya. Pemegang amanah pun wajib memiliki i’tikad baik dalam menjalankan tugasnya[74].

Doktrin Fiduciary Duty berasal dan mempunyai akar dalam hukum romawi. Tapi banyak dikembangkan oleh sistem hukum Anglo Saxon[75]. Fiduciary berasal dari Bahasa Latin “Fiducia” yang berarti kepercayaan. Dalam terminologi hukum, Black’s law Dictionary mengartikannya sebagai:

A person holding the character of a trustee, or a character analogous to that of trustee, in respect to the trust and confidence involved in it and the scrupulous good faith and candor which it requires”.[76]

Dengan kata lain, seseorang yang memegang peranan sebagai trustee (wali amanat) atau suatu peranan yang mirip dengan trustee terkait dengan adanya kepercayaan dan keyakinan yang terdapat di dalamnya dan i’tikad baik secara seksama dan kejujuran. Sehingga dengan istilah fiduciary diartikan sebagai memegang sesuatu dalam kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian, dalam Bahasa Inggris, orang yang memegang sesuatu kepercayaan untuk kepentingan orang lain disebut dengan istilah “trustee”, sementara pihak yang dipegang untuk kepentingan tersebut disebut dengan istilah “beneficiary”.

Seseorang dikatakan mempunyai tugas fiduciary (fiduciary duty), manakala ia mempunyai kapasitas fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang memiliki fiduciary capacity jika usaha yang dikelola atau dilakukan itu bukan miliknya atau untuk kepentingannya, melainkan milik atau untuk kepentingan pihak lain. Orang tersebut bertindak sebagai agent dan pihak yang memberikan kepercayaan tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya. Antara pihak yang mempunyai kapasitas fiduciary dengan pihak yang diasuhnya atau harta bendanya diasuh, terdapat suatu hubungan khusus yang disebut dengan hubungan kepercayaan (fiduciary relations). Fiduciary or confidential relations didefinisikan sebagai berikut:

A very board term embracing both technical fiduciary relations and these informal relations which exist wherever one man trust in or relies upon another…. Arises whenever confidence is reposed by one person on one side, domination and influence result on the other; the relation can be legal, social, domestic, or merely personal. Such relation exist when there is reposing of faith, confidence and trust, and be placing of reliance by one upon the judgement and advice of the other….”.[77]

Berdasarkan definisi di atas, dinyatakan bahwa fiduciary relations adalah istilah yang sangat luas yang mencakup hubungan – hubungan fiduciary yang teknis dan hubungan – hubungan informal ini timbul dimana seseorang percaya atau mengandalkan seseorang yang lainnya. Manakala hubungan tersebut timbul karena kepercayaan seseorang disatu sisi dan dominasi serta pengaruh pada sisi lainnya; hubungan itu bisa dilihat secara hukum, sosial, dalam rumah tangga, atau personal.

Fiduciary duty juga merupakan suatu tugas dari seorang trustee yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee tersebut dengan pihak lain yang disebut dengan beneficiary. Beneficiary ini memiliki kepercayaan yang tinggi kepada pihak trustee, dan sebaliknya pihak trustee juga mempunyai yang tinggi untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa pengertian dari konsep fiduciary berdasarkan Hukum Romawi dan konsep trust dalam sistem hukum Anglo Saxon, sama – sama memiliki arti kepercayaan[78]. Dengan demikian, seseorang dikatakan mempunyai fiduciary duty manakala dia dipercayakan untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain atau untuk kepentingan pihak ketiga, manakala ia seolah – olah berbuat untuk kepentingan sendiri[79].

Pada dasarnya konsep fiduciary duty yang dianut di berbagai peraturan perundang – undangan berbagai negara memiliki dasar yang sama, yaitu i’tikad baik dan peletakan kepentingan Perseroan di atas kepentingan lainnya sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Meskipun dasar konsep antara satu dengan yang lainnya mirip, tentunya ada perbedaan – perbedaan dalam penerapan konsep tersebut dalam praktek manajemen Perseroan dan pertanggungjawaban hukum atas pelaksanaannya. Perbedaan dapat terjadi mengingat perbedaan sistem hukum, kebutuhan dunia usaha dan orientasi pengembangan hukum yang dimiliki oleh suatu negara.

Kepengurusan Perseroan Terbatas sehari – hari dilakukan oleh Direksi. Keberadaan Direksi dalam suatu Organ Perseroan merupakan suatu keharusan dengan kata lain Perseroan wajib memiliki Direksi. Hal ini dikarenakan Perseroan sebagai artificial person, manakala Perseroan tidak dapat berbuat apa – apa tanpa adanya bantuan anggota Direksi sebagai natural person. Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan, artinya fiduciary harus melaksanakan standard of care.

Standard of care merupakan suatu standar yang mewajibkan seseorang dalam bertindak untuk tetap memperhatikan segala resiko, bahaya dan perangkap yang ada, dan berupaya untuk meminimalisasi munculnya resiko – resiko tersebut. Sehingga dalam bertindak, seornag Direksi harus menerapkan prinsip kehati – hatian dan ketelitian, supaya dapat menghindari segala kemungkinan – kemungkinan yang tidak diinginkan[80]. Bagi Perseroan Terbatas, Direksi adalah trustee dan agent. Dikatakan sebagai trustee karena Direksi melakukan pengurusan terhadap harta kekayaan Perseroan, dan dikatakan sebagai agent, karena Direksi bertindak keluar untuk dan atas nama Perseroan Terbatas, selaku pemegang kuasa Perseroan Terbatas, yang mengikat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga. Ini berarti ada hubungan kepercayaan yang melahirkan “kewajiban kepercayaan” (fiduciary duty) antara Direksi dan Perseroan[81]. Fiduciary duty Direksi akan memberikan perlindungan yang berarti bagi Pemegang Saham dan perusahaan. Hal ini dikarenakan Pemegang Saham dan perusahaan tidak dapat sepenuhnya melindungi dirinya sendiri dari tindakan Direksi yang merugikan, manakala Direksi bertindak untuk dan atas nama perusahaan dan Pemegang Saham. Sehingga, untuk menghindari adanya penyalahgunaan aset – aset perusahaan dan wewenang oleh Direksi, maka Direksi dibebankan dengan adanya fiduciary duty. Biasanya fiduciary duty Direksi dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu duty of care dan duty of loyalty. Duty of care pada dasarnya merupakan kewajiban Direksi untuk tidak bertindak lalai, menerapkan ketelitian tingkat tinggi dalam mengumpulkan informasi yang digunakan untuk membuat keputusan bisnis, dan menjalankan manajemen bisnisnya dengan kepedulian dan kehati – hatian yang masuk akal. Duty of loyalty mencakup kewajiban Direksi untuk tidak menempatkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan perusahaan dalam melakukan transaksi, manakala transaksi tersebut dapat menguntungkan Direksi dengan menggunakan biaya – biaya yang ditanggung oleh perusahaan atau corporate opportunity[82].

Dalam menjalankan tugas – tugas fiduciary duties, seorang Direksi harus melakukan tugasnya, sebagai berikut:[83]

    1. Dilakukan dengan i’tikad baik.
    2. Dilakukan dengan proper purposes.
    3. Dilakukan dengan kebebasan yang tidak bertanggungjawab (unfettered discretion).
    4. Tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest).

Direksi juga harus mampu mengartikan dan melaksanakan kebijakan Perseroan secara baik demi kepentingan Perseroan, memajukan Perseroan, meningkatkan nilai saham Perseroan, menghasilkan keuntungan pada Perseroan, shareholders dan stakeholders. Berdasarkan kewenangan yang ada pada Direksi tersebut (proper purpose), Direksi harus mampu mengekspresikan dan menjalankan tugasnya dengan baik, agar permasalahan selalu berjalan di jalur yang benar atau layak. Dengan demikian, Direksi harus mampu menghindarkan perusahaan dari tindakan – tindakan yang illegal, bertentangan dengan peraturan dan kepentingan umum serta bertentangan dengan kesepakatan yang dibuat dengan Organ Perseroan lain, shareholders dan stakeholders. Oleh karena itu, apabila terjadi conflict of duty dan benturan kepentingan pada saat menjalankan Perseroan, Direksi harus mampu mengelola secara bijak berbagai kepentingan Para Pemegang Saham. Namun dalam pelaksanaannya, pengelolaan perbedaan kepentingan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, misalnya, membuat perjanjian yang menguntungkan Perseroan, tidak menyembunyikan suatu informasi untuk kepentingan pribadi, tidak menyalahgunakan kepercayaan dan tidak melakukan kompetisi yang tidak sehat.


2.2.4. Doktrin Business Judgement Rule.

Business Judgement Rule merupakan salah satu doktrin dalam hukum perusahaan yang menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan Direksi tesebut didasari adanya i’tikad baik dan kehati – hatian. Dengan adanya doktrin ini, Direksi mendapatkan perlindungan, sehingga tidak perlu memperoleh justifikasi dari Pemegang Saham atau Pengadilan atas keputusan mereka dalam pengelolaan dan penguruan sebuah perusahaan atau Perseroan.

Doktrin Business Judgement Rule yang berasal dari Amerika ini mencegah pengadilan – pengadilan di Amerika untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha (bisnis) oleh Direksi, yang diambil dengan i’tikad baik, tanpa kepentingan pribadi dan keyakinan yang dapat dipertanggung jawabkan bahwa mereka, Para Anggota Direksi telah mengambil keputusan yang menguntungkan Perseroan[84].

Doktrin Business Judgement Rule berkembang dalam negara – negara dengan sietem hukum Anglo Saxon (Common Law), seperti Amerika Serikat. Dimana doktrin tersebut merupakan bentuk perlindungan hukum bagi Direksi Perseroan. Dalam Black’s Law Dictionary, Business Judgement Rule, diartikan sebagai berikut:

The rule that immunizes management from liability in corporate transaction undertaken within the power of the corporation and authority of management where there is reasonable basis to indicate that transaction was made with due care and in good faith[85].

Dari pengertian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa business judgement rule melindungi Direksi atas keputusan bisnis yang merupakan transaksi Perseroan, selama hal tersebut dilakukan dalam batas – batas kewenangan yang diatur dalam Anggaran Dasar dengan penuh kehati – hatian dan didasari i’tikad baik. Business Judgement Rule sebagai aturan sederhana atas pertimbangan bisnis Direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas konsekuensi yang timbul dari putusan bisnisnya. Sehingga, jika dikaitkan dengan doktrin Fiduciary Duty, maka doktrin Business Judgement Rule merupakan jawaban dari kewajiban – kewajiban fidusia bagi Direksi dalam mengurus Perseroan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa kegiatan usaha yang penuh dengan ketidakpastian dan tingginya persaingan, menuntut Direksi untuk dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Namun, akan menjadi sesuatu yang tidak adil apabila dalam menjalankan kepengurusannya, seorang Direksi selalui dihantui rasa takut akan mengambil suatu keputusan yang salah dan dinilai merugikan Perseroan. Sesungguhnya, disamping jawaban atas kewajiban fidusia dari seorang Direksi, doktrin Business Judgement Rule juga merupakan jaminan pembebasan tanggung jawab dan perlindungan hukum bagi Direksi dalam melakukan tindakan – tindakan dan pengurusan serta pengelolaaan manajemen Perseroan dengan mengedepankan pengurusan Perseroan yang bersifat korporatif dan profit oriented. Hal ini pun ditegaskan oleh Easterbrook dan Fischel, sebagai berikut:

behind business judgement rule lies recognition that investor wealth would be lower if managers decision were routinely subjected to strict judicial review… precisely why investor wealth not be maximized by closed judicial scrutiny is less clear. The standard justifications are that judges lack competence in making business decisions and that the fear of personal liability will cause corporate managers to be more cautious and also result in fewer talented people being willing to serve as director[86].

Dengan kata lain, Easterbrook dan Fischel mencemaskan ketentuan hukum yang terlampau ketat, bahwasannya seorang Direksi selalu dihantui ketakutan terkait pertanggungjawaban hukum secara pribadi yang mengakibatkan, menurunnya keuntungan investor, dan menurunnya orang – orang berbakat yang ingin menjadi Direksi di suatu Perseroan. Filosofi ini lah yang berada dibalik doktrin Business Judgement Rule.

Doktrin ini merupakan satu – satunya pertahanan yang dapat dipakai oleh Direksi yang beritikad baik dalam melindungi dirinya dari Gugatan Perseroan, Pemegang Saham, dan / atau Kreditur sehubungan dengan kerugian yang timbul atas keputusan yang diambil oleh Direksi tersebut. Doktrin ini disebut juga sebagai cermin dari kemandirian dan kebijaksanaan Direksi dalam membuat keputusan bisnisnya.

Doktrin Putusan Bisnis (Business Judgement Rule) merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu keputusan bisnis Direksi mengenai aktifitas Perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun keputusan bisnis tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan Perseroan. Dengan demikian, doktrin ini lebih melindungi Direksi dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam mengambil keputusan – keputusan bisnisnya. Oleh karena itu, sepintas doktrin ini terkesan seolah – olah bertentangan dengan doktrin – doktrin hukum lainnya yang berlaku bagi Perseroan, khususnya berkenaan dengan pembebanan tanggung jawab Direksi. Akan tetapi, sebenarnya doktrin ini tidak dapat dikatakan juga bertentangan dengan doktrin – doktrin hukum yang lainnya, sebab keputusan bisnis Direksi yang dilindungi oleh Business Judgement Rule yang dilakukan berdasarkan i’tikad baik (good faith), mempunyai dasar – dasar yang rasional, kehati – hatian, sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar, dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose), serta dengan cara yang layak (reasonable belief) sebagai perwujudan pengurusan dan pengelolaan yang baik bagi Perseroan.

Aturan Business Judgement Rule didasarkan pada konsepsi bahwa Direksi lebih mengetahui dari siapapun juga mengenai keadaan perusahaannya dan karenanya landasan dari setiap keputusan yang diambil olehnya. Untuk itu, Direksi selama dan sepanjang dalam mengambil keputusannya tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan yang memberikan manfaat pribadi (self dealing) atau tidak mempunyai kepentingan pribadi (personal interest) dan telah melaksanakan prinsip kehati – hatian. Business Judgement Rule yang diambil oleh Direksi tidak dapat ditentang atau dipertanyakan, kecuali keputusan tersebut telah diambil secara ceroboh (in negligent manner), dilakukan dengan cara yang curang (tainted by fraud), adanya benturan – benturan kepentingan (conflict of interest) atau didasarkan pada suatu perbuatan melawan hukum (illegality)[87].

Business Judgement Rule mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil resiko daripada terlalu berhati – hati, sehingga Perseroan berjalan lambat atau tidak jalan. Doktrin ini mencerminkan bahwa Pengadilan tidak membuat putusan yang lebih baik di bidang bisnis daripada Direksi. Para hakim umumnya tidak memiliki keterampilan bisnis dan mulai mempelajari permasalahan setelah ada fakta – fakta. Apabila tindakan Direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi dengan i’tikad baik, maka ia dapat dikategorikan sebagai pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan tanggung jawab pribadi bagi Direksi.

Dengan demikian, doktrin ini lebih melindungi Direksi, tetapi masih dalam koridor hukum Perseroan yang umum bahwa Pengadilan masih diberi kesempatan untuk melakukan penilaian dalam setiap putusan, termasuk putusan bisnis yang sudah disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham, sepanjang untuk memutuskan apakah putusan tersebut telah sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak. Akan tetapi, tidak untuk menilai apakah sesuai atau tidak dengan kebijaksanaan bisnis. Adapun latar belakang munculnya doktrin ini, karena diantara semua pihak dalam Perseroan, sesuai dengan kedudukannya selaku Direksi, maka Direksi lah yang paling berwenang untuk memutuskan apa yang terbaik bagi Perseroan. Bila terjadi kerugian karena putusan bisnis, dalam batas – batas tertentu masih dapat ditoleransi mengingat tidak semua bisnis harus mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain, Perseroan juga harus menganggung resiko bisnis, termasuk resiko kerugian. Karena itu, Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya hanya karena salah dalam memutuskan atau hanya karena kerugian perusahaan. Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena missmanagement[88].


2.3. Kedudukan Hukum dan Kewenangan serta Tanggung Jawab Direksi sebagai Organ Perseroan.

Perseroan atau Perseroan Terbatas mempunyai organ yang meliputi Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Organ – organ tersebut menunjukkan hakikat Perseroan sebagai badan hukum yang merupakan wadah perwujudan dari kerjasama antara Pemegang Saham (shareholders) yang membutuhkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris, dalam kedudukannya sebagai pemodal.

Rapat Umum pemegang Saham (RUPS) sebagai organ tertinggi memberikan kekuatan dan kedudukan kepada Para Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Kedudukan Dewan Komisaris berfungsi sebagai pemberi saran – saran dan nasehat – nasehat atau sebagai elemen yang mengontrol Direksi. Kedudukan Direksi merupakan Organ Perseroan Terbatas yang paling bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan dan pengurusan Perseroan, serta bertindak untuk dan atas nama sekaligus wakil dari Perseroan Terbatas, baik untuk melakukan perbuatan – perbuatan hukum di dalam maupun di luar Pengadilan, sesuai maksud dan tujuan Perseroan yang tertuang dalam Anggaran dasarnya.

Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. Kepengurusan Perseroan Terbatas sehari – hari dilakukan oleh Direksi. Keberadaan Direksi dalam suatu Organ Perseroan merupakan suatu keharusan, dengan kata lain Perseroan wajib memiliki Direksi.


2.3.1. Kedudukan Direksi sebagai Organ Perseroan Terbatas.

Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab secara terbatas serta penuh atas pengurusan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan, akan tetapi dalam hal tertentu tidak berwenang mewakili Perseroan seperti yang dimaksud dalam Pasal 99 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas[89].

Direksi sebagai Organ Perseroan yang paling bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan / atau pengelolaan Perseroan mempunyai kedudukan, kewenangan atau memiliki kapasitas dan kewajiban antara lain menjalankan pengurusan Perseroan sehari – hari sesuai maksud dan tujuan Perseroan, mengambil kebijakan yang dipandang tepat berdasarkan kehalian (skill), peluang yang tersedia (available opportunity), kelaziman dalam dunia usaha (common business practice)[90].

Perseroan sebagai badan hukum merupakan usaha mandiri dengan tanggung jawab terbatas (legal entity) yang mempunyai kehendak sendiri yang dijalankan oleh alat – alat perlengkapannya. Direksi sebagai salah satu alat perlengkapan bertindak dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan serta pengelolaan Perseroan untuk mencapai maksud dan tujuan Perseroan serta kewenangan dan tanggung jawabnya bersifat terbatas. Direksi bertindak mewakili dan mengurus jalannya usaha Perseroansebagai badan hukum untuk kepentingan Perseroan itu sendiri, bukan untuk kepentingan pribadi Direksi maupun kepentingan lainnya[91].

Orientasi dari pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Direksi ditujukan kepada Perseroan dan Pemegang Saham yang telah dimulai sejak pengangkatan Direksi dan bilamana Perseroan telah memperoleh status sebagai badan hukum. Diwajibkan bagi Direksi Perseroan untuk mendaftarkan Akta Pendirian, Anggaran Dasar Perseroan, dan perubahannya yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia beserta surat pengesahannya dalam suatu daftar perusahaan kemudian diumumkan di dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Tugas pertama kalinya seorang Direksi setelah terbentuknya Perseroan adalah mendaftarkan Akta Pendirian dan / atau Anggaran Dasar Perseroan.

Direksi dalam menjalankan pengurusan Perseroan hanya semata – mata untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Tugas, wewenang, dan tanggung jawab Direksi adalah mengurus Perseroan (daden van beheer) untuk kepentingan Perseroan antara lain dalam pengurusan sehari – hari Perseroan. Direksi menjalankan tugas pengurusan tersebut berdasarkan kebijakan yang dipandang tepat dalam batas – batas yang masih ditentukan di dalam peraturan perundang – undangan dan / atau Anggaran Dasar Perseroan.

Kebijakan yang dipandang tepat adalah kebijakan yang didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, kelaziman dalam dunia usaha sejenis. Kebijakan yang dipandang tepat masuk dalam kategori blanket norm (open norm), dan dapat diberikan contoh secara demonstratif dalam praktik kelaziman dunia usaha sejenis, tidak limitatif dengan kata – kata atau klausul dalam peraturan perundang – undangan.

Direksi perlu memegang teguh kearifan dan kebijaksanaannya karena kelaziman dalam usaha sejenis tersebut, di dalam praktik tidak menutup kemungkinan dapat ditafsirkan secara luas atau sempit. Kebijakan mengurus Perseroan dalam paham klasik ditujukan untuk kepentingan Pemegang Saham, namun setelah muncul paham institusional, orientasi pengurusan Perseroan ditujukan sesuai maksud dan tujuan Perseroan itu sendiri. Kiblat Direksi tak seharusnya tertuju kepada Para Pemegang Saham, tetapi lebih kepada kepentingan Perseroan yang cakupannya lebih luas. Kepentingan pengurusan dalam paham modern tidak lagi hanya tertuju pada Pemegang Saham, tetapi juga kepada para pemangku kepentingan (stakeholders). Itulah sebabnya, selain untuk kepentingan Perseroan dan Pemegang Saham yaitu untuk kepentingan karyawan, pihak ketiga, negara dan sebagainya.

Esensi dari orientasi Direksi dalam pengurusan Perseroan tidak lagi tertuju pada kepentingan Para Pemegang Saham semata, namun bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada Perseroan itu sendiri sekaligus kepada Pemegang Saham (shareholders) secara internal, dan kepada stakeholders secara eksternal. Pasal 97 ayat (1) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan bahwa Direksi merupakan Organ Perseroan yang paling bertanggung jawab atas pengurusan dan pengelolaan Perseroan secara penuh, sehingga kepadanya ditujukan Gugatan melalui Pengadilan apabila ada pihak – pihak yang dirugikan. Jika pihak ketiga (di luar Perseroan) dirugikan atas kebijakan Direksi, termasuk juga Pemegang Saham, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan Gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtsmatige daad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) ke Pengadilan Negeri terhadap Direksi yang bersangkutan.

Setiap Anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan bila terbukti bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Hal ini menegaskan bahwa tanggung jawab Direksi sangat berat dan oleh sebab itu kepadanya dibebankan kewajiban beritikad baik dan penuh tanggung jawab. Bila Direksi terdiri lebih dari satu orang, berlaku tanggung renteng untuk setiap anggota, akan tetapi bagi setiap Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang terjadi apabila dapat membuktikan hal – hal sebagai berikut:

    1. Kerugian itu bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
    2. Telah melakukan pengurusan dengan i’tikad baik dan kehati – hatian untuk kepentingan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan.
    3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian.
    4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian.

Pasal 97 ayat (5) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengandung pengecualian terhadap Direksi yang beritikad baik. Sebagaimana perinsip duty of care dan duty of loyalty dalam doktrin fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran kepada para Anggota Direksi Perseroan di Amerika Serikat kala itu. Awal pentingnya fungsi kontrol terhadap Direksi tidak terlepas dari perkembangan teori pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu sendiri dengan adanya doktrin hubungan kepercayaan (fiduciary duty).

Pengurusan Perseroan secara penuh yang dipikulkan ke pundak Direksi sering disalahgunakan oleh Direksi yang beritikad buruk untuk kepentingannya. Oleh karena itu penting pula untuk mengontrol perilaku Para Direksi yang melakukan Ultra Vires, maka muncullah doktrin Business Judgement Rule[92] yang populer dalam dunia perusahaan untuk menjamin keadilan bagi Direksi mempunyai i’tikad baik.

Direksi mewakili Perseroan tidak terbatas dan tidak bersyarat, bertanggung jawab secara kolegial, kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar. Besarnya tanggung jawab Direksi dalam pengurusan Perseroan termasuk mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Tanggung jawab ini dipikulkan kepada Direksi secara kolegial (tanggung renteng) jika Anggota Direksi lebih dari satu orang, kecuali ditentukan lain dalam undang – undang dan / atau Anggaran Dasar Perseroan.

Susunan Direksi sesuai dengan Pasal 98 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, meskipun dalam struktur organisasi terdiri dari Direktur Utama (Presiden Direktur), Direktur 1, Direktur 2, dan seterusnya, tidak berarti bahwa kedudukan Direktur Utama (Presiden Direktur) selalu menjadi tinggi dari yang lain dalam hal tanggung jawab dihadapan hukum, akan tetapi kedudukan diantaranya adalah sederajat (tanggung jawab kolegial). Dengan demikian wewenang mewakili Perseroan berlaku bagi setiap Anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam undang – undang dan / atau Anggaran Dasar.

Direksi bertanggung jawab membuat daftar khusus mengenai kepemilikan Pemegang Saham dan daftar Dewan Komisaris beserta keluarganya atas setiap saham yang dimiliki Perseroan. Direksi bertanggung jawab membuat risalah Rapat Umum Pemegang Saham dan risalah Rapat Direksi Perseroan. Direksi juga diwajibkan untuk bertanggung jawab dan memelihara daftar Pemegang Saham yang memuat keterangan mengenai Pemegang Saham dan kepemilikan saham[93].

Tugas, wewenang, dan tanggung jawab Direksi tersebut harus dilaksanakan oleh seluruh Anggota Direksi dengan i’tikad baik dan penuh tanggung jawab, karena pada akhirnya suatu saat ketika terjadi kesalahan dan / atau kelalaian dalam menjalankan tugas dan / atau kewajibannya akan membawa akibat pertanggung jawaban secara pribadi dari masing – masing Anggota Direksi atas setiap kerugian yang diderita Perseroan maupun Para Pemegang Saham.


2.3.2. Direksi sebagai Organ Perseroan Yang Berwenang Mewakili Perseroan.

Subyek hukum merupakan pengemban hak dan kewajiban. Subyek hukum pada prinsipnya meliputi manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechts persoon), sehingga model pertanggungjawaban hukumnya pun menjadi dua yaitu pertanggungjawaban pribadi dan pertanggungjawaban badan hukum. Pertanggungjawaban pribadi membicarakan soal pertanggungjawaban subyek hukum pribadi manusia (naturlijk persoon). Pribadi – pribadi di dalam suatu badan hukum dapat bertanggungjawab secara pribadi (individual) dan dapat pula bertanggung jawab secara badan hukum.

Manusia (naturlijk persoon) dan badan hukum (rechts persoon) dapat bertanggung jawab secara pribadi dan dapat pula bertanggung jawab secara badan hukum. Perseroan atau Perseroan Terbatas adalah badan hukum, Perseroan sebagai badan hukum ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menentukan bahwa:

“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang – undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.

Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengandung makna yuridis badan hukum Perseroan. Sejalan dengan teori kontrak (contract theory) bahwa badan hukum dianggap sebagai kontrak antara anggota – anggotanya pada satu segi dan antara pemegang saham dengan Pemerintah di segi lain. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menentukan bahwa Perseroan merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian oleh pendiri dan / atau Pemegang Saham yang sekurang – kurangnya 2 (dua) orang atau lebih. Kemudian Pasal 7 ayat (4) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan bahwa pendirian Perseroan harus memperoleh pengesahan dari Pemerintah (dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), yang tujuannya agar sah memperoleh legitimasi, dan diakui sebagai Perseroan yang berbadan hukum.

Syarat badan hukum dalam makna yuridis adalah: (1) Memiliki harta kekayaan yang terpisah dari para pendirinya, (2) Mempunyai tujuan tertentu, (3) Mempunyai kepentingan tersendiri, (4) Adanya organisasi yang teratur.[94] Pemisahan harta kekayaan Perseroan sebagai badan hukum dari Para Pemegang Saham menunjukkan bahwa Perseroan sebagai entitas yang mandiri, artinya dengan adanya Direksi Perseroan yang wakil, maka Pemegang Saham sebagai pendiri atau pemilik (owner) dilarang mengintervensi kebijakan Direksi yang beritikad baik tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)[95].

Badan hukum (rechts persoon atau legal entity) memiliki organ yang merupakan elemen inti dalam sebuah badan hukum. Organ inti Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. Dua pandangan yang berbeda tentang badan hukum, yakni kelompok yang berupaya meniadakan badan hukum dan kelompok yang berupaya mempertahankan badan hukum. Badan hukum dianggap sebagai manusia fiktif. Badan hukum sebagai subyek hukum dapat melakukan perbuatan hukum karena badan hukum tersebut dianggap manusia buatan, atau manusia fiktif, sedangkan yang melakukan perbuatan hukumnnya hanyalah manusia.

Perseroan atau Perseroan Terbatas agar menjadi badan hukum tentu harus memperoleh pengesahan dari Pemerintah (dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia) melalui mekanisme yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan agar badan hukum tersebut memperoleh legitimasi dihadapan hukum[96]. Badan hukum merupakan organisme atau kumpulan orang – orang yang memiliki identitas hukum yang terpisah dari anggotanya atau pemiliknya, badan hukum semata – mata dibentuk melalui persetujuan dan pengesahan Pemerintah[97].

Kehidupan realitas masyarakat, disamping manusia perorangan, kadang – kadang terbentuk persekutuan (organ) yang pada suatu taraf membentuk kolektifitasnya dengan kuat sehingga menjadi lebih mandiri dan mempunyai kehendak sendiri. Badan hukum merupakan suatu kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Badan hukum bukanlah sesuatu fiksi tetapi merupakan makhluk yang sungguh – sungguh ada secara abstrak dari konstruksi yuridis.

Perseroan sebagai grup atau kelompok melakukan aktifitas dengan hukum terpisah dari kegiatan dan aktifitas individu kelompok yang terlibat dalam Perseroan, jumlah orang (aggregate) pun terpisah. Orang – orang atau pribadi yang terikat bergabung bersama – sama dalam kegiatan Perseroan saling inheren, memiliki personalitas hukum yang berbeda dan terpisah kepribadian personnya, membolehkan tanggung jawab terbatas hanya sebatas harta kekayaan Perseroan, menggugat dan digugat atas nama Perseroan yang diwakili oleh Direksi[98].

Pasal 2 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan maksud dan tujuan Perseroan serta kegiatan usahanya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang – undangan, ketertiban umum, dan / atau kesusilaan. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan tersebut harus dimiliki oleh setiap Perseroan. Perseroan yang tidak mencantumkan maksud dan tujuan serta kegiatan usahanya di dalam Anggaran Dasar dianggap cacat secara hukum (legal defect)[99]. Tujuan pencantuman maksud dan tujuan Perseroan di dalam Anggaran Dasar, adalah:

    1. Untuk melindungi Pemegang Saham sebagai investor Perseroan.
    2. Untuk meyakinkan Para Pemegang Saham atas pengurusan Perseroan oleh Direksi, tidak akan melakukan kontrak atau transaksi maupun tindakan yang bersifat spekulatif dan mengadu untung di luar maksud dan tujuan itu.
    3. Untuk membatasi ruang gerak Direksi agar tidak melakukan transaksi yang berbeda di luar kapasitas maksud dan tujuan serta kegiatan usaha (Ultra Vires).

Maksud dan tujuan Perseroan sebagai dasar bagi Direksi dalam mengadakan perjanjian (kontrak) dan transaksi lainnya. Sekaligus menjadi dasar menentukan batas kewenangan Direksi dalam menjalankan kegiatan usaha Perseroan. Direksi melakukan tindakan pengurusan serta menjalankan kegiatan usaha Perseroan di luar batas kewenangannya disebut sebagai tindakan Ultra Vires. Dalam hal ini, Pemegang Saham berhak untuk mengajukan gugatan (derivative suits) terhadap Direksi dan / atau Perseroan di Pengadilan yang berwenang.


2.3.3. Tanggung Jawab Direksi sebagai Organ Perseroan.

Pasal 92 ayat (1) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai maksud dan tujuan Perseroan. Kemudian, Pasal 92 ayat (2) menentukan bahwa, Direksi berwenang menjalankan pengurusan tersebut sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan / atau Anggaran Dasar Perseroan[100].

Direksi[101] merupakan Dewan Direktur (Board of Directors) yang terdiri dari atas satu atau beberapa orang Direktur. Apabila Direksi lebih dari satu orang Direktur, maka salah satunya menjadi Direktur Utama atau Presiden Direktur dan yang lainnya menjadi Direktur atau wakilnya.

Dari ketentuan – ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa Direksi di dalam Perseroan memiliki 2 (dua) fungsi, yakni fungsi pengurusan (manajemen) dan fungsi perwakilan (representasi)[102]. Terhadap pasal – pasal yang mengatur mengenai pertanggungjawaban Direksi dalam Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga dapat diterapkan kepada Direksi Persero (BUMN).

Menurut Gunawan Widjaja, pertanggungjawaban Direksi dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sebagai berikut:[103]

  1. Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Pemegang Saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali yang batal karena hukum tersebut (Pasal 37 ayat (3) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
  2. Dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan / atau menyesatkan, Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng atas kerugian bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan (Pasal 69 ayat (3) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
  3. Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Perseroan, dalam hal Pemegang Saham tidak dapat mengembalikan deviden interim[104] yang telah dibagikan tersebut kepada Perseroan (Pasal 72 ayat (6) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
  4. Dalam pengangkatan Anggota Direksi yang tidak memenuhi persyaratan pengangkatannya, maka meskipun perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh Anggota Direksi sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan, namun demikian Anggota Direksi yang bersangkutan tetap bertanggung jawab terhadap kerugian Perseroan (Pasal 95 ayat (5) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
  5. Setiap Anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (Pasal 97 ayat (3) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), dan dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) Anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng (Pasal 97 ayat (4) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
  6. Anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajibannya melaporkan kepada Perseroan terkait saham yang dimiliki oleh Anggota Direksi yang bersangkutan dan / atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain, untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus, dan akibatnya menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan tersebut (Pasal 101 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
  7. Dalam hal terjadi kepailitan, baik karena permohonan Perseroan Terbatas maupun permohonan pihak ketiga, terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut (Pasal 104 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi Anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai Anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 104 ayat (3) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
  8. Dalam hal Direksi diwajibkan untuk meminta persetujuan atau bantuan kepada Dewan Komisaris sebelum Direksi melakukan perbuatan hukum tertentu. Meskipun, Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lainnya dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik, hal tersebut tetap dapat mengakibatkan tanggung jawab pribadi Anggota Direksi, manakala terjadi kerugian pada Perseroan (Penjelasan Pasal 117 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

Menurut Pasal 155 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan / atau Dewan Komisaris atas kesalahan atau kelalaiannya yang diatur dalam Undang – Undang tentang Hukum Pidana. Ketentuan mengenai Pasal ini menggambarkans ebuah asas, bahwa pertanggungjawaban perdata (civilrechtelijke aansprakelijkheid, liability under civil law), maupun pertanggungjawaban hukum korporasi (liability under corporate law) tidak menghapus atau mengurangi tanggung jawab hukum pidana (liability under criminal law) atas kesalahan Direksi dan / atau Dewan Komisaris apabila ternyata kesalahan atau kelalaian itu mengandung unsur delik pidana. Oleh karena itu, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 155 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut, terhadap Direksi dan / atau Dewan Komisaris dapat dituntut secara simultan pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) serta pertanggungjawaban pidana (criminal liability) atas kesalahan (guilty) atau kelalaian (negligence) yang dilakukannya apabila ternyata kesalahan atau kelalaian tersebut melanggar salah satu pasal dalam undang – undang Hukum Pidana. Misalnya, salah seorang Anggota Direksi atau Dewan Komisaris “menggelapkan” harta kekayaan atau aset Perseroan. Dalam kasus yang seperti ini, sekaligus secara bersamaan melekat pertanggungjawaban hukum secara perdata maupun pidana. Tanggung jawab perdatanya dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yakni melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtsmatige daad) yang mengakibatkan Perseroan mengalami kerugian sebagai akibat dari penggelapan tersebut. Adapun tanggung jawab hukum secara pidana, yaitu dapat dituntut berdasarkan ketentuan Pasal 372 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan sengaja mengambil atau memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan Perseroan yang ada dalam kekuasaannya untuk diurus olehnya.


2.3.4. Tanggung Jawab Internal Direksi terhadap Perseroan dan Pemegang Saham.

Tugas dan tanggung jawab Direksi terhadap Perseroan dan Pemegang Saham Perseroan telah dimulai sejak Perseroan memperoleh status badan hukum. Dalam hal Direksi bertindak mewakili Perseroan, maka Direksi memiliki kewajiban – kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Direksi. Kelalaian dalam melaksanakan kewajibannya memberikan sanksi yang mengakibatkan pertanggungjawaban dari seluruh Anggota Direksi. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya, Direksi Perseroan diwajibkan untuk:[105]

    1. Membuat daftar Pemegang Saham Perseroan yang berisikan keterangan mengenai kepemilikan saham dalam Perseroan oleh Para Pemegang Saham, daftar khusus yang memuat keterangan mengenai kepemilikan saham oleh Direksi dan Komisaris Perseroan beserta keluarganya atas setiap saham yang dimiliki oleh mereka dalam Perseroan maupun pada Perseroan – Perseroan Terbatas lainnya, Risalah Rapat Umum Pemegang Saham dan Risalah Rapat Direksi Perseroan.
    2. Membuat laporan tahunan dan dokumen keuangan Perseroan.
    3. Memelihara seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan Perseroan dan dokumen Perseroan lainnya.

Ketentuan di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 100 ayat (1) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kemudian dalam Pasal 101 juga dijelaskan mengenai kewajiban Direksi untuk melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki Anggota Direksi yang bersangkutan dan / atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dalam daftar khusus. Anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan tersebut. Sebagaimana halnya seorang pemegang kuasa yang melaksanakan kewajibannya berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh pemberi kuasa untuk bertindak sesuai dengan perjanjian pemberian kuasa dan peraturan perundang – undangan yang berlaku, demikian pula Direksi Perseroan sebagai pemegang kuasa (fiduciary duties) dari Para Pemegang Saham Perseroan, bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan pengelolaan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya dengan i’tikad baik sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan oleh Anggaran Dasar dan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya tersebut di atas, memberikan hak kepada Pemegang Saham Perseroan untuk[106]:

    1. Secara sendiri – sendiri atau bersama – sama, yang mewakili jumlah per sepuluh Pemegang Saham Perseroan melakukan Gugatan, untuk dan atas nama Perseroan melalui Pengadilan Negeri terhadap Anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan (derivative suits). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (6) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
    2. Secara sendiri – sendiri melakukan Gugatan langsung untuk dan atas nama pribadi Pemegang Saham Perseroan terhadap Direksi Perseroan, atas setiap keputusan atau tindakan Direksi Perseroan yang merugikan Pemegang Saham. Hal ini terdapat dalam Pasal 97 ayat (7) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Pada setiap Rapat Umum Tahunan Pemegang Saham Perseroan selalu dapat ditemui pemberian pembebasan dan pelunasan oleh Para Pemegang Saham Perseroan kepada Direksi Perseroan atas setiap kegiatan Perseroan dalam tahun buku yang baru lampau, sepanjang kegiatan tersebut dilaporkan atau tercermin dalam laporan tahunan yang disahkan dalam Rapat Umum Tahunan Pemegang Saham Perseroan tersebut (acquit de charge)[107]. Ketentuan ini seringkali disalahartikan, bahwa dengan diberikannya acquit de charge tersebut maka Direksi telah bebas dari segala pertanggungjawaban yang mungkin masih harus ditanggung olehnya di kemudian hari atas setiap perbuatan hukum yang dilakukan olehnya pada tahun dimana ia telah diberikan acquit de charge tersebut. Oleh karena itu, perlu dijelaskan bahwa pada prinsipnya pemberian acquit de charge tersebut hanya memberikan pembebasan dan pelunasan dari perbuatan – perbuatan hukum yang telah dilaporkan atau tercermin dalam laporan tahunan yang disahkan dalam Rapat Umum Tahunan Pemegang Saham. Sedangkan, untuk perbuatan – perbuatan hukum lainnya yang tidak dilaporkan atau tidak tercermin dalam laporan tahunan yang dimaksud, maka Direksi tetap bertanggung jawab sepenuhnya atas segala akibat hukumnya. Perlu diketahui, acquit de charge hanya memberikan pembebasan dan pelunasan perdata oleh Para Pemegang Saham, sedangkan untuk setiap perbuatan yang termasuk dalam perbuatan pidana sama sekali di luar kewenangan dan karenanya tidak pernah diberikan acquit de charge[108].


2.3.5. Tanggung Jawab Eksternal Direksi terhadap Pihak Ketiga.

Tugas dan tanggung jawab Direksi Perseroan terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban Direksi untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga atas setiap kegiatan Perseroan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan Perseroan. Kewajiban – kewajiban yang dibebankan kepada Direksi tersebut antara lain  termuat dalam:[109]

    1. Pasal 44 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam hal ingin pengurangan modal.
    2. Pasal 127 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam hal Perseroan bermaksud untuk melakukan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, dan bagi: (1) Perseroan yang bidang usahanya berkaitan dengan pengerahan dana masyarakat, (2) Perseroan yang mengeluarkan surat pengakuan hutang, (3) Perseroan Terbuka.

Sebagai kewajiban untuk melakukan keterbnukaan, Direksi dan / atau Komisaris bertanggung jawab penuh atas kebenaran dan keakuratan dari setiap data dan keterangan yang disediakan olehnya kepada publik (masyarakat) ataupun pihak ketiga berdasarkan perjanjian. Jika terdapat pemberian data atau keterangan secara tidak benar dan / atau menyesatkan, maka seluruh Anggota Direksi harus bertanggung jawab secara tanggung renteng atas setiap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, sebagai akibat dari pemberian data atau keterangan yang tidak benar atau menyesatkan tersebut, kecuali dapat dibuktikan bahwa keadaan tersebut terjadi bukan karena kesalahannya. Meskipun undang – undang memberikan ketentuan berupa sanksi perdata yang sangat berat kepada setiap Anggota Direksi Perseroan atas setiap kesalahan atau kelalaiannya, namun pelaksanaan dari pemberian sanksi itu sendiri sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan selama Anggota Direksi yang bersangkutan bertindak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar Perseroan dan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Para Pemegang Saham maupun pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh tindakan Direksi harus membuktikan apakah kerugian tersebut terjadi sebagai akibat kesalahan dan / atau kelalaian Direksi.


2.4. Pengaturan dan Penerapan Doktrin Business Judgement Rule terhadap Tanggung Jawab Direksi dalam Pengurusan dan Pengelolaan Perseroan Terbatas.

2.4.1. Pengaturan Doktrin Business Judgement Rule menurut Hukum Perseroan Indonesia.

Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur bahwa setiap Anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas pengurusannya dengan i’tikad baik dan penuh tanggung jawab. Ketentuan ini menegaskan adanya tanggung jawab pribadi yang dipikul oleh Anggota Direksi dalam hal timbul kerugian bagi Perseroan yang disebabkan kesalahan atau kelalaian Anggota Direksi tersebut. Dalam keadaan inilah pertanggungjawaban terbatas Direksi terhadap Perseroan menjadi hilang.

Pasal 97 ayat (5) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga mengatur pengecualian terhadap pertanggungjawabna pribadi Direksi atas kerugian Perseroan tersebut sepanjang Anggota Direksi tersebut tidak melakukan kesalahan atau kelalaian, mengurus Perseroan dengan i’tikad baik dan kehati – hatian, tidak memiliki benturan kepentingan dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya kerugian. Anggota Direksi atau Direksi sebagai dewan tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kerugian Perseroan sepanjang dapat membuktikan bahwa: (1) tidak ada kesalahan atau kelalaian yang dilakukan; (2) pengurusan dilakukan berdasarkan i’tikad baik dan prinsip kehati – hatian; (3) tidak ada benturan kepentingan; (4) mengambil tindakan pencegahan. Ini lah yang dikenal dengan Business Judgement Rule. Pembuktian oleh Direksi tersebut di atas, tidak mengurangi hak Anggota Direksi lain dan / atau Dewan Komisaris untuk mengajukan Gugatan atas nama Perseroan.

Pengaturan dalam Pasal 97 ayat (5) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut di atas, menetapkan kualifikasi – kualifikasi yang dapat membebaskan Direksi dari pertanggungjawaban pribadi, ketentuan Pasal ini menggambarkan dengan jelas keberlakukan doktrin Business Judgement Rule dalam konsepsi standard judicial review, karena dalam pengaturan Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut anak kalimat “….apabila dapat membuktikan….”, hal ini menunjukkan bahwa penerapan doktrin Business Judgement Rule di Indonesia harus dibuktikan di Pengadilan, hal ini sangatlah berbeda dengan konsep Business Judgement Rule as Abstention Doctrine, maka dia tidak dapat dihadapkan ke Pengadilan.

Direksi memiliki kewajiban untuk melaksanakan fiduciary duty dalam mengurus Perseroan. Hal ini berarti bahwa, keputusan – keputusan yang diambil oleh Direksi harus merupakan cerminan dari pelaksanaan dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip fiduciary duty. Dihubungkan dengan pengaturan mengenai fiduciary duty dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, keputusan yang diambil Direksi harus semata – mata untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan dan memperhatikan ketentuan mengenai larangan serta batasan yang ditentukan dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan / atau Anggaran Dasar Perseroan. Ditinjau dari manfaat ekonomisnya, maka keputusan Direksi diharapkan membawa keuntungan bagi Perseroan tersebut.

Dalam suasana bisnis yang tidak pasti dan persaingan yang ketat, tidak jarang mengakibatkan keputusan bisnis Direksi justru menimbulkan kerugian bagi Perseroan, walaupun keputusan tersebut dihasilkan setelah melaksanakan kewajiban fidusianya. Keputusan bisnis Direksi yang brillian di suatu saat dapat saja menjadi suatu kesalahan yang fatal di kesempatan yang lain. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa Business Judgement Rule timbul sebagai akibat telah dilakukannya fiduciary duty oleh Direksi[110]. Sehingga atas keputusan yang demikian, direksi berhak atas perlindungan dari tanggung jawab pribadi atas kerugian Perseroan. Lebih tegas Munir Fuady[111] berpendapat bahwa, kesalahan Direksi yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah kesalahan yang bertentangan dengan fiduciary duty.

Setelah sebelumnya membahas kerugian yang dialami oleh Perseroan, maka selanjutnya adalah kaitannya dengan kerugian yang timbul bagi Pemegang Saham secara langsung, contohnya menurunnya harga saham perusahaan publik karena keputusan bisnis yang menimbulkan kerugian Perseroan. Dalam hal ini, Pemegang Saham dapat melakukan upaya hukum Gugatan, baik Gugatan langsung maupun Gugatan Derivatif (Derivative Suits).


2.4.2. Penerapan Doktrin Business Judgement Rule sebagai Perlindungan Hukum atas Tindakan Keputusan Bisnis Direksi dalam Mengelola Perseroan.

Doktrin Business Judgement Rule berprinsip pada perlindungan dan pembelaan Direksi yang beritikad baik dari pertanggungjawaban dan tuntutan hukum atas pengurusan Perseroan dan keputusan bisnis yang diambilnya, bukan perlindungan terhadap Direksi yang beri’tikad buruk. Doktrin Business Judgement Rule sebagai aplikasi spesifik dari standar tingkah laku Direksi pada sebuah situasi yang mana setelah pemeriksaan wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan i’tikad baik, jujur dan secara rasional menggunakan tindakan dengan i’tikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata – mata untuk kepentingan perusahaan[112].

Pertimbangan bisnis Direksi tidak dapat ditantang (diganggu gugat) atau ditolak oleh Pengadilan atau oleh Pemegang Saham. Direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat – akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis sekalipun pertimbangan itu menimbulkan kerugian, kecuali dalam hal – hal tertentu. Pertimbangan bisnis yang bagaimanakah yang tidak dilindungi oleh Business Judgement Rule adalah sangat penting diketahui oleh masyarakat dan hakim. Akan tetapi, putusan – putusan Pengadilan di Amerika Serikat, ternyata tidak seragam dalam merumuskan pengecualian – pengecualian Business Judgement Rule tersebut[113].

Beberapa Pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan Direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali, apabila pertimbangan (judgement) tersebut didasarkan atas suatu kecurangan (fraud), menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality). Ada juga Pengadilan yang berpendapat bahwa Direksi yang mengambil pertimbangan menimbulkan kerugian bagi Perseroan tidak dilindungi oleh Business Judgement Rule jika kerugian tersebut merupakan akibat dari kelalaian berat (gross negligence) dari Direksi yang bersangkutan[114].

Perlindungan hukum berdasarkan prinsip Business Judgement Rule tidak berlaku bagi Direksi Perseroan jika dalam transaksi bisnis yang dilakukannya berupaya mengedepankan kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat – syarat transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya. Pertimbangan yang telah diambil Direksi seperti inilah yang mengandung tindakan kecurangan (fraud) dan benturan kepentingan (conflict of interest).

Penerapan doktrin Business Judgement Rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin duty of care dan duty of loyalty, sehingga Anggota Direksi dalam mengambil suatu pertimbangan tersebut diketahui telah melakukannya berdasarkan i’tikad baik (good faith). Namun, disamping itu Direksi harus bertanggung jawab atas kerugian Perseroan yang telah timbul karena bertindak sembrono (act negligently) atau melakukan kelalaian yang berat (act in grossly negligent way) dalam kebijakannya tersebut[115].

Tolak ukur untuk menentukan mengenai suatu kerugian Perseroan tidak disebabkan oleh keputusan bisnis yang tidak tepat adalah sebagai berikut:

    1. Memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar.
    2. Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan i’tikad baik.
    3. Memiliki dasar pertimbangan yang rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.

Seorang Direksi seharusnya memiliki mestinya memiliki pemahaman yang baik mengenai bisnis Perseroan yang dipimpinnya agar mampu memobilisasi kegiatan Perseroan. Direksi dari waktu ke waktu harus mengetahui kegiatan usaha Perseroan, bahkan lebih dini agar mudah dan cepat dilakukan tindakan pencegahan kerugian termasuk secara terus – menerus melakukan pemantauan kegiatan Perseroan. Direksi harus menghadiri rapat – rapat Direksi secara teratur dan disiplin.

Direksi harus melakukan review atas laporan – laporan keuangan Perseroan secara teratur untuk mengetahui perkembangan administrasi setiap menajemen dan kegiatan usaha Perseroan, serta menanyakan atau melakukan klarifikasi terhadap tiap – tiap divisi dalam menajemen Perseroan bilamana ternyata menjumpai sesuatu hal – hal yang dinilai mencurigakan dan / atau tidak berjalan sesuai dengan standard operational procedure Perseroan. Direksi harus berani menyatakan keberatan terhadap dilakukannya perbuatan – perbuatan yang jelas – jelas melanggar hukum dan berkonsultasi dengan Penasihat Hukum (Legal Counsel) atau Konsultan Hukum/Pengacara Perseroan (Corporate Lawyer), apabila hal tersebut ditemukan adanya tantangan atau sesuatu hal yang berpotensi mengancam merugikan diri seorang Direksi yang bersangkutan karena adanya suatu tekanan atau campur tangan dari Pemegang Saham, maka Direksi harus harus mengundurkan diri apabila perbaikan – perbaikan yang semestinya dilakukan dilakukan ternyata ditentang atau dilanggar oleh Pemegang Saham yang bermaksud melakukan suatu perbuatan melawan hukum.

Doktrin business Judgement Rule sebelumnya tidak diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (sudah dicabut), akan tetapi Business Judgement Rule baru diatur dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas masih menempatkan tanggung jawab penuh yang mengandung prinsip duty of care dan duty of loyalty terhadap Perseroan, namun untuk membebaskan Direksi yang beritikad baik belum diatur instrumen hukum (norma) dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tersebut.

Pasal 82 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menentukan tanggung jawab penuh Direksi atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Selanjutnya, dalam Pasal 82 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa setiap Anggota Direksi wajib dengan i’tikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan, yang merupakan perwujudan dari doktrin fiduciary duty. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat mengakibatkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya tersebut, namun tidak instrumen hukum (norma) yang melindungi Direksi yang beritikad baik tersebut agar dapat dibebaskan dari tanggung jawab hukum secara pribadi.

Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga menentukan tanggung jawab penuh tersebut, disamping juga mengatur instrumen hukum (norma) terkait perlindungan hukum bagi Direksi yang beritikad baik. Pasal 1 angka 5[116], dan Pasal 97 ayat (1)[117],  (2)[118] dan (3)[119] Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menentukan tanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan oleh Direksi. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. Pengurusan Perseroan dengan tanggung jawab penuh tersebut wajib dilaksanakan oleh setiap Anggota Direksi dengan i’tikad baik. Setiap Anggota Direksi tersebut bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. Ketentuan ini juga menngandung doktrin fiduciary duty yang berprinsip pada duty of care dan duty of loyalty yang semata – mata ditujukan pada maksud dan tujuan Perseroan.

Doktrin Business Judgement Rule dalam ketentuan Pasal 97 ayat (5) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tampak adanya pengecualian mengenai tanggung jawab Direksi dalam hal pengurusan Perseroan. Pasal 97 ayat (5) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa, Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila dapat membuktikan:

    1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
    2. Telah melakukan pengurusan dengan i’tikad baik dan kehati – hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
    3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian.
    4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian.

Setiap Anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya dan mengakibatkan kerugian terhadap Perseroan. Pengurusan Perseroan wajib dilaksanakan setiap Anggota Direksi dengan i’tikad baik dan penuh tanggung jawab. Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan baik secara pidana maupun perdata, kecuali Direksi tersebut dapat membuktikan hal – hal uyang disebutkan di dalam ketentuan Pasal 97 ayat (5) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka Direksi tersebut akan dibebaskan dari tanggung jawab hukum.

Direksi menjalankan pengurusan Perseroan hanya untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Hanya untuk kepentingan Perseroan sesuai maksud dan tujuan Perseroan, berarti Direksi tidak dibenarkan oleh undang – undang bertindak lain daripada kepentingan maksud dan tujuan Perseroan. Direksi sebagai Organ Perseroan yang dipercaya dan diberikan tanggung jawab penuh dalam bertindak menjalankan pengelolaan Perseroan yang dianggapnya tepat. Direksi berwenang menjalankan pengurusan Perseroan dengan kebijakan yang dipandang tepat, tetapi dalam batas yang ditentukan dalam undang – undang maupun Anggaran Dasar Perseroan.

Doktrin Business Judgement Rule mengawal Direksi untuk membuktikan ada atau tidaknya unsur – unsur kesalahan atau kelalaian atas tindakan keputusan bisnisnya dalam mengelola dan mengurus Perseroan sebagai Organ Perseroan yang berwenang mewakili Perseroan. Dalam hal membuktikan terkait ada atau tidaknya unsur – unsur kesalahan atau kelalaiannya tersebut harus benar – benar dibuktikan dihadapan Pengadilan yang berwenang. Dengan demikian, hal tersebut tidak serta merta dapat melindungi Direksi dari jerat hukum atau pertanggungjawaban hukum secara pribadi atas kerugian Perseroan tanpa melalui pembuktian di Pengadilan.


Endnotes
(Daftar Bacaan dan Referensi)

[1] Lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[2] M. Yahya Harahap (1), Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan Ke-1, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 37 – 38.

[3] Ridel S. Tumbel, Kajian Hukum Tanggung Jawab Direksi terhadap Kerugian Perusahaan Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. II, Nomor 1, Tahun 2014, hlm. 6.

[4] Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas, Teori dan Praktik, Cetakan ke-1, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 19.

[5] Ridwan Khairandy (1), Pokok – Pokok Hukum Dagang Indonesia, Cetakan ke-1, Penerbit: FH UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 109.

[6] M. Yahya Harahap (2), Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan ke-3, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 347.

[7] Munir Fuady (1), Doktrin – Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesatu, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 33.

[8] Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan ke-1, Penerbit: Permata Aksara, Jakarta, 2013, hlm. 97.

[9] Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgement Rule, Cetakan Pertama, Penerbit: Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm. 9.

[10] Munir Fuady (2), Doktrin – Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Cetakan Ketiga, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2014, hlm. 185.

[11] Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, Penerbit: PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm. 345.

[12] Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Penerbit: PT. Eresco, Bandung, 1993, hlm. 2.

[13] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jilid 1), Penerbit: Djambatan, Jakarta, 1981, hlm. 85.

[14] Chaidir Ali (1), Badan Hukum, Cetakan Ke – 2, Penerbit: Alumni, Bandung, 1999, hlm. 14.

[15] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 69.

[16] J. Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I Persoon Alamiah, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 13.

[17] Nindyo Pramono, Kekayaan Negara yang Dipisahkan Menurut UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dalam Sri Rejeki Hartono, et. al., ed., Permasalahan Seputar Hukum Bisnis; Persembahan Kepada Sang Maha Guru, Tanpa Penerbit, Yogyakarta, 2006, hlm. 142.

[18] Ridwan Khairandy (2), Hukum Perseroan Terbatas, Penerbit: FH UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 7.

[19] Prinsip continuity of existence merupakan prinsip dimana perusahaan akan tetap eksis walaupun terjadi pergantian pemilik saham. Jadi, jika pemilik saham perusahaan meninggal atau berhenti dari perusahaan dengan cara mengalihkan saham – sahamnya, perusahaan akan tetap eksis dan tidak bubar. Prinsip ini merupakan salah satu prinsip yang membedakan bentuk korporasi dengan bentuk badan usaha lainnya. Di dalam persekutuan perdata, termasuk firma, semesternya dengan meninggalnya salah seorang, persekutuan harus bubar. Dikutip dari, Ridwan Khairandy (2), Hukum Perseroan Terbatas, Ibid., hlm. 10.

[20] Erick P.M. Vermuelen, The Evolution of Legal Business Forms in Europe and The United States: Venture Capital, Joint Venture, and Partnership Structure, Kluwer Law International, Deventer (City in Netherland), 2002, hlm. 189. Sebagaimana dikutip dari Ridwan Khairandy (2), Hukum Perseroan Terbatas, Ibid.

[21] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Op.Cit., hlm. 63.

[22] David Kelly, et. al., Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002, hlm. 343., sebagaimana dikutip dari, Ridwan Khairandy (2), Hukum Perseroan Terbatas, Op.Cit., hlm. 15.

[23] Reiner R. Kraakman, et. al., The Anatomy of Corporate Law: A Comparative and Functional Approach, Oxford University Press, Oxford, 2005, hlm. 5. Sebagaimana dikutip dari, Ridwan Khairandy (2), Hukum Perseroan Terbatas, Ibid., hlm. 16.

[24] Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Penerbit: Erlangga, Jakarta, 2012, hlm. 92.

[25] Ridwan Khairandy (3), Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Cetakan ke-2, Penerbit: Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 177.

[26] Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal – Soal Aktual Hukum Perusahaan, Cetakan – 1, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 55.

[27] Ridwan Khairandy (1), Pokok – Pokok Hukum Dagang Indonesia, Op.Cit., hlm. 94.

[28] Hardijan Rusli, Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya, Cetakan ke – 1, Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 114.

[29] Chatamarrasjid Ais, Op.Cit., hlm. 60.

[30] Hasbullah F. Sjawie (1), Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cetakan Ke – 1, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 83.

[31] Ridwan Khairandy (1), Pokok – Pokok Hukum Dagang Indonesia, Op.Cit., hlm. 94.

[32] Ibid.

[33] Ibid., hlm. 95.

[34] Ibid.

[35] Rudhi Prasetya, Op.Cit., hlm. 54.

[36] Ridwan Khairandy (3), Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Op.Cit., hlm. 183 – 184.

[37] Ibid., hlm. 184.

[38] Ridwan Khairandy (1), Pokok – Pokok Hukum Dagang Indonesia, Op.Cit., hlm. 99.

[39] Ridwan Khairandy (3), Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Op.Cit., hlm. 202.

[40] Ibid., hlm. 186.

[41] Ibid.

[42] Ibid., 187.

[43] Ibid.

[44] Lihat ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[45] Gunawan Widjaja (1), Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Cetakan ke – 2, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 19 – 20.

[46] Ridwan Khairandy (1), Pokok – Pokok Hukum Dagang Indonesia, Op.Cit., hlm. 105.

[47] Ibid., hlm. 106.

[48] Ridwan Khairandy (3), Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Op.Cit., hlm. 207.

[49] Ibid., hlm. 207 – 208.

[50] Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Op.Cit., hlm. 96.

[51] Binoto Nadapdap, Op.Cit., hlm. 92.

[52] Hardijan Rusli, Op.Cit., hlm. 126.

[53] Ridwan Khairandy (1), Pokok – Pokok Hukum Dagang Indonesia, Op.Cit., hlm. 128.

[54] Ibid., hlm. 128 – 129.

[55] Ibid.

[56] Binoto Nadapdap, Op.Cit., hlm. 105.

[57] Ridwan Khairandy (3), Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Op.Cit., hlm. 246.

[58] M. Yahya Harahap (2), Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan ke-3, Op.Cit., hlm. 461.

[59] Ibid.

[60] Henry Black Campbell (1), Black’s Law Dictionary 9th Edition, West Publishing Co, Saint Paul; Minnesota, 2009, hlm. 1264.

[61] Munir Fuady (2), Doktrin – Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Op.Cit., hlm. 7.

[62] Bismar Nasution, Pemahaman Perusahaan Berdasarkan Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, BTPN, Medan, 2008.

[63] Timothy Endicott, “Constitutional Logic”, University of Toronto Law Journal, No. 53, Tahun 2003, hlm. 201. Sebagaimana dikutip oleh, Jhony Ibrahim, “Doktrin Ultra Vires dan Konsekuensi Penerapannya terhadap Badan Hukum Privat”, Jurnal Dinamika Hukum Volume 11 Nomor 2, Mei 2011, hlm. 244.

[64] Frank A. Mack, “The Law on Ultra Vires Acts and Contracts of Private Corporations”, Marquette Law Review. Sebagaimana dikutip oleh, Jhony Ibrahim, Ibid.

[65] Jhony Ibrahim, Ibid.

[66] I. G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan, Penerbit: Megapoin, Jakarta, 2000, hlm. 227.

[67] Henry Black Campbell (2), Black’s Law Dictionary 6th Edition, West Publishing Co, Saint Paul; Minnesota, 1990.

[68] Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas; Keberadaan, Tugas dan Tanggung Jawab, Penerbit: Ghalia Indonesia, 2005, hlm. 45.

[69] Hartanto berpendapat bahwa, “suatu tindakan Perseroan yang memiliki kewenangan, bisa digolongkan sebagai Ultra Vires, apabila dilakukannya secara tidak teratur”. Sebagaimana dikutip oleh, Ary Wahyudi Hertanto, Peluang Pemulihan Tindakan Ultra Vires Direksi Suatu Perseroan Terbatas, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke – 35 Nomor 1, Jakarta, Januari – Maret 2007, hlm. 27.

[70] Nicolas Bourne, “Essential Company Law”, 3rd Edition, Cevendish Publishing Limited, London – Sydney, 2000, hlm. 24. Sebagaimana dikutip oleh, Hasbullah F. Sjawie (2), Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas atas Tindakan Ultra Vires, Jurnal Hukum Prioris Volume 6 Nomor, Trijurnal, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2017, hlm. 25.

[71] Fred B. G. Tumbuan, Tugas dan Wewenang Organ Perseroan Terbatas menurut Undang – Undang tentang Perseroan Terbatas”, PPH News Letter Nomor 70, Universitas Katholik Atma Jaya, Jakarta, September 2007, hlm. 17.

[72] Erman Rajagukguk (1), Tenggung Jawab Direksi dan Business Judgement Rule, Jurnal Hukum Volume 3 Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Oktober 2008, hlm. 5.

[73] Eddie Supriyadi, Tanggung Jawab Direksi, Jurnal Hukum Themis, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, Oktober 2006, hlm. 45.

[74] Munir Fuady (1), Doktrin – Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesatu, Op.Cit., hlm. 33.

[75] Ibid., hlm. 34.

[76] Henry Black Campbell (2), Black’s Law Dictionary 6th Edition, Op.Cit., hlm. 625.

[77] Ibid., hlm. 564.

[78] Yunus Edward Manik, Permasalahan Yuridis akan Status Hak Kepemilikan Pemegang Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset-Backet Securities) Apabila Dikaitkan dengan Kepailitan, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 3 Nomor 3, Bank Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 28.

[79] Munir Fuady (1), Doktrin – Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesatu, Op.Cit., hlm. 34.

[80] Ridwan Khairandy (3), Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Op.Cit., hlm. 210.

[81] Gunawan Widjaja (2), 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas, Cetakan ke-2, Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hlm. 65.

[82] Mark Klock, “Lighthouse or Hidden Reef?; Navigating The Fiduciary Duty of Delaware Corporation’s Directors in The Wake of Malone, 6 Stanford Journal of Law, Business and Finance, Fall, 2000, hlm. 11. Sebagaimana dikutip oleh, Ridwan Khairandy (3), Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Op.Cit., hlm. 206.

[83] Munir Fuady (3), Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 83.

[84] Philip Lipton dan Abraham Herzberg, “Understanding Company Law”, The Law Book Company Ltd., Brisbane, 1992, Hlm. 336., Sebagaimana dikutip oleh, Gunawan Widjaja (1), Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Op.Cit., hlm. 57.

[85] Henry Black Campbell (2), Black’s Law Dictionary 6th Edition, Op.Cit., hlm. 200.

[86] Frank H. Easterbrook and Daniel R. Fischel, The Economic Structure of Corporate Law, Harvard University Press, Cambridge, 1991, hlm. 91.

[87] Gunawan Widjaja (2), 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas, Op.Cit., hlm. 67.

[88] Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas, Penerbit: CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hlm. 41.

[89] M. Yahya Harahap (1), Hukum Perseroan Terbatas, Op.Cit., hlm. 351. Pasal 99 Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas, menentukan sebagai berikut:

(1) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:

    1. Terjadi perkara di Pengadilan antara Perseroan dengan Anggota Direksi yang bersangkutan; dan
    2. Anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.

(2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhak mewakili Perseroan adalah:

    1. Anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan;
    2. Dewan Komisaris dalam hal seluruh Anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.
    3. Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh Anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.

[90] M. Yahya Harahap (1), Ibid., hlm. 345 – 350.

[91] Freddy Harris dan Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas, Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi, Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 37.

[92] Business Judgement Rule selain untuk melindungi tanggung jawab pribadi Direksi apabila terjadi pelanggaran, juga dapat diberlakukan terhadap pembenaran – pembenaran keputusan bisnis, manakala perintah – perintah yang ditujukan kepada Direksi, atau terhadap keputusan – keputusan itu sendiri, terhadap kasus yang menitikberatkan pada keputusan bisnis yang merupakan tanggung jawab dari pembuat keputusan.

[93] Gunawan Widjaja (3), Seri Hukum Bisnis: Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Cetakan ke – 3, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 56 – 60. Lihat juga, Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Penerbit: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 106.

[94] Chaidir Ali (2), Badan Hukum, Cetakan Ke – 1, Penerbit: Alumni, Bandung, hlm. 97.

[95] Erman Rajagukguk (2), Butir – Butir Hukum Ekonomi, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 117.

[96] M. Yahya Harahap (1), Op.Cit., hlm. 54.

[97] Ibid., hlm. 55.

[98] Ibid.

[99] Ibid., hlm.21.

[100] Penjelasan Pasal 92 ayat (3) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kebijakan yang dipandang tepat” adalah kebijakan yang, antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedi, dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis.

[101] Pasal 92 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang Anggota Direksi atau lebih.

[102] Ridwan Khairandy (3), Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Op.Cit., hlm. 204.

[103] Gunawan Widjaja (2), 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas, Op.Cit., hlm. 74 – 75.

[104] Deviden Interim adalah “Deviden Sementara” yang dinyatakan dan dibayarkan “sebelum” laba tahunan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Biasanya pembayaran dilakukan secara berkala seperti per triwulan selama tahun berjalan. Yang penting dingat, Dviden Interim merupakan pembagian laba atau keuntungan Perseroan yang bersifat sementara. Belum merupakan Deviden yang bersifat final (Final Devidend) berdasar keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pembagiannya baru berdasarkan penetapan Direksi. Lihat M. Yahya Harahap (1), Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan Ke-1, Op.Cit., hlm. 293.

[105] Ahmad Yani et. al., Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 98.

[106] Ibid., hlm. 112.

[107] Ibid., hlm. 116.

[108] Ibid.

[109] Ibid., hlm. 114.

[110] Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgement Rule, Op.Cit., hlm. 100.

[111] Munir Fuady (1), Doktrin – Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesatu, Op.Cit., hlm. 200.

[112] Gunawan Widjaja (4), Seri Hukum Bisnis: Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Cetakan Ke – 3, Penerbit: Rajagrafindo Persada, 2005, Jakarta, hlm. 38.

[113] Sutan Remy Sjahdeini, Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, Jurnal Hukum Bisnis Volume 1, Juli 2001, hlm. 101.

[114] Ibid.

[115] Gunawan Widjaja (4), Seri Hukum Bisnis: Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Op.Cit., hlm. Hlm. 41.

[116] Pasal 1 angka 5 Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.

[117] Pasal 97 ayat (1) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Pasal 92 ayat (1) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

[118] Pasal 97 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , wajib dilaksanakan setiap Anggota Direksi dengan i’tikad baik dan penuh tanggung jawab.

[119] Pasal 97 ayat (3) Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa setiap Anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Featured

PENERAPAN LARANGAN PEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE SEBAGAI OBYEK LANDREFORM DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK – POKOK AGRARIA (UUPA)

PENDAHULUAN

 

1.1.   Latar BelakangHukum Agraria

Tanah adalah satu kesatuan wilayah yang spesifik dari permukaan bumi. Dalam hukum adat, tanah adalah benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah memiliki beragam makna, dari makna filosofis, sosiologis, dan ekonomis. Tanah secara luas memiliki pengertian meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta hubungan antara sesama manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh. Tanah menjadi sumber daya strategis sebagai kekayaan nasional, pemersatu wilayah, karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran itu dengan sendirinya memerlukan upaya yang memberikan nilai tambah atau hasil yang bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan[1].

Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian (agraris), baik sebagai pemilik tanah pertanian, petani penggarap maupun buruh tani. Tanah merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia untuk memperoleh suatu bahan makanan yang sebagian besar berasal dari pengelolaan tanah.

Disamping itu, tanah merupakan sumber daya yang penting bagi masyarakat, baik sebagai media cocok tanam maupun sebagai ruang (space) atau wadah (tempat) melakukan berbagai kegiatan. Tanah juga merupakan salah satu faktor produksi yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan suatu bangsa. Tanah dalam masa pembangunan bertambah penting artinya, karena adanya peningkatan volume pembangunan dalam bidang – bidang pertanian, industri modern, perumahan, kelestarian lingkungan hidup, pengamanan sumber kekayaan alam, kesejahteraan sosial dan lain – lain. Hal ini semakin kompleks bila dikaitkan dengan pertambahan penduduk yang memerlukan wilayah yang luas, sehingga mengakibatkan mengecilnya atau berkurangnya persediaan tanah.

Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75) untuk selanjutnya disebut UUD NRI 1945 menentukan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam Pasal ini mengandung makna pemberian kekuasaan pada negara untuk mengatur sumber daya alam yang terkandung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka menyejahterakan segenap rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan isi dari Pasal ini, maka lahir lah Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) untuk selanjutnya disebut dengan UUPA, mengatur mengenai hukum pertanahan yang sesuai dengan jiwa dari bangsa Indonesia. UUPA diundangkan dengan tujuan untuk: (1) Meletakkan dasar – dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional sebagai alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur; (2) Meletakkan dasar – dasar untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; (3) Meletakkan dasar – dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak – hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan tujuan UUPA tersebut ditindaklanjuti dengan lahirnya berbagai peraturan perundang – undangan, salah satunya adalah Undang – Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117), selanjutnya disebut UU Landreform, yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila[2].

Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA tersebut adalah dicanangkannya program Landreform di Indonesia. Program tersebut diantaranya:[3]

“Pembatasan luas maksimal penguasaan tanah; Larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai); Redistribusi tanah – tanah yang menjadi kelebihan dari batas maksimal, tanah – tanah yang terkena larangan absentee, tanah – tanah bekas swapraja dan tanah – tanah negara; Pengaturan berkaitan dengan pengembalian dan penebusan tanah – tanah pertanian yang digadaikan; Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan – perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah – tanah pertanian menjadi bagian – bagian yang terlampau kecil”.

Pada dasarnya Landreform merupakan suatu upaya perubahan struktural yang mendasarkan diri pada hubungan – hubungan intra dan antar subyek – subyek agraria dalam kaitan akses (penguasaan dan pemanfaatan) terhadap obyek – obyek agraria. Namun secara konkret, pembaharuan agraria diarahkan untuk untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perubahan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan dan kekayaan alam yang menyertainya[4].

Selain itu dalam Pasal 10 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria menentukan bahwa, “setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada dasarnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara – cara pemerasan”. Dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara tegas bahwa adanya larangan untuk kepemilikan tanah secara absentee, tetapi melihat apa yang tertulis dalam pasal tersebut yang menyebutkan adanya suatu kewajiban untuk secara aktif mengerjakan atau mengusahakan tanah tersebut dengan mencegah cara – cara pemerasan, maka dapat dinyatakan UUPA melarang adanya kepemilikan tanah secara absentee.

Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut, Pemerintah sebenarnya telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322), yang pada intinya peraturan tersebut melarang adanya kepemilikan tanah secara absentee.

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322), menentukan bahwa “Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322), menentukan bahwa mereka – mereka yang mendapatkan pengecualian untuk memiliki tanah secara absentee, adalah sebagai berikut:

  1. Bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, dengan syarat jika jarak antara tempat tinggal pemilik dengan tanahnya masih memungkinkan untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien menurut pertimbangan panitia Landreform daerah tingkat II.
  2. Mereka yang sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria.
  3. Bagi pegawai – pegawai negeri dan pejabat – pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka yang sedang menjalankan tugas negara.

Kepemilikan tanah pertanian secara absentee dapat terjadi karena adanya peralihan hak baik karena adanya jual – beli maupun pewarisan. Segala perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah diwajibkan bagi calon penerima hak membuat suatu pernyataan sebagaimana telah diamanatkan oleh Pasal 99 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Surat pernyataan itu antara lain memuat masalah kepemilikan tanah absentee dan Landreform. Namun ternyata tidak sedikit yang mengabaikan ketentuan terkait kepemilikan dan peralihan hak tanah secara absentee maupun Landreform. Sampai detik ini masih sering dijumpai adanya Akta Perjanjian Ikatan Jual – Beli yang obyeknya sawah atau tambak dan pembelinya berstatus absentee.

Pemilik hak atas tanah memiliki kewajiban – kewajiban yang telah diatur dalam undang – undang, seperti:

  1. Kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria).
  2. Kewajiban memelihara tanah (Pasal 15 dan Pasal 52 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria).
  3. Kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertanian (Pasal 10 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria).

Secara implisit di dalam UUPA mengamatkan bahwa, agar tidak merugikan kepentingan umum, maka kepemilikan dan penguasaan tanah secara absentee yang melampaui batas tidak diperkenankan. Hal demikian dikhawatirkan seorang pemilik (pemegang hak) tanah yang luas cenderung untuk menjadi tuan tanah (landlord), serta cenderung untuk tidak bertempat tinggal di wilayah tempat tanah (pertanian) tersebut berada.

Pelaksanaan pembatasan tanah secara absentee hingga sampai dengan saat ini masih belum seperti yang diharapkan. Kepemilikan tanah secara absentee merupakan hal yang sangat mudah untuk diketahui, namun sangat sulit untuk dibuktikan dengan berbagai macam alasan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan, kepemilikan tanah pertanian secara absentee pada dasarnya telah dilarang oleh UUPA dan peraturan perundang – undangan lainnya yang terkait. Larangan ini berkenaan dengan ketentuan landreform sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 17 UUPA.

Maksud dari larangan atas kepemilikan tanah pertanian secara absentee ini agar petani yang tinggal di daerah tempat tanah pertanian tersebut berada dapat berperan aktif dan efektif dalam mengerjakan tanah pertanian miliknya, sehingga produktifitasnya bisa tinggi dan melenyapkan pengumpulan tanah di tangan para tuan tanah. Tujuan dari larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee ini adalah agar hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah pertanian tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di daerah tempat tanah tersebut berada. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322), mewajibkan pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya untuk mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada orang lain, dalam Peraturan Pemerintah tersebut mewajibkan pemilik (pemegang hak) atas tanah untuk pindah domisili kecamatan dimana tanah pertanian tersebut berada.

Ketentuan mengenai larangan kepemilikan tanah absentee dapat menimbulkan permasalahan – permasalahan. Permasalahan utama mengenai pengecualian – pengecualiannya, seperti pengecualian pada orang atau badan hukum yang dapat memiliki tanah pertanian secara absentee apabila letak tanah tersebut dan tempat tinggal pemilik tanah tersebut berbatasan kecamatannya. Akan tetapi, untuk saat ini jarak antara kecamatan satu dengan kecamatan lainnya tidak terlalu jauh, bahkan seringkali dijumpai berdekatan, karena dengan adanya perkembangan bidang teknologi dan transportasi serta pembangunan infrastruktur yang semakin maju pesat, sehingga memungkinkan orang yang tempat tinggalnya tidak berbatasan langsung dengan letak tanah pertanian, untuk memiliki tanah pertanian secara absentee. Karena mereka masih memungkinkan untuk dapat mengerjakan tanah tersebut secara aktif. UUPA, tidak memperkenankan untuk memiliki tanah pertanian secara absentee karena alasan kepentingan sosial dan perlindungan tanah. Dikhawatirkan jika tanah yang dimiliki secara absentee tersebut tidak diurus dan dikelola dengan baik sehingga dikhawatirkan akan menjadi tanah yang terlantar atau tidak lagi produktif sebab pemiliknya jauh. Tanah absentee dapat dimiliki oleh penduduk yang masih berbatasan dengan kecamatan dimana letak tanah tersebut berada. Selain itu, tanah pertanian dapat dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Tentara Negara Indonesia (TNI) dengan alasan keduanya merupakan abdi negara yang dapat berpindah tugas dari satu wilayah ke wilayah Indonesia yang lainnya. Untuk itu, pemilik tanah absentee dapat menjual tanah tersebut kepada masyarakat sekitar, atau bisa juga dengan menukar tanah tersebut, atau bahkan memberikan tanah tersebut secara sukarela dalam bentuk hibah kepada penduduk sekitar. Akan tetapi, jika ingin tetap memilikinya, maka dapat meminta salah satu anggota keluarganya untuk pindah ke lokasi tanah tersebut. Namun dalam kenyataannya, praktik di lapangan masih begitu banyak ditemui cara-cara untuk menyiasati kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian secara absentee, beberapa diantaranya adalah dengan cara dibuatnya surat kuasa mutlak, bahkan ditemui pula adanya KTP ganda.

Di era globalisasi ini, terutama dengan adanya kemajuan di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan, ekonomi serta pengaruh pergeseran budaya dalam pergaulan sosial, sebagian masyarakat di daerah pertanian (masyarakat di daerah pedesaan) menganggap bekerja di sektor pertanian bukan lagi dipandang suatu pekerjaan yang dapat dikategorikan sebagai pekerjaan dengan penghasilan yang tetap dan dianggap sebagai pekerjaan yang belum dapat merubah kondisi perekonomiannya untuk menjadi lebih baik, terutama bagi masyarakat dengan angkatan kerja yang berpendidikan minimal Sekolah Menengah Pertama ke atas. Beberapa dari mereka lebih memilih untuk bekerja sebagai karyawan / buruh pabrik, pedagang di kota – kota besar, atau bahkan ada yang lebih memilih bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia di beberapa negara dan lain sebagainya. Sedangkan, pemilik (pemegang hak) atas tanah pertanian (absentee) merupakan masyarakat daerah perkotaan (luar daerah pertanian) / bukan penduduk setempat, yang telah memperoleh tanah – tanah pertanian tersebut melalui peralihan hak baik dengan cara jual – beli, pewarisan, hibah maupun cara – cara lainnya, dan penggunaan tanah pertanian tersebut bukan dikelola sebagaimana peruntukan tanahnya, akan tetapi sebagai sarana investasi yang nantinya akan dijual kembali setelah harganya tinggi.

Menurut A. P. Parlindungan, di Indonesia sekarang ini memang banyak terjadi absentee baru, dengan tujuan bukan landlordism, sungguhpun kadangkala mereka menggaji orang – orang untuk menggarap tanahnya tersebut, tetapi lebih banyak penguasaan tanah yang luas untuk kepentingan spekulasi dan manipulasi. Keadaan ini lebih berbahaya, oleh karena mereka pemiliknya sama sekali tidak mengusahakan tanahnya dalam arti mengembangkan produktifitas tanahnya, kadangkala mereka membiarkan tanah tersebut dalam keadaan kosong (terlantar) dan tidak ditanami, dengan kemungkinan segera akan menjualnya jika telah terbayang akan kesulitan yang dideritanya akibat dari memiliki tanah tersebut. Jika pun ditanaminya, tanah tersebut sekedar untuk memberi kesan bahwa tanah itu ada empunya dan pemiliknya telah meletakkan orangnya untuk menjaga tanah yang dimaksud. Tembakan mereka adalah untuk kepentingan pembangunan perumahan dengan kedok real estate, ataupun tanah – tanah tersebut akan dijadikan proyek pembangunan yang akan diadakan oleh Pemerintah[5].

Akan tetapi, menyangkut hak dan kewajiban tersebut, terkadang kedudukan Pemerintah bukan hanya sebagai penengah apabila timbul konflik antara orang yang satu dengan orang yang lainnya, tak jarang konflik tersebut justru tercipta akibat perselisihan antara hak masyarakat dengan Pemerintah itu sendiri, misalnya dikarenakan adanya suatu kebijakan Pemerintah yang merugikan hak – hak konstitusionalitas dan mencederai nilai – nilai yang hidup di masyarakat, atau dengan cara lainnya yang dipandang tidak sesuai dengan norma – norma sosial dan tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat itu sendiri.

Berkenaan dengan uraian tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pembuatan regulasi oleh Pemerintah ternyata masih terdapat beberapa kendala dan hambatan yang mengakibatkan tidak berjalannya peraturan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Sehingga secara yuridis, permasalahan tersebut terletak pada efektifitas regulasi atau peraturan yang mengatur mengenai program Landreform itu sendiri, yang mana salah satu asasnya terkait larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa gagalnya Landreform di Indonesia dikarenakan salah satunya sebagai akibat dari peraturan mengenai larangan pemilikan tanah absentee tidak dapat diterapkan sebagaimana mestinya dan perlu dilakukan pengkajian ulang serta disesuaikan lagi dengan perkembangan jaman dan pola pikir masyarakat, serta kemajuan teknologi di Indonesia saat ini.


1.2.
Rumusan Masalah.

  1. Apakah peraturan perundnag – undangan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee telah sesuai dengan tujuan dari Landreform?
  2. Apakah urgensi dari penerapan peraturan perundang – undangan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee?
  3. Apakah terdapat pengecualian dalam peraturan perundang – undangan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee?
  4. Bagaimana penerapan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee dalam perspektif Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA)?

 


PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Umum tentang Landreform di Indonesia.

2.1.1. Definisi Landreform.

Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad – abad lamanya oleh negara – negara di dunia. Perombakan atau pembaharuan struktur keagrariaan terutama terkait masalah tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat petani yang semula tidak memiliki lahan garapan untuk memiliki tanah. Sehingga dapat dikatakan, bahwa negara yang ingin maju harus mengadakan Landreform.

Landreform berasal dari kata – kata dalam bahasa Inggris yang terdiri dari kata “Land” dan “Reform”. Land artinya tanah, sedangkan reform artinya perubahan dasar atau perombakan untuk mnembentuk/membangun/menata kembali struktur pertanian. Jadi, arti Landreform adalah perombakan struktur pertanian lama dan pembangunan struktur pertanian lama menuju struktur pertanian baru[6]. Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan dengan penguasaan tanah[7].

Landreform dalam arti luas yang merupakan Agrarian Reform yang meliputi 5 (lima) program, yaitu:

  1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum.
  2. Penghapusan hak – hak asing dan konsesi – konsesi kolonial atas tanah.
  3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur – angsur.
  4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
  5. Perencanaan, persediaan, dan peruntukan bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya[8].

Pelaksanaan Reforma Agraria (Agrarian Reform) yang ke-4 dikenal sebagai kebijakan Landreform atau Reforma Agraria (Agrarian Reform) dalam arti sempit, yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.

Pada tataran implementasi, istilah Landreform sering dipadankan atau diidentikkan dengan istilah Agrarian Reform atau Reforma Agraria, karena Landreform secara langsung dapat menunjukkan hasil yang lebih nyata melalui perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah yang lebih berkeadilan dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini sebagaimana menurut pendapat Elias H. Tuma, yang menyatakan bahwa “dalam praktiknya konsep Landreform telah diperluas cakupannya untuk menekankan peran strategis dari tanah dan pertanian dalam pembangunan”. Oleh karenanya konsep ini kemudian menjadi sinonim dari konsep Reforma Agraria (Agrarian Reform)[9].

Pelaksanaan landreform merupakan kebutuhan dan keharusan yang tidak dapat dihindari guna mewujudkan keadilan sosial dan demi pemanfaatan yang sebesar – besarnya dari tanah untuk kemakmuran bersama. Dengan demikian pelaksanaan Landreform dapat diartikan membantu mewujudkan tujuan nasional negara kita, yaitu masyarakat adil dan makmur.


2.1.2. Dasar Hukum Landreform.

Dalam melaksanakan program Landreform, Pemerintah mempunyai dasar – dasar hukum, yaitu:

a)   Pancasila.
Konsep keadilan sebagaimana yang dijelaskan oleh Aristoteles dan para pemikir sesudahnya, demikian juga konsep keadilan sosial yang tercantum dalam sila ke-5 Pancasila, memang tidak mudah untuk dipahami, terlebih bila harus dihadapkan pada kasus yang konkret. Bagi Indonesia sesuai dengan falsafah Pancasila maka tepat kiranya untuk menerapkan asas keadilan sosial. Keadilan itu sendiri bersifat universal. Jauh di dalam lubuk hati setiap orang ada kesepakatan tentang sesuatu yang dipandang sebagai adil dan tidak adil itu. Dalam pengertian keadilan, pada umumnya diberi arti sebagai keadilan membagi kepada setiap orang yang diberikan bagian atau haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing – masing. Namun, perlu dipahami bahwa keadilan itu bukanlah hal yang statis, akan tetapi merupakan suatu proses yang dinamis dan senantiasa bergerak diantara berbagai faktor termasuk persamaan hak itu sendiri.

b)   Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Secara konstitusional masalah perekonomian di dalamnya, termasuk ekonomi Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia telah diatur dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 33 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur sebagai berikut:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha berdasarkan atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang – cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh negara.
(3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang – Undang.

c)   Landreform dalam Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA).
Sebagaimana disinggung sebelumnya, Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu telah dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), terutama tentang pengertian “dikuasai negara”, yaitu memberi wewenang negara untuk:

(1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan luar angkasa tersebut.
(2) Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang – orang dan perbuatan – perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan angkasa.
(3) Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang – orang dan perbuatan – perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(4) Sementara wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar – besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan Makmur. Payung hukum bagi pelaksanaan landreform di Indonesia adalah Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) dan Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 5 tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), maka UUPA menempati posisi yang strategis dalam sistem hukum nasional Indonesia, karena UUPA mengandung nilai – nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang berperikemanusiaan dan keadilan sosial. Nilai – nilai tersebut dicerminkan oleh:

a. Tanah dan tataran paling tinggi dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
b. Pemilikan atau penguasaan tanah yang berkelebihan tidak dibenarkan.
c. Tanah bukanlah komoditas ekonomi biasa, oleh karena itu tanah tidak boleh diperdagangkan semata – mata untuk mencari keuntungan.
d. Setiap warga negara yang memiliki atau menguasai tanah diwajibkan mengerjakan sendiri tanahnya, menjaga dan memelihara sesuai dengan asas kelestarian kualitas lingkungan hidup dan produktifitas sumber daya alam.
e. Hukum adat atas tanah diakui sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

d)   Beberapa ketentuan pelaksanaan Landreform.
Jika menelusuri beberapa ketentuan lain dari UUPA, maka akan dijumpai beberapa peraturan yang lain jika dipelajari secara mendalam sesungguhnya adalah ketentuan Landreform.

(1) Undang – Undang (Perppu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang – Undang ini merupakan ketentuan dari Pasal 7 dan 17 UUPA. Undang – Undang ini mengatur tiga masalah pokok, yaitu penetapan luas maksimum penguasaan tanah dan luas minimum tanah pertanian.
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
(3) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
(5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform.
(6) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 18 tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian.


2.1.3.
Tujuan Landreform.

Tujuan Landreform diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Secara umum Landreform bertujuan untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Secara khusus, berdasarkan tujuan umum Landreform sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka Landreform di Indonesia diarahkan agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus, yaitu:[10]

a)      Tujuan Sosial – Ekonomis

(1) Memperbaiki keadaan sosial – ekonomi masyarakat dengan memperkuat hak milik, serta memberi isi dan fungsi sosial pada hak milik.
(2) Memperbaiki produksi nasional khususnya di sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

b)     Tujuan Sosial – Politis.

(1)   Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas.
(2)  Mengadakan pembagian yang adil atas sumber – sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil.

c)      Tujuan Mental Psikologis.

(1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah.
(2)  Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.


2.1.4. Obyek Landreform.

Tanah – tanah yang menjadi obyek landreform yang akan diredistribusikan pada petani penggarap menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, meliputi:[11]

a) Tanah – tanah selebihnya dari batas maksimum sebagaimana yang dimaksud dalam Undang – Undang (Perppu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
b) Tanah – tanah yang diambil oleh Pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah kecamatan letak tanahnya atau karena pemilikan tanah absentee (guntai), menyebabkan:

(1) Penguasaan tanah yang tidak ekonomis.
(2) Menimbulkan sistem penghisapan.
(3) Ditelantarkan.

c) Tanah – tanah swapraja dan bekas swapraja yang dengan berlakunya ketentuan UUPA menjadi hapus dan beralih kepada negara.
d) Tanah – tanah lain yang langsung dikuasai oleh negara, misalnya bekas tanah partikelir, tanah – tanah dengan Hak Guna Usaha yang telah berakhir waktunya, diberhentikan, atau dibatalkan.
e) Tanah – tanah lain, tidak termasuk di dalamnya tanah – tanah wakaf dan tanah – tanah untuk peribadatan.

Tanah – tanah sebagai obyek Landreform sebelum dibagi – bagikan kepada masyarakat petani (penggarap), terlebih dahulu dinyatakan sebagai tanah – tanah yang dikuasai langsung oleh negara.


2.2. Tinjauan Umum tentang Tanah Pertanian Absentee sebagai Obyek dari Landreform.

2.2.1. Definisi Tanah Pertanian.

Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/1/12 tentang Tanah Pertanian, angka 5 huruf (b) menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan tanah pertanian adalah juga semua tanah perkebunan tambak untuk perikanan, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya, tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan, berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah, dan berapa yang merupakan tanah pertanian.

Kemudian diperluas dengan tanah – tanah usaha (bukan kongsi) di dalam areal / persil eks tanah partikelir dan eks – eigendom yang luasnya melebihi 10 bouw. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah – Tanah Partikelir, dijelaskan bahwa tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang / badan hukum dan Pemerintah, selain tanah untuk perumahan dan bangunan[12].


2.2.2. Definisi Tanah Pertanian Absentee dan Dasar Hukumnya.

Kata absentee berasal dari kata latin “absentee” atau “absentis”, yang berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris karangan John M. Echols dan Hasan Sadily, absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat tinggal di lain tempat[13]. Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau dalam Bahasa Sunda disebut “guntai”, yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal yang empunya[14].

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, yang mengatur sebagai berikut:

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”.

Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 3d Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan tentang Perubahan dan Penambahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, yang mengatur sebagai berikut:

“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar kecamatan dimana ia bertempat tinggal”.

Ketentuan – ketentuan tersebut di atas, secara implisit menunjukkan bahwa pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) menurut peraturan perundang – undangan tidak diperbolehkan. Karena pada prinsipnya melanggar ketentuan dalam Pasal 10 UUPA yang mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara – cara pemerasan. Selanjutnya, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian menyebutkan secara implisit pula mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee yang terdapat pada Pasal 7 ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanah dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal perolehan hak, harus:
a) Mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lain yang berdomisili di kecamatan letak tanah tersebut; atau
b) Pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”.

Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee tidak berlaku bagi pemilik tanah pertanian yang tempat tinggalnya berbatasan langsung dengan kecamatan tempat letak tanah pertaniannya, dengan syarat jarak tempat tinggal pemilik tanah pertanian itu masih memungkinkan untuk dapat mengerjakan tanah pertaniannya dengan baik dan efisien.

Pengertian dari tanah pertanian absentee menurut Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dalam Pasal 1 (b) dan Pasal 3 ayat (1) dan (3) yaitu tanah – tanah pertanian yang pemiliknyabertempat tinggal diluar daerah kecamatan tempat tanah itu berada. Sedangkan di negara lain, pengertian tanah pertanian absentee tersebut rumusan yang dipakai tergantung dari peraturan masing – masing, ada yang menetapkan ukuran jarak tertentu antara tanah pertaniannya dan tempat tinggal pemilik bahkan ada yang lebih ekstrim, apabila tidak dikerjakan lahan pertaniannya dan bekerja di sektor lain dianggap absentee[15].


2.2.3. Maksud dan Tujuan Diterapkannya Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee.

Pada umumnya tanah – tanah pertanian letaknya adalah di desa, sedang mereka yang memiliki tanah pertanian secara absentee (guntai) umumnya bertempat tinggal di kota / kabupaten. Orang yang tinggal di kota memiliki tanah pertanian di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip tanah pertanian untuk petani. Orang yang tinggal di kota sudah jelas bukan termasuk kategori petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) adalah agar hasil yang diperoleh dari pengelolaan dan / atau penggarapan tanah pertanian sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, bukan dinikmati oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.

Menurut Boedi Harsono, tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil[16]. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, secara implisit juga menyebutkan maksud dan tujuan adanya larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee, yaitu “untuk mengurangi kesenjangan sosial, memeratakan kesejahteraan masyarakat dan menjamin ketahanan pangan”.

Pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) ini menimbulkan penggarapan yang tidak efisien, misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya, juga dapat menimbulkan sistem – sistem penghisapan. Ini berarti bahwa, para petani menggarap tanah milik orang lain dengan sepenuh tenaganya, tanggung jawabnya dan segala resikonya, tetapi hanya menerima sebagian dari hasil yang dikelolanya. Di sisi lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak mengerjakan tanahnya tanpa menanggung segala resiko, serta tanpa mengeluarkan keringatnya akan mendapatkan bagian lebih besar dari hasilnya.

Sehingga hal itu tidak sesuai dengan tujuan Landreform yang diselenggarakan di Indonesia, yaitu untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah serta sebagai landasan atau persyaratan untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila[17]. Secara yuridis, dasar hukum mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) telah dituangkan ke dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dan Pasal 3 (a) sampai dengan Pasal 3 (e) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian[18].

Dalam Pasal 10 UUPA telah dikemukakan bahwa yang mempunyai tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, sehingga kemudian diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut absentee (guntai), yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar wilayah kecamatan tempat tinggal pemilik tanah. Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar kecamatan tempat letak tanahnya. Larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak tempat pemilik itu dengan tanahnya, masih memungkinkan untuk mengerjakan tanahnya tersebut secara efisien.

Untuk memperjelas mengenai tanah absentee (guntai), dapat dikatakan bahwa syarat – syarat berlakunya larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) didasarkan pada adanya peristiwa – peristiwa hukum yang dapat menyebabkan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai), seperti dijelaskan sebagai berikut:

a)  Pemilik tanah pertanian yang meninggalkan kecamatan letak tanahnya.
b) Seseorang yang menerima warisan tanah pertanian yang letaknya di kecamatan lain.
c) Semua bentuk pemindahan hak milik atas tanah pertanian, seperti jual – beli, hibah, dan tukar – menukar.

Yang terjadi dalam praktik adalah bahwa, ada sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasai lagi karena telah beralih secara diam – diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Penguasaan tanah secara absentee (guntai) ini pada umumnya diketahui oleh masyarakat sekitar[19].


2.2.4.
Pengecualian terhadap Pemilikan Tanah Pertanian secara Absentee.

Pengecualian dari larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai), adalah sebagai berikut:

a)   Mereka yang sedang menjalankan tugas negara.
b)   Mereka yang sedang menunaikan kewajiban agama.
c) Mereka yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Menteri Agraria[20].

Pengecualian pemilikan tanah secara absentee (guntai) sampai 2/5 dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II (sekarang Kabupaten / Kota) yang bersangkutan, diberikan kepada:

a)  Pensiunan Pegawai Negeri.
b) Janda Pegawai Negeri dan Janda Pensiunan Pegawai Negeri selama tidak menikah lagi dengan dengan seorang bukan Pegawai Negeri atau Pensiunan Pegawai Negeri.

Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) tidak berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas negara, misalnya pergi dinas ke luar negeri, menunaikan ibadah haji, dan lain sebagainya. Juga pegawai – pegawai negeri dan pejabat – pejabat militer serta mereka yang dipersamakan, yang sedang menjalankan tugas negara boleh memiliki tanah di luar kecamatan, tetapi pemilikan itu terbatas pada 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan. Misalnya, di daerah yang sangat padat, maka hanya diperbolehkan memiliki sawah 2/5 x 5 ha = 2 ha. Di dalam pengecualian yang dimaksudkan pada ayat (3) dan (4) termasuk pula pemilikan oleh isteri dan / atau anak – anak yang menjadi tanggungannya. Tetapi, jika sewaktu – waktu seorang Pegawai Negeri atau yang dipersamakan dengan mereka berhenti menjalankan tugas negara, maka ia wajib pindah ke kecamatan tempat tanah tersebut atau memindahkan hak miliknya kepada orang lain yang tinggal di kecamatan tempat tanah tersebut berada dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak mengakhiri tugasnya dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria apabila terdapat alasan yang wajar dan dapat diterima.

Untuk pensiunan Pegawai Negeri atau mereka yang dipersamakan dengannya, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian secara (Guntai) Absentee bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Dalam Pasal 2 ayat (1) diatur, bahwa:

“Sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, pengecualian dari ketentuan – ketentuan mengenai larangan untuk memiliki tanah pertanian secara guntai (absentee) yang berlaku bagi para pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961, Nomor 280) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Tahun 1964, Nomor 112) sampai batas 2/5 (dua per lima) dari maksimum pemilikan tanah untuk Daerah Tingkat II yang bersangkutan diperlakukan juga bagi: (a) Pensiunan Pegawai Negeri, dan (b) Janda Pegawai Negeri dan Janda Pensiunan Pegawai Negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan Pegawai Negeri atau Pensiunan Pegawai Negeri”.

Diadakan ketentuan pula, bahwa seorang Pegawai Negeri dalam waktu 2 (dua) tahun menjelang pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian secara absentee (guntai). Tetapi, luas tanah yang dimilikinya secara absentee (guntai) itu tidak boleh melebihi 2/5 (dua per lima) dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II (sekarang Kabupaten / Kota) yang bersangkutan. Pemilikan tanah itu boleh diteruskannya setelah pensiun dan sekiranya kemudian ia berpindah tempat tinggal ke kecamatan letak tanah tersebut, maka pemilikan itu dengan sendirinya dapat ditambah hingga seluas batas maksimum.

Kemungkinan – kemungkinan yang dapat timbul terkait pemindahan atau peralihan hak atas tanah pertanian secara absentee (guntai) ini adalah sering terjadi peralihan hak atas tanah pertanian secara absentee (guntai) yang dilakukan kepada seseorang yang bukan Pegawai Negeri Sipil, namun berdomisili di daerah tersebut. Sehingga menyebabkan pengurusan ijin kepemilikan tanah menjadi sulit karena berbenturan dengan peraturan penataan status kepemilikan tanah dengan batas maksimum sesuai peraturan daerah di daerah yang bersangkutan.

Ketentuan tentang kewajiban melaporkan dan memindahkan bagi pemilik tanah pertanian secara absentee (guntai) diatur dalam Pasal 3a Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian[21]:

(1) Pemilik tanah pertanian yang berpindah tempat tinggal atau meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah pertanian selama 2 (dua) tahun berturut – turut, sedangkan ia melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang (kepala desa), maka dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak berakhirnya jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut di atas ia diwajibkan untuk memindahkan hak milik atas tanah pertaniannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan tempat tinggalnya semula atau pemilik tanah pertanian menjalankan tugas negara atau menunaikan kewajiban agama.
(2) Jika pemilik tanah pertanian berpindah tempat tinggal atau meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat tanah pertanian itu, sedangkan ia tidak melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang (kepala desa), makan dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak ia meninggalkan tempat kediamannya itu diwajibkan untuk memindahkan hak milik atas tanah pertaniannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut.

Jika seseorang memiliki tanah pertanian di luar kecamatan dimana ia bertempat tinggal, kecuali Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diperolehnya tanah pertanian tersebut dari warisan, maka dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak pewaris meninggal dunia diwajibkan untuk memindahkan tanah pertaniannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah pertanian tersebut terletak. Pemilik tanah pertanian tidak terkena kewajiban ini, apabila berpindah tempah tempat tinggal di kecamatan dimana tanah pertanian tersebut terletak atau pemilik tanah pertanian berpindah tempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dimana tanah pertanian tersebut terletak.

Perjanjian bagi hasil (hak usaha bagi hasil) sebagai hak atas tanah sementara, dalam waktu yang singkat dan akan dihapuskan karena mengandung sifat – sifat pemerasan dan mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA). Terkait perhitungan bagi hasil, menurut Pasal 1 huruf c Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), yang dimaksud dengan perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun yang dibedakan antara pemilik tanah pada satu pihak atau seseorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalam undang – undang ini disebut penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tanah tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik. Jadi, terhadap tanah pertanian yang dimiliki secara absentee (guntai) oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih diperkenankannya untuk mempekerjakan tanah pertanian tersebut dengan cara bagi hasil, akan tetapi hanya bersifat sementara dan dengan luas tanah pertanian yang telah ditentukan oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku.


2.3. Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee (Guntai) dalam Perspektif Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA).

2.3.1. Kedudukan Pemilikan Tanah Pertanian secara Absentee (Guntai) Ditinjau dari Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA)

Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), pada pokoknya tidak mengijinkan pemilikan tanah secara absentee (guntai), dengan alasan kepentingan sosial dan perlindungan tanah. Dikhawatirkan jika pemilikan tanah secara absentee (guntai) tidak diolah akan menjadi tanah terlantar atau tidak produktif dikarenakan pemilik (pemegang hak) nya jauh. Tanah pertanian absentee (guntai) dapat dimiliki oleh penduduk yang masih berbatasan dengan kecamatan dimana tanah pertanian tersebut berada. Selain itu, tanah absentee (guntai) juga dapat dimiliki oleh Pegawai Negeri atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), dengan alasan keduanya adalah abdi negara yang dapat berpindah tugas dari satu wilayah ke wilayah lain. Oleh karenanya, pemilik tanah pertanian absentee (guntai) dapat menjual tanah tersebut kepada masyarakat sekitar. Bisa juga menukarkan tanah tersebut atau memberikan secara sukarela dalam bentuk hibah kepada penduduk di sekitar letak tanah tersebut berada. Apabila tetap ingin memilikinya, dia dapat meminta salah satu anggota keluarganya untuk pindah ke lokasi tanah tersebut. Dalam praktik di lapangan, kerap kali terjadi kecurangan terhadap pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai). Biasanya pemilik tanah menyiasatinya dengan cara membuat surat kuasa mutlak atau membuat Kartu tanda Penduduk (KTP) ganda. Akan tetapi, ternyata larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai) hanya untuk kategori tanah pertanian saja, bukan lahan yang akan digunakan untuk membangun properti dan / atau perumahan (pemukiman).

Dengan demikian, maka yang dipunyai hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi, wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian dari tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya. Hak penguasaan tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang dalam badan hukum tertentu sebagai subyek hukum atau pemegang haknya. Adapun ketentuan hukum tanah yang mengatur hak – hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum adalah sebagai berikut:[22]

  1. Memberi nama pada penguasaan hak yang bersangkutan.
  2. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya.
  3. Mengatur hal – hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh jadi pemegang haknya dan syarat – syarat bagi penguasaannya.
  4. Mengatur hal – hal mengenai tanahnya.

Berdasarkan dari hal – hal tersebut di atas, sehubungan dengan dengan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) dalam hal kejelasan pemilikan tanah dapat dibenarkan oleh karena hak setiap orang melekat pada dirinya untuk dapat memiliki setiap benda tentunya dengan cara – cara yang wajar atau dengan cara – cara jual – beli dan sebagainya. Tetapi pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) apabila dilihat dari segi asas kemanfaatan tentunya berbeda dengan pandangan lainnya, ini dikarenakan setiap tanah atau lahan harus memberikan kemakmuran atau manfaat yang sebesar – besarnya bagi masyarakat sesuai dengan apa yang termaktub dalam Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya. Pada dasarnya sumber hukum tanah di Indonesia dapat dibagi dengan dua sumber hukum, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Boedi Harsono[23] menjelaskan bahwa, norma – norma hukum tertulis merupakan norma yang dituangkan ke dalam peraturan perundang – undangan, sedangkan norma hukum adat tidak tertulis, berupa hukum adat dan hukum kebiasaan baru yang bukan hukum adat.

Sehubungan dengan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) berdasarkan dari apa yang dijelaskan di atas, maka pemilikan tanah pertanian tersebut juga tidak lepas dari norma – norma adat dari setiap wilayah atau di tempat tanah tersebut. Sudah barang tentu mengenai hal – hal adat memang keberadaannya diakui juga oleh norma – norma hukum dalam hidup bermasyarakat.

Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah, biasanya calon penerima hak diwajibkan membuat pernyataan sebagaimana yang diamanatkan Pasal 99 Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997, manakala Surat Pernyataan itu antara lain memuat masalah pemilikan tanah secara absentee dan Landreform.

Ternyata tidak sedikit yang kurang paham mengenai pemilikan tanah pertanian secara absentee dan Landreform. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa adanya larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee pada dasarnya sebagai bentuk usaha menghapus sistem tersebut dapat menciptakan kesempatan yang sama bagi masyarakat yang lainnya untuk memanfaatkan tanah dalam menopang kebutuhan hidup sehari – hari. Mengingat juga apa yang tercantum dalam memori penjelasan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), pada angka II (1), antara lain diuraikan bahwa prinsip nasionalitas berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Indonesia menjadi hak pula dalam bangsa Indonesia, jadi tidak semata – mata jadi pemilik dari pemiliknya saja, dengan demikian bangsa Indoensia merupakan semacam hak ulayat yang diangkat dari tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan mengenai seluruh wilayah Indonesia[24].

Dalam kepemilikan tanah secara absentee bahkan terkadang ditemukan ada Akta Perjanjian Ikatan Jual – Beli yang obyeknya adalah tanah sawah, dan pemiliknya berstatus absentee, sedangkan dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), telah menjelaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Maka seseorang yang mempunyai tanah dan luasnya cenderung menjadikannya sebagai tuan tanah (landlord) dan hal tersebut cenderung untuk tidak bertempat tinggal di lokasi dimana tempat tanah pertanian tersebut berada.

Dalam ruang lingkup pertanian sesuai dengan ratio – nya, maka syarat – syarat akan dapat tinggal itu kiranya masih dapat diperlukan sesuai dengan ketentuan mengenai tanah pertanian secara absentee, yaitu tidak ada keberatan jika petani penggarap bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan tempat letak tanahnya berada asal jarak tempat tinggal pemilik dengan tanah yang bersangkutan masih masih dapat dijangkau serta masih dirasa sangat mudah akses transportasinya untuk sampai pada lokasi tanah tersebut, sehingga tidak terkendala untuk menggarap dan / atau mengelola lahan (tanah) pertanian tersebut.

2.3.2. Penerapan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria terhadap Tanah Pertanian yang Dimiliki Secara Absentee.

Penerapan dari Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) terhadap tanah – tanah pertanian yang dimiliki secara absentee (guntai) hingga sampai dengan saat ini dapat terlihat dalam masyarakat sebagai suatu gejala hukum yang belum ada kepastiannya. Hal ini disebabkan begitu banyaknya orang – orang terutama pengusaha – pengusaha maupun pejabat – pejabat yang masuk dalam kategori “konglomerat”, tidak sedikit dari mereka yang memiliki tanah pertanian secara absentee. Sedangkan dalam segi hukumnuya, hal tersebut merupakan suatu hak individu untuk melakukan peralihan hak atas tanah baik dengan cara jual – beli atau dengan cara – cara lainnya, seperti gadai.

Mengenai ketentuan hak atas tanah tentunya didasarkan pada hak suatu bangsa, yaitu hak bangsa adalah istilah untuk lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi, air, bumi, dan ruang angkasa Indonesia, termasuk juga kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Istilah ini bukanlah istilah resmi yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA). Hak ini merupakan hak penguasaan tanah yang tertinggi dalam di dalam hukum tanah nasional. Pemilik dari hak ini adalah seluruh rakyat Indonesia yang sepanjang bersatu sebagai bangsa – bangsa Indonesia yang terdahulu dan generasi yang akan datang. Hak ini meliputi semua tanah yang ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan hal tersebut secara umum masalah kepemilikan tanah diserahkan penuh pada masyarakat pemegang hak atas tanah, tetapi disisi lain UUPA dalam pelaksanaannya tidak merekomendasi adanya pemilikan tanah secara absentee.

Dalam hubungannya dengan Hukum Perdata, lebih khususnya dengan Hukum Kebendaan yakni, adalah hukum yang mengatur hubungan subyek hukum dengan benda, yang menimbulkan hak kebendaan[25]. Sesuai apa yang dimaksud dengan benda, bahwa benda adalah segala sesuatu yang dapat dihak’i[26]. Hukum benda merupakan bagian dari hukum kekayaan, yang diatur dalam Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pasal 499 sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), meliputi pengertian benda dan macam – macam benda serta pengertian benda dan macam – macam benda serta pengertian hak kebendaan dan macam – macam hak kebendaan. Dengan berlakunya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September Tahun 1960, maka di dalam Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tidak ada lagi ketentuan – ketentuan tentang benda tidak bergerak.

Berdasarkan dari apa yang dijelaskan di atas, maka jelaslah hubungan antara Hukum Perdata dengan Hukum Agraria, yakni Hukum Agraria merupakan hukum yang lebih khusus dari Hukum Perdata. Kemudian mengenai hak kepemilikan atas tanah, hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA, adalah hak turun – temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA, yaitu “semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial”. Pengaturan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tentang masalah kepemilikan benda, terutama benda tidak bergerak, khususnya tanah, memang sudah merupakan hak bagi setiap individu untuk melakukan peralihan hak atas tanah atau lahan kepada subyek hukum, baik yang berada di daerahnya maupun yang berada di luar daerahnya. Hal inilah yang menjadi kendala sehingga menimbulkan isu hukum terkait ketidakpastian dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria dan terkesan tidak sinkron dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, terkait praktik larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai). Sehingga antara UUPA dengan peraturan pelaksanaannya menimbulkan konflik norma. Dalam praktik di lapangan, pelanggaran mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) masih seringkali dijumpai. Hal ini dikarenakan, UUPA tidak mengakomodir ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) secara tegas, dan sanksi serta pemberian atas ganti kerugian mengenai tanah yang diambil alih oleh Pemerintah untuk dibagikan kembali kepada masyarakat di sekitar juga sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman, perlu dilakukan revisi kembali atas regulasi tersebut.

Hierarki hak – hak penguasaan atas tanah dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) dan Hukum Tanah Nasional, adalah sebagai berikut:

  1. Hak bangsa Indonesia atas tanah: Hak bangsa Indonesia atas tanah ini merupakan hak penguasaan tanah yang tertinggi dan meliputi semua yang ada dalam wilayah negara, yang merupakan tanah Bersama, bersifat abadi, dan menjadi induk bagi hak – hak penguasaan yang lain atas tanah.[27]
  2. Hak menguasai dari negara atas tanah: Hak menguasai atas tanah bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tegas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola Hukum Tanah Bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh Bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, Bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.[28]

Kemudian mengenai pengukuran hak – hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah dibagi menjadi dua, yaitu:[29]

  1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum, hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan antara tanah dan orang dan badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.
  2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret. Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan antara tanah tertentu sebagai obyek dan orang atau badan hukum tertentu dan sebagai subyek hukum atau pemegang haknya.

Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya kreditur (bank) pemegang hak atas jaminan tanah mempunyai hak penguasaan tanah secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, akan tetapi secara fisik penguasaan tanah tetap ada pada pemilik tanah[30]. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah tersebut dipakai dalam aspek privat atau keperdataan sedang penguasaan yuridis yang beraspek publik dapat dilihat pada penguasaan tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA). Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang kewajiban, wajib atau dilarang bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihak’inya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda diantara hak – hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Pengertian penguasaan tanah dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis, juga beraspek privat dan publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan dilandasi oleh hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik atas tanah yang dihak’i, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihak’i, tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihak’i secara fisik, namun pada kenyataannya penguasaan fisiknya masih dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah. Orang – orang asing atau Warga Negara Asing (WNA) hanya dapat menguasai tanah dengan status hak pakai yang dan jangka waktunya terbatas. Demikian pula, pada dasarnya badan – badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik. Adapun yang menjadi pertimbangan untuk melarang badan – badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetap cukup hak – hak lainnya, asalkan saja ada jaminan – jaminan yang cukup bagi keperluan – keperluannya yang khusus (hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak – hak lainnya). Kecuali, badan – badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan dapat mempunyai hak milik atas tanah, sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dan peruntukannya sesuai dengan fungsi sosial dan keagamaan dari badan hukum itu sendiri. Dalam hal – hal ini yang tidak langsung berhubungan dengan bidang – bidang itu, maka badan – badan hukum ini dianggap sebagai badan hukum biasa. Dengan demikian, akan dapat mencegah usaha – usaha penyelundupan hukum yang memiliki maksud untuk menghindari mengenai ketentuan – ketentuan batas maksimum luas tanah yang dimiliki berdasarkan hak milik oleh badan – badan hukum yang bersangkutan.

Selain hak – hak sebagaimana telah disebutkan di atas, ada hak yang sifatnya khusus, yang bukan hanya sekedar berisikan kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihak’i, tetapi juga mengandung hubungan psikologis emosional antara pemegang hak dengan tanah tertentu. Pemegang haknya sebagai orang Indonesia yang belum mendapat pengaruh pemikirna barat, dan merasa handarbeni (merasa ikut memiliki) atas tanah tersebut[31].

Kemudian tiap – tiap Warga Negara Indonesia, baik laki – laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah, serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Maka dari itu, perlu diadakan suatu perlindungan hukum bagi golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat di dalam kedudukan ekonominya. Dengan ditentukan bahwa, jual – beli, penukaran, hibah, pemberian karena wasiat, serta perbuatan – perbuatan yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan ini merupakan alat untuk melindungi golongan – golongan yang lemah sebagaimana telah diuraikan dan dijelaskan sebelumnya. Dalam hubungan itu, dibuat ketentuan untuk mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang – bidang usaha di bidang agrarian. Hal ini bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha Bersama dalam ruang lingkup agrarian harus berdasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional sehingga Pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan usaha – usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat adanya praktik monopoli swasta. Kemudian mengenai hak pengelolaan yang mana hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang sebagian haknya dilimpahkan kepada pemegang haknya dan bagian – bagian dari hak pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak ketiga dengan adanya hak – hak tertentu[32]. Jadi, dalam konteks bidang keagrariaan, Hak Pengelolaan ini termasuk hak atas tanah, yakni hak menguasai negara yang dapat diberikan kepada Badan Hukum sebagai pemegang haknya, dikarenakan ketentuan dari peraturan perundang – undangan yang berlaku, baik itu karena adanya perintah dari undang – undang maupun peraturan pemerintah. Dengan demikian secara obyektif, artinya kewenangan untuk menggunakan Hak Pengelolaan ini telah ditentukan. Maka dengan demikian, hak pengelolaan tanah sebagai “gempilan”[33] hak menguasai tanah ini sudah jelas sebagai hak atas tanah yang sudah konkret diberikan kepada subyek hukumnya untuk keperluan subyek hukumnya dengan segala kewajiban dan kewenangannya yang melekat.

Kemudian berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menentukan sebagai berikut:

“Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang – undangan.”

Maka dari itu, apabila suatu benda berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan dan demi kepentingan umum harus dimusnahkan dan / atau tidak diberdayakan lagi fungsinya baik untuk sementara waktu maupun selamanya, maka hal tersebut harus ada ganti kerugian yang diberikan kepada pemegang haknya dengan nilai yang wajar dan proporsional disesuaikan dengan nilai benda yang dicabut haknya, dimusnahkan atau tidak diberdayakan tersebut dengan tetap memperhatikan ketentuan dari peraturan perundang – undangan yang berlaku, kecuali terdapat ketentuan peraturan perundang – undangan yang secara tegas dan eksplisit menentukan lain.

Penerapan UUPA terhadap kepemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) memang belum maksimal, artinya belum mengakomodir ketentuan mengenai ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) tersebut secara tegas dan eksplisit, namun hanya mengaturnya secara implisit sehingga hal demikian mengakibatkan multi interpretasi yang mengakibatkan adanya kekaburan norma karena tidak secara tegas diakomodir dalam UUPA mengenai larangan tersebut. Dalam penerapannya, masih banyak ditemukan begitu banyak permasalahan terkait kepemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) terutama di bidang administrasi baik di desa maupun kecamatan untuk tanah – tanah yang belum didaftarkan haknya pada Kantor Pertanahan, manakala tanah – tanah pertanian tersebut bukan lagi menjadi hak (milik) dari warga yang bertempat tinggal dimana tempat (lokasi) tanah pertanian tersebut berada. Hal inipun juga akan menimbulkan masalah – masalah tertib administrasi lainnya, salah satunya masalah di bidang perpajakan. Tentunya dalam hal domisili pemilik dengan tanahnya sudah berbeda, yang sudah jelas mengakibatkan ketidaksesuaian data administrasi di bidang perpajakan atas tanah pertanian tersebut, khususnya mengenai subyek hukum (pajak) dengan obyeknya yang menjadikannya kabur, atau tidak jelas siapa yang akan menanggung sebagai wajib pajaknya, karena permasalahan di lapangan akan sering terjadi saling lempar tanggung jawab akan kewajiban untuk membayar dan melunasi pajak – pajak atas tanah tersebut. Hal inilah yang selalu menjadi salah satu permasalahan umum dalam kepemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai).

 


Endnotes
(Daftar Bacaan dan Referensi)

 

[1] Benhard Limbong, Politik Pertanahan, Penerbit: Margaretha Pustaka, Jakarta, 2014, hlm. 26.

[2] Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia; Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 122.

[3] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 203.

[4] Ida Nurlinda, Prinsip – Prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hlm. 77.

[5] A. P. Parlindungan, Komentar atas Undang – Undang Pokok Agraria, Penerbit: CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 121.

[6] I Nyoman Budi Jaya, Tinjauan Yuridis tentang Redistribusi Tanah Pertanian dalam Rangka Pelaksanaan Landreform, Penerbit: Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 9.

[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm. 364.

[8] Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, Penerbit: Liberty, Jogjakarta, 1997, hlm. 66.

[9] Sulasi Rongiyati, Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah Pertanian (Kajian Yuridis terhadap UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian), Penelitian pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI, Diterbitkan dalam Jurnal “Negara Hukum: Vol. 4, No. 1, Juni 2013”, Jakarta, 2013, hlm. 4.

[10] I Nyoman Budi Jaya, Op.Cit., hlm. 11.

[11] Ibid., hlm 23.

[12] Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 247.

[13] John M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris – Indonesia, Penerbit; Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 3.

[14] Effendi Perangin, Op.Cit., hlm. 122.

[15] A. P. Parlindungan, Op.Cit., hlm. 55.

[16] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, dan Isi Pelaksanaannya, Penerbit; Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 385.

[17] Effendi Perangin, Loc.Cit.

[18] Boedi Harsono, Op.Cit., 2005, hlm. 385.

[19] Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, antara regulasi dan Implementasi, Penerbit: Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 21.

[20] Ibid., hlm. 22.

[21] Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Penerbit: Kencana Pernada Media, Jakarta, 2012, hlm. 119 –   210.

[22] Angger Sigit Pramukti & Erdha Widayanto, Tanah Sengketa (Panduan Mengurus Peralihan Hak atas Tanah Secara Aman), Penerbit: Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, Hlm. 34.

[23] Ibid., hlm. 9.

[24] H. Muhammad Yamin Lubis, dan Abdul Rahim Lubis, Kepemilikan Properti di Indonesia (Termasuk Kepemilikan Rumah Orang Asing), Penerbit: Mandar Maju, Bandung, 2013, hlm. 13.

[25] Djaja S. Meilala, Hukum Perdata dalam Perspektif Burgerlijk Wetboek, Penerbit: Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hlm. 10.

[26] Lihat ketentuan Pasal 499 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

[27] Pasal 1 ayat (1 sampai dengan 3) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.

[28] Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.

[29] Kurniawan Ghazali, Cara Mudah Mengurus Sertifikat Tanah, Kata Pena, Jakarta, 2013, hlm. 35.

[30] Ibid.

[31] Mohammad Machfudh Zarqoni, Hak atas Tanah (Perolehan, Asal dan Turunannya, serta Kaitannya dengan Jaminan Kepastian Hukum Legal Guaranteemaupun Perlindungan Hak Kepemilikannya Property Right”), Penerbit: Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, 2015, hlm. 14.

[32] H. Muhammad Yamin Lubis, dan Abdul Rahim Lubis, Op.Cit., hlm. 23.

[33] Menurut Boedi Harsono, bahwa Hak Pengelolaan pada dasarnya bukan ha katas tanah, melainkan merupakan gempilan dari hak menguasai negara. Penggunaan istilah “gempilan” didasarkan pada ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, yang menentukan Hak Pengelolaan sebagai Hak Menguasai Negara yang sebagian kewenangannyadilimpahkan kepada pemegangnya. Hak pengelolaan diberikan dengan tujuan bahwa tanah tersebut disediakan untuk penggunaan pihak – pihak lain yang memerlukan. Dalam penyediaan dan pemberian tanah itu, pemegang hak pengelolaan diberikan kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan bagian dari kewenangan negara yang diatur dalam Pasal 2 UUPA. Dengan demikian, pengertian Hak Pengelolaan adalah hak penguasaan atas tanah negara dengan maksud untuk digunakan sendiri oleh pemegang haknya atau pemegang hak dapat memeberikan suatu hak kepada pihak ketiga dengan wewenang untuk: a) Merencanakan peruntukan dan penggunaan hak atas tanah tersebut; b) Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya; dan c) Menyerahkan bagian tanah tersebut untuk pihak ketiga dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, yang pemberian hak atas bagian tanah – tanah tersebut tetap dilakukan oleh Pejabat yang berwenang. Dikutip dari Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan; Seri Hukum Pertanahan I dan II, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 55.

Featured

EKSISTENSI DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM HUKUM PERSEROAN TERBATAS

Piercing The Corporate Veil1. Definisi dan Dasar Pengaturan Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas merupakan bentuk badan usaha yang sangat digemari oleh para pelaku bisnis atau pengusaha di era globalisasi ini. Perseroan Terbatas adalah subyek hukum yang tidak berjiwa dan ada karena diciptakan oleh manusia (artificial person). Posisi perseroan sebagai subyek hukum memberikan kedudukan Perseroan Terbatas sama seperti manusia pada umumnya di bidang hukum. Perseroan dapat melakukan perbuatan hukum, menuntut dan atau dituntut di pengadilan.

Dari sudut pandang hukum bisnis, Perseroan Terbatas (PT) adalah bentuk perusahaan atau organisasi usaha yang diakui oleh hukum sebagai badan hukum (rechts persoon). Sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas dapat melakukan tindakan hukum layaknya orang atau dalam Bahasa Belanda disebut natuurlijk persoon, yang dapat dibebani atau menyandang hak dan kewajiban seperti halnya orang atau natuurlijk persoon tadi. Dalam lalu lintas bisnis, Perseroan Terbatas dapat menjadi debitur ataupun kreditur, bahkan dalam perkembangan bisnis modern, Perseroan Terbatas dapat dikenai pidana, seperti misalnya pidana denda.

Istilah Perseroan Terbatas (PT) yang digunakan dewasa ini, dulunya dikenal dengan istilah Naamloze Vennotschap (NV). Sebutan “naamloos” dalam arti tanpa nama disebabkan karena NV itu tidak mempunyai nama seperti firma pada umumnya, juga tidak mempergunakan salah satu nama dari anggota perseronya, identifikasinya adalah obyek perusahaan[1]. Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum, artinya bahwa ia dapat mengikatkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti orang pribadi (natuurlijk persoon) dan dapat mempunyai kekayaan atau utang[2].

Adanya perubahan nama dari Naamloze Vennotschap menjadi Perseroan Terbatas dikarenakan istilah Naamloze Vennotschap dianggap kurang mencerminkan isi dan sifat perseroan secara tepat. Bila kita artikan, maka Naamloze Vennotschap berarti persekutuan tanpa nama dan tidak mempergunakan nama orang sebagai nama persekutuan seperti firma, melainkan mempergunakan nama usaha yang menjadi tujuan dari perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan, Perseroan Terbatas adalah persekutuan yang modalnya terdiri dari saham-saham dan tanggung jawab pemilik saham terbatas pada nilai saham yang dimilikinya. Dengan demikian istilah Perseroan Terbatas dianggap lebih akurat daripada istilah Naamloze Vennotschap[3].

Pengaturan pertama kali mengenai Perseroan Terbatas dapat kita jumpai di dalam Wetboek van Koophandel atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Dalam pengaturannya di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, tidak disebutkan secara eksplisit bahwa Perseroan Terbatas adalah sebuah badan hukum[4]. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, khusus untuk pengaturan mengenai Perseroan Terbatas terdapat pada Buku Pertama, Titel ketiga, Bagian Ketiga tentang Perseroan Terbatas antara Pasal 36 sampai dengan 56. Pemberlakuan Pengaturan mengenai Perseroan Terbatas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ini merupakan lex specialis atas pengaturan bentuk-bentuk perusahaan persekutuan (maatschap partnership) yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sebagai berikut:

“Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang ini, sekedar didalam Kitab Undang-Undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang”.

Perlu diketahui di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) terdapat beberapa Pasal yang mengatur mengenai unsur-unsur yang dapat membentuk badan usaha menjadi Perseroan Terbatas, antara lain diatur di Pasal 36, Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Hal ini dapat dilihat manakala terjadi pemisahan antara harta dan tanggung jawab Perseroan maupun bagi para pengurus dan pemegang saham, sehingga Perseroan Terbatas tersebut berdiri sendiri layaknya orang pribadi (persoon). Hal-hal yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:[5]

  1. Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing pesero (pemegang saham), dengan tujuan untuk membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan;
  2. Adanya pesero yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka semua dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan kekuasaan tertinggi dalam organisasi Perseroan yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Direksi dan Komisaris, berhak menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan menjalankan perusahaan, menetapkan hal-hal yang belum ditetapkan dalam anggaran dasar dan lain-lain;
  3. Adanya pengurus (Direksi) dan Komisaris yang merupakan satu kesatuan pengurusan dan pengawasan terhadap Perseroan dan tanggung jawabnya terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai dengan anggaran dasarnya dan/atau keputusan RUPS.

Perseroan Terbatas merupakan badan hukum (legal entity), yaitu badan hukum mandiri (persona standi in judicio) yang memiliki sifat dan ciri kualitas yang berbeda dari bentuk usaha lain, yang dikenal sebagai karakteristik suatu Perseroan Terbatas yaitu sebagai berikut:[6]

  1. Sebagai asosiasi modal;
  2. Kekayaan dan utang PT adalah terpisah dari kekayaan dan utang Pemegang Saham;
  3. Pemegang saham yang mana memiliki peran sebagai berikut: a) Bertanggung jawab hanya pada apa yang disetorkan, atau tanggung jawab terbatas (limited liability), b) tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan (PT) melebihi nilai saham yang telah diambilnya, c) Tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan;
  4. Adanya pemisahan fungsi antara Pemegang Saham dan Pengurus atau Direksi;
  5. Memiliki Komisaris yang berfungsi sebagai pengawas;
  6. Kekuasaan tertinggi berada pada Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS.

Dalam perkembangannya, Perseroan Terbatas yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dunia usaha serta perkembangan hukum yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan kebutuhan masyarakat akan pengaturan hukum yang lebih jelas dan khusus mengatur mengenai Perseroan Terbatas, pada akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Berbeda dengan pengaturannya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan dengan jelas mengenai status Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, seperti yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang berbunyi:

“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dengan saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.

Dengan adanya pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut, maka sistem hukum Indonesia dengan tegas telah menetapkan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum (legal entity) dan karenanya dapat dianggap sebagai “manusia”, sehingga merupakan suatu subyek hukum mandiri. Arti mandiri dari Perseroan Terbatas dapat melakukan perbuatan hukum sendiri. Dengan demikian, bila ada tindakan-tindakan yang mengikat pihak ketiga, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga yang wujudnya khas rechts persoon, artinya dianggap sebagai manusia walaupun tidak memiliki jiwa, tangan dan kaki.


2. Konsep Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum.

Subyek hukum dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu subyek hukum orang dan subyek hukum yang bukan orang. Adapun yang bukan orang dapat dibagi menjadi badan hukum dan non badan hukum. Badan hukum dapat dibagi menjadi menjadi badan hukum publik dan badan hukum privat. Dari kacamata hukum bisnis, beragam bentuk usaha yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu badan usaha yang merupakan badan hukum seperti Perseroan Terbatas, Koperasi, dan bentuk usaha lainnya yang dinyatakan sebagai badan hukum, dan bentuk usaha yang berbentuk non badan hukum seperti Maatschap, Firma, Commanditaire Vennotschap (CV), dan usaha perseorangan lainnya.

Yang menjadi perbedaan mendasar dari bentuk usaha berbadan hukum dan non badan hukum adalah letak tanggung jawab hukumnya. Pada bentuk usaha yang tidak berbentuk badan hukum, letak tanggung jawab hukumnya berada di badan usaha atau pemilik dari badan usaha tersebut. Dengan kata lain, tidak ada pemisahan antara tanggung jawab Perseroan dengan tanggung jawab pribadi dari pemilik usaha. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pemisahan antara harta kekayaan Perseroan dengan harta kekayaan pribadi dari pemilik usaha, sehingga apabila akibat tindakan badan usaha tersebut timbul kerugian bagi pihak ketiga yang bersangkutan dapat meminta pemilik badan usaha bertanggung jawab secara pribadi, termasuk meminta agar harta pribadi, termasuk meminta pemilik badan usaha untuk disita dan dilelang. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan hukum yang menyatakan bahwa harta benda seseorang dapat menjadi tanggungan utang-utangnya.

Sedangkan tanggung jawab hukum untuk badan usaha yang berbentuk badan hukum seperti Perseroan Terbatas terletak pada badan usaha tersebut. Hal ini disebabkan adanya pemisahan kekayaan badan usaha dengan kekayaan pribadi pemiliknya, sehingga bila ada pihak ketiga yang menderita kerugian akibat kegiatannya dengan badan usaha tersebut, maka pihak ketiga yang bersangkutan hanya dapat menuntut tanggung jawab dari harta kekayaan badan usaha. Pihak ketiga yang bersangkutan tidak dapat menuntut pemilik badan usaha untuk bertanggung jawab secara pribadi.

Perseroan Terbatas sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas hingga diubahnya undang-undang tersebut dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tidak mengubah bentuk hukum badan usaha Perseroan Terbatas sebagai badan usaha yang berbentuk badan hukum. Adapun unsur-unsur badan hukum Perseroan Terbatas menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut:

  1. Badan hukum merupakan persekutuan modal;
  2. Didirikan berdasarkan perjanjian;
  3. Melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham;
  4. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Dasar pemikiran bahwa modal Perseroan Terbatas itu terdiri dari sero-sero atau saham-saham dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan bahwa Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Terbatasnya tanggung jawab pemegang saham tersebut dapat dilihat dari Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menentukan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi nilai saham yang dimilikinya.

Tanggung jawab terbatas atau disebut juga “limited liability” atau “limitatief aansprakelijheid” adalah suatu kondisi manakala pemegang saham atau “shareholder” atau “aandelhouder” dari suatu Perseroan hanya bertanggung jawab sebatas pada jumlah saham yang mereka miliki di Perseroan tersebut. Tanggung jawab terbatas dilakukan sebagai pilihan investasi yang lebih menguntungkan. Pemegang saham hanya bertanggung jawab pada apa yang disetorkan atau bertanggung jawab terbatas (limited liability), tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya, dan/atau tidak bertanggung jawab secara pribadi terkait perikatan yang dibuat atas nama Perseroan.

Konsep hukum Perseroan di Indonesia menganut sistem limited liability. Hal ini berarti bahwa tindakan, perbuatan dan kegiatan Perseroan bukan tindakan pemegang saham, dan kewajiban serta tanggung jawab Perseroan bukan merupakan kewajiban kewajiban dan tanggung jawab para pemegang saham secara langsung. Konsep ini diberlakukan dengan maksud untuk melindungi pemegang saham dari kerugian yang lebih besar di luar apa yang telah mereka investasikan, pemegang saham mampu mengalihkan resiko kegagalan bisnis yang potensial kepada para kreditur Perseroan dan untuk mendorong investasi serta memfasilitasi akumulasi modal Perseroan. Setiap kerugian yang dialami Perseroan akibat dari gagalnya Perseroan melakukan kewajibannya tidak menjadi tanggung jawab penuh pemegang saham. Dengan adanya pertanggungjawaban terbatas tersebut tentunya terlebih dahulu sudah dapat memperkirakan seberapa besar resiko hukum dan finansial yang kemungkinan akan terjadi dikemudian hari.

Menurut Munir Fuady, dalam ilmu hukum dikenal berbagai teori tentang suatu badan hukum yang menyebabkan eksistensinya terpisah dari para anggota/pemegang sahamnya dengan berbagai konsekuensi yuridis dari keterpisahan tersebut. Teori-teori tentang badan hukum tersebut mempunyai interrelasi dengan pengakuan terhadap eksistensi teori piercing the corporate veil. Artinya, semakin kuat teori badan hukum tersebut mengakui keterpisahan badan hukum, semakin kecil pengakuannya kepada teori piercing the corporate veil, begitu juga sebaliknya[7].

Sepanjang sejarah hukum tentang perusahaan, dikenal beberapa teori tentang badan hukum perusahaan, yaitu sebagai berikut[8]:

  1. Teori fiksi (fiction theory) disebut juga dengan teori kesatuan semu (artificial entity theory). Teori ini mengajarkan bahwa perusahaan hanya ciptaan dan khayalan manusia, serta dianggap ada oleh manusia. Jadi, tidak terjadi secara alamiah. Badan hukum hanyalah sebagai makhluk yang diciptakan oleh hukum (creature of law);
  2. Teori individualisme. Menurut teori indvidualisme ini, hanyalah manusia (tidak termasuk badan hukum) yang secara hukum dapat mengklaim memiliki hak dan kewajiban dan manusia juga lah yang mempunyai hak dan kewajiban yang terbit dari hubungan hukum;
  3. Teori simbolis. Menurut teori simbolis ini Perseroan hanya dianggap sebagai nama kolektif dari para pesertanya (pemegang sahamnya). Perusahaan hanyalah kumpulan (aggregate), simbol, atau kurungan (bracket) bagi pemegang sahamnya. Jadi, perusahaan merupakan kumpulan pemegang saham (aggregate of it members), bukan “separate from its members”;
  4. Teori realistis. Teori realistis (realist theory) ini sering juga disebut sebagai teori organ (organ theory), yang menganggap bahwa keberadaan badan hukum dalam tata hukum sama saja dengan keberadaan manusia sebagai subyek hukum. Jadi, badan hukum bukanlah khayalan dari hukum sebagaimana diajarkan oleh teori fiksi, melainkan benar (realistis) ada dalam kehidupan hukum. Dalam hal ini badan hukum tersebut bertindak lewat organ-organnya sehingga teori ini disebut juga dengan teori organ. Teori tersebut sangat berkembang di Jerman, dimana pelopornya adalah Otto von Gierke (1841-1921). Teori ini secara sangat kuat diakui badan hukum sebagai subyek hukum yang terpisah dengan para anggotanya (pemegang sahamnya) sehingga sangat sulit menjawab eksistensi teori piercing the corporate veil. Sebaliknya, teori realistis ini juga sangat sulit menjawab eksistensi perusahaan yang hanya memiliki memiliki satu orang pemegang saham, perusahaan dummy (trustee), perusahaan disimpan (shelf company), karena sangat sulit jika dikatakan bahwa perusahaan seperti itu mempunyai real personality;
  5. Teori ciptaan sendiri. Sealiran dengan teori realistis, maka teori ciptaan sendiri ini (self ceating) atau autopoietic, merupakan teori yang mengajarkan bahwa perusahaan hanyalah merupakan satu “unit” yang tercipta dengan sendirinya, bukan ciptaan hukum dan juga bukan fiksi, melainkan benar-benar ada dalam kenyataan (real personality);
  6. Teori kesatuan bisnis. Menurut teori kesatuan bisnis (enterprise entity theory), untuk menyatakan suatu perusahaan merupakan badan hukum, haruslah dilihat dari kenyataannya dalam bisnis. Teori ini banyak dianut di kalangan para ekonom. Karena itu, penganut teori ini segan menyatakan badan hukum karena bisnisnya tidak jelas terhadap perusahaan dormant (trustee) atau perusahaan simpanan (shelf company) dimaksudkan untuk dijual;
  7. Teori kontrak. Sejalan dengan teori kesatuan bisnis tersebut di atas, maka menurut teori kontrak, perusahaan dianggap sebagai kontrak antar para pemegang sahamnya. Perusahaan hanyalah dianggap sebagai “nexus of contract”. Dengan demikian, hukum perusahaan yang bersifat “hukum memaksa” tidak dapat dibenarkan karena hal tersebut berarti mencampuri kebebasan berkontrak untuk berusaha dalam suatu perusahaan. Undang-Undang Perseroan Terbatas tegas mengakui teori kontrak ini dengan menyatakan bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, Perseroan dibentuk berdasarkan perjanjian. Karena itu, Perseroan harus mempunyai lebih dari satu orang pemegang saham. Lihat Penjelasan atas Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Perseroan Terbatas sebagai salah satu bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum dianggap sebagai subyek hukum mandiri, yang berarti bahwa Perseroan Terbatas memiliki identitas yang berbeda dengan pemiliknya. Akibatnya adalah setiap perikatan atau tindakan hukum Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga hanya mengikat Perseroan Terbatas sebagai badan usaha (badan hukum) tanpa melibatkan pemilik usahanya.

Perseroan Terbatas sebagai badan hukum memiliki prinsip tanggung jawab terbatas dengan pemisahan harta kekayaan Perseroan Terbatas dan kekayaan pribadi pemiliknya. Sesuai dengan konsep tersebut, maka bila status badan hukum suatu Perseroan Terbatas dihapuskan atau Perseroan Terbatas belum menjadi sebuah badan hukum, maka belum ada pemisahan kekayaan Perseroan dengan kekayaan pribadi dari pemilik sehingga setiap perikatan yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga juga mengikat pemilik Perseroan terebut.

Pembuat undang-undang dalam hal ini sangat memahami konsep yang diuraikan di atas, sehingga dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dicantumkan beberapa hal yang dapat menghapuskan prinsip pemisahan kekayaan pada Perseroan Terbatas, sebagai berikut:

  1. Perseroan Terbatas belum memperoleh status badan hukum bila Akta Pendiriannya belum disahkan oleh Menteri. Bila sebelum disahkan para pendiri Perseroan telah melakukan perbuatan hukum demi kepentigan Perseroan Terbatas maka perbuatan hukum tersebut harus diakui secara tegas, diterima, disetujui, dan diambil alih hak dan kewajibannya oleh Perseroan. Jika perbuatan hukum itu tidak diterima, dikukuhkan dan diambil alih oleh Perseroan maka masing-masing pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut yang akan bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul[9];
  2. Bila setelah Perseroan disahkan, pemegang sahamnya menjadi kurang dari dua orang, dan dalam waktu enam bulan sejak keadaan tersebut pemegang saham belum mengalihkan sahamnya kepada orang lain, maka pemegang saham tersebut bertanggug jawab secara pribadi atas seluruh perikatan yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas[10];
  3. Perseroan Terbatas akan kehilangan statusnya sebagai badan hukum apabila Perseroan Terbatas bubar, baik karena keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir, maupun karena Penetapan Pengadilan. Setelah Perseroan tersebut bubar, maka Perseroan tidak berhak lagi untuk melakukan perbuatan hukum apapun kecuali untuk kepentingan pemberesan harta kekayaannya[11];
  4. Bila penyetoran modal tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka perbuatan hukum yang dilakukan Perseroan tidak menjadi tanggung jawab Perseroan melainkan menjadi tanggung jawab pemegang saham[12];
  5. Pemberlakuan prinsip piercing the corporate veil terhadap pemegang saham. Prinsip ini dapat diberlakukan apabila pemegang saham yang bersangkutan menggunakan Perseroan atau kekayaan Perseroan untuk kepentingan pribadi, atau persyaratan Perseroan sebagai badan hukum tidak atau belum terpenuhi, atau pemegang saham yang bersangkutan terlibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan[13].


3. Asas Hukum Corporate Separate Legal Personality dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Asas hukum corporate separate legal personality merupakan asas yang esensinya bahwa suatu perusahaan, dalam hal ini Perseroan Terbatas mempunyai personalitas atau kepribadian yang berbeda dari yang menciptakannya[14]. Asas ini berangkat dari suatu doktrin dasar Perseroan Terbatas, bahwa Perseroan Terbatas adalah suatu perusahaan yang merupakan suatu kesatuan hukum yang terpisah dari subyek hukum pribadi yang menjadi pendiri atau pemegang saham dari suatu Perseroan. Adanya suatu tabir pemisah (veil) antara Perseroan sebagai suatu legal entity dengan para pemegang saham dari Perseroan tersebut.

Asas ini terdapat di dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menentukan bahwa pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan yang melebihi saham yang dimiliki. Dalam kaitannya dengan permasalahan ini, asas hukum corporate separate legal personality menyatakan dengan tegas bahwa Perseroan Terbatas merupakan suatu kesatuan hukum yang terpisah (separate legal entity) dari subyek hukum pribadi yang menjadi pendiri atau pemegang saham, sehingga tanggung jawab pemegang saham hanya terbatas sebesar nilai sahamnya (limited liability of its shareholders).

Saham yang dimiliki oleh pemegang saham sebagai suatu bukti kepemilikan, pada umumnya hanya memberi hak kepada pemegang saham untuk mengeluarkan hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), menerima dividen, menerima aset Perseroan Terbatas secara proporsional apabila terjadi likuidasi sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki, mempunyai hak kontrol tidak langsung atas operasional sehari-hari Perseroan Terbatas dan atas segala kebijakan Direksi[15]. Akan tetapi hal terakhir ini, pemegang saham tidak memikul tanggung jawab atas pelaksanaan fungsi Direksi. Dengan demikian, semakin banyak saham yang dimiliki oleh pemegang saham (mayoritas), maka semakin besar pula hak dan kekuasaan untuk mengontrol dan mengambil keputusan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas, serta melakukan evaluasi atas kegiatan bisnis dan manajemen Perseroan dengan diadakannya pertemuan dalam suatu forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Terjadinya pemisahan (separate) dan perbedaan (distinct) antara Perseroan Terbatas dengan pemilik atau pemegang saham ini mulai terhitung sejak Perseroan Terbatas mendapatkan keputusan pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana ditentukan menurut Pasal 7 ayat (4) juncto Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.


4.
Organ-Organ Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum yang berarti bahwa Perseroan Terbatas merupakan subyek hukum yang dapat dibebani hak dan kewajiban layaknya manusia (sebagai subyek hukum) pada umumnya. Oleh karena itu, sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pengurus atau pemegang sahamnya, serta dapat dituntut maupun menuntut di hadapan pengadilan atas nama dirinya sendiri.

Walaupun Perseroan Terbatas adalah subyek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, memiliki kekayaan, dapat dituntut dan menuntut di hadapan pengadilan atas nama dirinya sendiri, namun tidak sebagaimana manusia, Perseroan Terbatas sebagai badan hukum tidak memiliki daya pikir, kehendak, dan kesadaran diri. Ia harus bertindak dengan perantaraan orang alamiah yang menjadi pengurus badan hukum tersebut. Perbuatan para pengurus tersebut bukan untuk dirinya sendiri, tetapi unuk dan atas nama serta tanggung jawab badan hukum[16].

Ketentuan yang memuat persyaratan konstitutif badan hukum dapat ditemukan dalam anggaran dasar dan/atau peraturan perundang-undangan yang menunjuk orang-orang mana yang dapat bertindak untuk dan atas tanggung jawab badan hukum. Orang-orang tersebut sebagai organ badan yang merupakan esensial organisasi itu[17].

Perseroan Terbatas mempunyai alat yang disebut dengan organ Perseroan yang berfungsi untuk menjalankan Perseroan. Organ disini maksudnya tidak oleh para pemegang saham, melainkan oleh suatu lembaga tersendiri, yang terpisah kedudukannya sebagai pemegang saham[18]. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa organ-organ Perseroan Terbatas terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai organ-organ tersebut beserta hak dan kewajibannya.

1)   Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Pemegang Saham di dalam Perseroan tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka tidak boleh mencampuri pengelolaan Perseroan. Pemegang saham itu baru memiliki kekuasaan tertentu terhadap jika mereka bertemu dalam suatu forum yang disebut Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Forum ini merupakan metode terbaik untuk mengambil suatu keputusan. Tujuan diadakannya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun anggaran dasar adalah untuk memungkinkan pemegang saham memiliki kesempatan untuk mengetahui dan mengevaluasi kegiatan Perseroan dan manajemen Perseroan pada waktu yang tepat tanpa turut campur tangan terhadap Perseroan Terbatas manakala Perseroan melakukan kegiatan bisnis[19]. Menurut Ridwan Khairandy, dalam hukum Perseroan Indonesia, suatu Rapat Umum Pemegang Saham dikatakan sah jika forum dihadiri oleh minimal dua orang pemegang saham. Oleh karena Perseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian, maka pendiri atau pemegang saham Perseroan Terbatas minimal harus ada dua orang. Kata rapat atau meeting dalam bahasa Inggris bermakna sebagai pertemuan dua orang atau lebih[20].

Rapat Umum Pemegang Saham adalah rapat yang diselenggarakan oleh Direksi Perseroan setiap tahun dan setiap waktu berdasarkan kepentingan Perseroan. Rapat ini dapat pula diselenggarakan berdasarkan permintaan pemegang saham atau komisaris sesuai dengan ketentuan anggaran dasar Perseroan. Rapat Umum Pemegang Saham berhak dihadiri oleh pemegang saham Perseroan dengan hak suara yang sah baik secara principal maupun dengan adanya surat kuasa secara tertulis kepada orang lain yang berwenang dan berkompeten untuk menghadiri rapat tersebut. Rapat Umum Pemegang Saham ini menurut hukum dianggap mewakili kehendak dari Perseroan Terbatas itu sendiri dan tidak dapat ditentang oleh siapapun dalam Perseroan, kecuali apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau maksud dan tujuannya ternyata menyimpang dari apa yang telah diatur dan ditentukan oleh anggaran dasar Perseroan.

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa, Rapat Umum Pemegang Saham, atau yang selanjutnya disebut dengan RUPS, adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Terkait dengan hak-hak dalam Rapat Umum Pemegang Saham, dapat dilihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menentukan bahwa dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi Perseroan dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan[21]. Lebih lanjut, Pasal 75 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa, RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata acara rapat. Keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus disetujui dengan suara bulat.

Sehubungan dengan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 juncto Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Ridwan Khairandy mengutip pendapat dari Munir Fuady (dalam bukunya yang berjudul “Perlindungan Pemegang Saham Minoritas”), walaupun tidak ada ketentuan yang tegas dalam undang-undang mengenai batas-batas dan ruang lingkup kewenangan yang dapat dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam suatu Perseroan Terbatas, tetapi dapat ditarik beberapa pedoman sebagai berikut:[22]

      1. RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku,
      2. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan dalam anggaran dasarnya. Namun demikian, anggaran dasar dapat diubah oleh RUPS asal memenuhi syarat untuk itu,
      3. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan kepentingan yang dilindungi oleh hukum yaitu kepentingan stakeholders, seperti pemegang saham minoritas, karyawan, kreditur, masyarakat sekitar, dan sebagainya,
      4. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang merupakan kewenangan dari direksi dan dewan komisaris, sejauh kedua organ perusahaan tersebut tidak menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip kewenangan residual dari RUPS.

Rapat Umum Pemegang Saham sebagai salah satu organ Perseroan Terbatas memiliki beberapa kewenangan eksklusif tertentu yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Adapun kewenangan tersebut berkenaan dengan hal-hal sebagai berikut:

      1. Penetapan perubahan anggaran dasar[23],
      2. Pembelian kembali saham oleh Perseroan atau pengalihannya[24],
      3. Penambahan modal Perseroan[25],
      4. Pengurangan modal Perseroan[26],
      5. Persetujuan rencana kerja tahunan[27],
      6. Pengesahan neraca dan laporan keuangan Perseroan[28],
      7. Persetujuan laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta laporan pengawasan Dewan Komisaris[29],
      8. Penetapan penggunaan laba[30],
      9. Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris[31],
      10. Penetapan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, atau pemisahan[32],
      11. Penetapan pembubaran Perseroan[33].

Kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak dapat ditiadakan selama tidak ada perubahan atau revisi undang-undang. Sedangkan kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham yang diatur dalam anggaran dasar semata-mata berdasarkan kehendak Rapat Umum Pemegang Saham yang disetujui dan disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang dapat diubah melalui adanya perubahan anggaran dasar sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham memutuskan hal-hal penting mengenai kebijakan suatu Perseroan yang tidak terbatas pada pengangkatan atau pemberhentian Komisaris dan Direksi saja. Namun, wewenang Rapat Umum Pemegang Saham tersebut terwujud dalam bentuk jumlah suara yang dikeluarkan dalam setiap forum rapat. Hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham dapat digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan seperti, rencana penjualan aset-aset Perseroan dan pemberian jaminan utang, pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menyetujui laporan keuangan yang disampaikan oleh Direksi, pertanggungjawaban Direksi, rencana penggabungan, peleburan, pengambilalihan, serta rencana pembubaran Perseroan.

2)     Direksi.

Keberadaan Direksi dalam Perseroan ibarat nyawa bagi Perseroan, tidak mungkin ada Perseroan tanpa adanya Direksi, begitu juga sebaliknya tidak mungkin ada Direksi tanpa adanya Perseroan. Oleh karena itu, keberadaan Direksi bagi Perseroan Terbatas menjadi sangat penting. Sekalipun Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan terpisah dengan Direksi, tetapi hal itu anya berdasarkan fiksi hukum, bahwa Perseroan Terbatas dianggap seakan-akan sebagai subyek hukum, sama halnya seperti manusia.

Direksi Perseroan Terbatas merupakan organ yang melaksanakan kegiatan dan kepengurusan Perseroan. Ketentuan ini menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang antara lain, meliputi pengurusan sehari-hari Perseroan. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

Kedudukan Direksi dalam Perseroan adalah sebagai eksekutif, yang mana tindakan-tindakannya dibatasi oleh anggaran dasar Perseroan. Artinya, meskipun memiliki kewenangan penuh dalam hal kepengurusan Perseroan, langkah-langkah Direksi harus tetap dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang dan anggaran dasar Perseroan.

Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili kepentingan Perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan tujuan anggaran dasar. Selanjutnya, Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa Direksi menjalankan pengurusan Perseroan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan. Berkenaan dengan ketentuan tersebut, Pasal 92 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa, Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Yang dimaksud dengan “kebijakan yang dipandang tepat” adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 92 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa Direksi di dalam Perseroan memiliki 2 (dua) fungsi yaitu, fungsi pengurusan (manajemen Perseroan) dan fungsi perwakilan (representasi Perseroan).

Direksi dalam menjalankan representasi di luar pengadilan diantaranya adalah ketika melakukan transaksi atau hubungan kontraktual dengan pihak ketiga dari Perseroan, mewakili Perseroan untuk menandatangani akta atau kontrak untuk kepentingan Perseroan dengan pihak ketiga, mewakili Perseroan untuk menghadap pejabat-pejabat baik pada instansi swasta maupun Pemerintah, serta untuk melakukan negosiasi dengan pihak-pihak ketiga lainnya. Mewakili Perseroan di dalam maupun di luar Pengadilan dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

      1. Dilakukan sendiri[34],
      2. Dilakukan oleh Komisaris apabila Direksi berhalangan untuk melakukannya dan/atau bilamana Direksi terdapat conflict of interest untuk mewakili Perseroan dengan pihak ketiga[35],
      3. Dilakukan oleh pegawai atau karyawan yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa[36],
      4. Dilakukan oleh orang lain atau pihak ketiga sebagai agen atau biro jasa yang ditunjuk untuk mewakili Perseroan berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh Direksi[37].

Pengurusan Direksi terhadap Perseroan dibatasi oleh ketentuan Pasal 92 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mana Pasal 92 ayat (2) tersebut menentukan bahwa kewenangan kepengurusan Perseroan oleh Direksi sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat yang telah ditentukan dalam anggaran dasar Perseroan Terbatas dan peraturan perundang-undangan. Kepengurusan Direksi dapat dibedakan menjadi perbuatan beheren dan beschicking atau perbuatan van eigendom. Perbuatan beheren yaitu pengurusan dalam arti sempit yang merupakan wewenang murni dan dapat dilakukan sehari-hari. Sedangkan, perbuatan beschicking atau van eigendom merupakan perbuatan kepemilikan yang memerlukan persetujuan dari Organ Perseroan lainnya.

Direksi merupakan Dewan Direktur (Board of Directors) yang dapat terdiri atas satu atau beberapa orang direktur. Apabila direksi lebih dari satu atau beberapa direktur, maka salah satunya dapat diposisikan sebagai Presiden Direktur atau Direktur Utama dan yang lainnya menjadi wakil Direktur atau menjadi anggota Direksi. Hal demikian sebagaimana ditentukan menurut Pasal 92 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan yang menentukan bahwa, Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang Direksi atau lebih. Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.

Menurut Ridwan Khairandy, pada dasarnya anggota Direksi adalah buruh atau pegawai Perseroan. Perseroan sebagai badan hukum adalah majikan anggota Direksi. Di dalam Perseroan Terbatas Tertutup seringkali pemegang saham juga menjadi Direksi Perseroan yang bersangkutan. Walaupun Direktur itu adalah pemegang saham, namun ketika dia menjadi Direktur, maka dia terikat dengan hubungan kerja dengan Perseroan. Dengan perkataan lain, dia adalah karyawan Perseroan[38]. Di dalam Perseroan Terbatas Terbuka (PT. Tbk.), biasanya orang yang menjadi anggota Direksi adalah profesional yang bukan pemegang saham di Perseroan yag bersangkutan. Dalam kondisi demikian, anggota Direksi murni pekerja atau karyawan Perseroan[39].

Sebagai konsekuensi dari kedudukan tersebut, maka hubungan hukum antara Direksi dan Perseroan adalah hubungan kerja yang tunduk kepada hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan. Konsekuensi dari hubungan tersebut adalah hak anggota Direksi untuk mendapat upah atau gaji dari Perseroan[40]. Menurut ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, ketentuan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Kewenangan RUPS dalam menentukan besarnya dan tunjangan anggota Direksi dapat dilimpahkan kepada Dewan Komisaris. Dalam hal kewenangan RUPS dilimpahkan kepada Dewan Komisaris, besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Dewan Komisaris.

Hubungan antara Direksi dengan Perseroan selain didasarkan pada hubungan kerja, Direksi juga memiliki hubungan fidusia dengan Perseroan. Direksi memiliki kedudukan fidusia (fiduciary position) di dalam Perseroan. Perseroan Terbatas sebagai badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum mesti melalui pengurusnya. Tanpa adanya pengurus, badan hukum itu tidak akan berfungsi. Ketergantungan antara badan hukum dan pengurus menjadi sebab mengapa antara badan hukum lahir hubungan fidusia (fiduciary duties) dimana pengurus selalu pihak yang dipercaya bertindak dan menggunakan wewenangnya hanya untuk kepentingan Perseroan semata[41].

Menurut Munir Fuady, prinsip fiduciary duty berlaku bagi Direksi dalam menjalankan tugasnya, baik dalam menjalankan fungsinya sebagai manajemen maupun sebagai representasi dari Perseroan. Fiduciary duty dari Direksi Perseroan merupakan konsepsi hukum yang sangat membingungkan dalam hukum perusahaan. Fiduciary duty ini sangat banyak didiskusikan orang dan pembahasannya menghiasi banyak literatur hukum perusahaan, tetapi jarang ada diskusi yang jelas sasarannya[42].

Istilah fiduciary duty berasal dari dua kata yaitu “fiduciary” dan “duty”. Tentang istilah “duty” banyak dipakai dimana-mana, yang berarti “tugas”, sedangkan untuk istilah “fiduciary” (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin “fiduciarius” dengan akar kata “fiducia” yang berarti “kepercayaan” (“trust”) atau dengan kata kerja “fidere” yang berarti “mempercayai” (“to trust”). Jadi, istilah “fiduciary” diartikan sebagai “memegang sesuatu dalam kepercayaan” dan “seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang lain”. Dengan demikian, dalam bahasa Inggris, orang yang memegag sesuatu secara kepercayaan untuk kepentingan orang lain tersebut disebut dengan istilah “trustee” sementara pihak yang dipegang untuk kepentingannya tersebut disebut dengan istilah “beneficiary”. Dalam istilah bahasa Indonesia, orang yang memegang suatu kepercayaan seperti itu disebut sebagai orang yang memegang “amanah”[43].

Fiduciary duty Direksi akan memberikan perlindungan yang berarti bagi pemegang saham dan perusahaan. Hal ini dikarenakan pemegang saham dan perusahaan tidak dapat sepenuhnya melindungi dirinya sendiri dari tindakan Direksi yang merugikan dimana Direksi bertindak atas nama perusahaan dan pemegang saham. Sehingga, untuk menghindari adanya penyalahgunaan aset-aset perusahaan dan wewenang oleh Direksi, maka Direksi dibebankan dengan adanya fiduciary duty[44].

Dalam Pasal 97 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ditentukan bahwa kepengurusan Perseroan yang dipercayakan kepada Direksi wajib dilaksanakan berdasarkan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. Fiduciary duty yang telah diberikan kepada Direksi suatu Perseroan menuntutnya untuk memiliki standar integritas dan loyalitas yang tinggi, terampil, serta bertindak untuk kepentingan Perseroan secara bonafides.

Begitu luas kewenangan dan tanggung jawab Direksi suatu Perseroan sehingga Direksi wajib melakukan tugasnya dengan itikad baik (good faith) dan penuh tanggung jawab. Direksi sebagai pengelola (pengurus dan representasi) Perseroan merupakan pemegang amanah (fiduciary) dari pemegang saham. Prinsip Fiduciary duty yang dimiliki oleh Direksi menyebabkan Direksi mempunyai kewenangan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, seorang Direksi harus memiliki kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas, dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat tinggi (high degree).

3)     Dewan Komisaris

Komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan Perseroan. Istilah Komisaris mengandung pengertian baik sebagai organ maupun orang perorangan. Sebagai organ, Komisaris lazim disebut juga Dewan Komisaris (Board of Commissioners), sedangkan sebagai orang perorangan disebut anggota Komisaris.

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khsusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Keberadaan Komisaris dalam suatu Perseroan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), terutama berdasarkan Pasal 44 KUHD tidak menjadi keharusan, namun di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, keberadaannya menjadi suatu keharusan bahkan tugas dan kewenangan Dewan Komisaris diatur secara tegas dalam undang-undang tersebut.

Tugas utama Dewan Komisaris adalah melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan yang dijalankan oleh Direksi, jalannya pengurusan tersebut pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi. Namun dalam keadaan darurat (tertentu), dapat bertindak untuk melakukan pengurusan atau mewakili Perseroan layaknya Direksi sebagaimana telah ditentukan terlebih dahulu dalam anggaran dasar, atas keputusan Rapat Umum Pemegang Saham dan/atau seperti halnya telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya ditentukan menurut Pasal 99 dan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan menjalankan tugas untuk mengurus atau mewakili Perseroan (dalam keadaan tertentu), maka Komisaris memiliki konsekuensi hukum yang sama sebagaimana melekat pada Direksi.

Menurut Pasal 108 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa, Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi. Pengawasan dan pemberian nasihat tersebut dilakukan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Dalam Penjelasan Pasal 108 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dimaksud dengan “untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan” adalah bahwa pengawasan dan pemberian nasihat yang dilakukan oleh Dewan Komisaris tidak untuk kepentingan pihak atau golongan tertentu, tetapi untuk kepentingan Perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

Dengan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa, Dewan Komisaris di dalam Perseroan berkedudukan sebagai badan supervisi. Komisaris adalah badan non eksekutif yang tidak berhak mewakili Perseroan, kecuali dalam hal tertentu yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar Perseroan[45]. Dalam melaksanakan tugasnya, Komisaris dalam Perseroan Terbatas tunduk pada beberapa prinsip yuridis menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:[46]

      1. Komisaris merupakan badan pengawas. Komisaris dimaksudkan sebagai (badan supervisi). Selain mengawasi tindakan Direksi, Komisaris juga mengawasi Perseroan secara umum;
      2. Komisaris merupakan badan independen. Seperti halnya dengan Direksi dan RUPS, pada prinsipnya Komisaris merupakan badan independen, Komisaris tidak tunduk pada kekuasaan siapapun dan Komisaris melaksanakan tugasnya semata-mata hanya untuk mengurus kepentingan Perseroan;
      3. Komisaris tidak mempunyai otoritas manajemen (non executive). Meskipun Komisaris merupakan pengambil keputusan (decision maker), tetapi pada prinsipnya Komisaris tidak memiliki otoritas manajemen (non executive). Pihak yang memiliki tugas manajemen atau eksekutif hanyalah Direksi;
      4. Komisaris tidak bisa memberikan instruksi yang mengikat kepada Direksi. Walaupun tugas utama Komisaris adalah untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas Direksi, tetapi Komisaris tidak berwenang untuk memberikan instruksi-instruksi langsung kepada Direksi. Hal ini dikarenakan jika kewenangan ini diberikan kepada Komisaris, maka posisinya akan berubah dari pengawas menjadi badan eksekutif. Sehingga dalam hal ini fungsi pengawasan Komisaris dilakukan melalui jalan sebagai berikut: a) menyetujui tindakan-tindakan tertentu yang dambil Direksi; b) Memberhentikan Direksi untuk sementara; c) Membei nasihat kepada Direksi, baik diminta ataupun tidka, dalam rangka menjalankan pengawasan;
      5. Komisaris tidak dapat diperintah oleh RUPS. Sebagai konsekuensi dari kedudukan Komisaris yang independen, maka Komisaris tidak dapat diperintah oleh RUPS, meskipun diketahui bahwa RUPS memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu Perseroan. RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dapat memberhentikan Komisaris, dengan atau tanpa menunjukkan alasan pemberhentiannya (with or without cause).

Terkait dengan hal tersebut diatas, perlu diketahui bahwa, fungsi pengawasan dari Komisaris tersebut diwujudkan dalam dua level, yaitu:[47]

      1. Level performance, yaitu fungsi pengawasan dimana Komisaris memberikan pengarahan dan petunjuk kepada Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham;
      2. Level conformance, yaitu fungsi pengawasan dimana Komisaris melakukan kegiatan pengawasan selanjutnya agar dipatuhi dan dilaksanakan, baik pelaksanaan terhadap pengarahan dan petunjuk yang telah diberikan oleh Komisaris maupun terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam melakukan fungsinya sebagai pengawas, Komisaris berhak untuk melakukan pengawasan baik dengan atau tanpa permintaan dari Direksi atau Rapat Umum Pemegang Saham. Namun, tindakan pengwasan tersebut tidak boleh menjadi tindakan eksekutif karena pelaksanaan tugas eksekutif merupakan kewenangan dari Direksi. Pengawasan Komisaris dapat dilakukan terhadap keputusan yang belum diambil maupun yang sudah diambil, dan bukan hanya dengan menerima informasi dari Direksi atau Rapat Umum Pemeganag Saham, melainkan dapat juga dengan mengambil tindakan-tindakan yang bersifat korektif.

Pasal 108 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa, Dewan Komisaris terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota atau lebih. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris. Berbeda dari Direksi yang memungkinkan setiap anggota Direksi bertindak sendiri-sendiri dalam menjalankan tugas Direksi, setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri dalam menjalankan tugas Dewan Komisaris, kecuali berdasarkan keputusan Dewan Komisaris[48].

Khusus untuk Perseroan Terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya dalam menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat (seperti bank) atau Perseroan Terbatas yang bersifat Terbuka (PT. Tbk.), maka Dewan Komisaris setidak-tidaknya terdiri dari minimal 2 (dua) orang anggota. Hal ini sebagaimana ditentukan menurut Pasal 108 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dijelaskan pula dalam Penjelasan Pasal 108 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa Perseroan yang kegiatan usahanya menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, atau Perseroan Terbuka memerlukan pengawasan dengan jumlah anggota Dewan Komisaris yang lebih besar karena menyangkut kepentingan masyarakat.

Persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Dewan Komisaris diatur menurut ketentuan Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa yang dapat diangkat menjadi Dewan Komisaris adalah orang perorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:

      1. Dinyatakan pailit;
      2. Menjadi anggota Direksi atau anggota Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau
      3. Dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Menurut Pasal 110 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Perseroan Terbatas, menentukan bahwa ketentuan tersebut di atas tidak mengurangi ketentuan teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan tersebut dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan. Sebagai contoh, Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) dapat menambah persyaratan untuk menjadi Komisaris pada sebuah Bank. Calon anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan berkenaan dengan persyaratan tersebut membuat surat pernyataan dan menandatangani surat dari instansi yang berwenang.


3. Teori Pendirian Perseroan

1)      Legal Contractual Theory

Berdasarkan legal contractual theory, Perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian yang membatasi tanggung jawab sosial dan menciptakan entitas yang sulit dipengaruhi negara, karena keengganan perusahaan sebagai alat negara sehingga perusahaan diletakkan dalam hukum perdata meyakini keputusan suara mayoritas dalam perjanjian antar pemegang saham mencerminkan arah dari Perseroan itu sendiri[49].

Pemegang saham sebagai pemilik perusahaan tergantung Direksi untuk mengoptimalkan dana investasi yang telah ditanamkan. Perseroan yang dimiliki pemegang saham, mempercayakan kepengurusan kepada Direksi sebagai agen untuk memberikan keuntungan semaksimal mungkin. Teori ini melihat suara mayoritas pemegang saham sebagai agen untuk memberikan keuntungan semaksimal mungkin. Teori ini melihat suara mayoritas pemegang saham sebagai suatu cerminan kehendak suatu Perseroan. Perusahaan memiliki status secara politik maupun hukum terlepas campur tangan negara[50].

2)   Economic Contractualism

Analisis ekonomi dengan perspektif bahwa berdirinya Perseroan adalah inisiatif dari para pemegang saham bukan datang dari keinginan negara. Cheffin menyatakan hukum perusahaan diberlakukan pada perusahaan hanya berpengaruh sedikit dalam posisi tawar yang ditanggung pada pendirian dan bentuk aktifitas bisnis Perseroan[51].

Hukum perusahaan menyediakan aturan yang sesuai dengan harapan para investor (pemegang saham) dan gen (Direksi). Keseluruhan pemegang saham mengadakan perjanjian dengan agen (Direksi) dapat memaksimalkan keuntungan. Hukum perusahaan dengan sendirinya akan mengurangi biaya yang timbul bagi Perseroan[52].

Kepentingan manajemen dan pihak pemegang saham tidak selalu sejalan, potensi manajemen untuk menggunakan sumber daya Perseroan untuk kepentingannya sendiri mendorong pemegang saham memaksakan bentuk perlindungan melalui perjanjian perusahaan. Aspek-aspek dalam pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) bahwa hukum perusahaan akan mengurangi biaya transaksi dengan mewajibkan adanya hak perlindungan layak bagi pemegang saham sesuai keinginan mereka, hak penting untuk menolak transaksi tidak wajar. Hukum perusahaan dilihat sebagai aturan yang diadopsi untuk mengurangi cost hanya untuk kepentingan segelintir orang. Premis, bahwa kebebasan kesempurnaan pasar akan menghasilkan kesejahteraan optimal, hanya akan terjadi jika adanya campur tangan negara untuk memperbaiki gangguan pasar supaya dapat berfungsi kembali[53].

Mekanisme pasar memiliki kelemahan, yaitu diantaranya adalah:

    1. Kebebasan yang tidak terbatas dapat menindas golongan-golongan tertentu, yaitu golongan ekonomi lemah dan minoritas serta cenderung memenangkan pihak yang kuat;
    2. Didalam sistem mekanisme pasar akan timbul kecenderungan monopolistik, dengan memiliki modal yang kuat dan teknologi yang tinggi seorang pengusaha dapat menguasai pasar, sehingga mampu menentukan jumlah barang dan jasa yang ditawarkan serta mencapai keuntungan maksimum;
    3. Mekanisme pasar tidak dapat menyediakan beberapa jenis barang secara efisien, seperti fasilitas-fasilitas umum;
    4. Dalam mekanisme pasar, kegiatan ekonomi dapat tidak stabil;
    5. Kegiatan konsumen dan produsen dalam mekanisme pasar dapat menimbulkan eksternalitas yang merugikan.

3)   Communitaire Theories

Teori ini melihat hadirnya suatu perusahaan bukan karena pemberian negara semata, tetapi dibuat sebagai alat yang berguna bagi kepentingan negara. Teori ini mulai dengan posisi yang berseberangan dengan kepentingan individual dalam contractual theory. Standar kegunaan perusahaan bukan dicapainya kesejahteraan individual, tetapi mengusahakan supaya masyarakat memiliki kesadaran tentang pentingnya komunitas untuk menghargai kelebihan individual dan mencapai kesejahteraan ekonomi keseluruhan[54]. Berle dan Dodd dipengaruhi oleh pemikiran Berle dan Means, bahwa struktur perusahaan modern berarti kepemilikan dan kontrol harus terpisah. Kepentingan perusahaan diliht sama besar dengan kepentingan pemegang saham. Jika tidak, pengukuran kinerja Direksi tidak mungkin dilakukan[55].

4)   Concession Theories

Teori ini melihat kehadiran dan operasi perusahaan sebagai pemberian negara yang menjamin kemampuan berusahan dengan menggunakan perusahaan sebagai alat. Hal berlawanan antara teori ini dari teori communitaire adalah teori concession menerima pemerintah memastikan struktur corporate governance berjalan secara adil dan demokratis menentang gagasan bahwa perusahaan harus memiliki tujuan mencerminkan aspirasi sosial negara. Thomas Hobbes mengategorikan perusahaan sebagai badan politik karena karena mendapat status keputusan dari penguasa. Perjanjian mendirikan perusahaan sebagai aliran diterimanya peran negara untuk membuat aturan seputar corporate governance. Bottomley menyebut corporate governance sebagai rekonseptualisasi struktur hukum perusahaan bidang politik. Kepentingan nilai dan ide dalam bidang kehidupan politik masyarakat harus dipertimbangkan dalam penyusunan regulasi corporate governance.

Perjanjian pendirian Perseroan memiliki 3 (tiga) ide penting, sebagai berikut: idea dual decision making, mengakui perbedaan pengaturan Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam kehidupan Perseroan; idea deliberative decision making memastikan keputusan peruahaan diambil berdasarkan pertimbangan terbuka atas masalah yang terjadi; idea separation of powers bertujuan supaya kewenangan membuat keputusan dilakukan secara bertanggung jawab[56].


4. Pendirian Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar[57]. Menurut bunyi Pasal 7 dan Penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Perseroan Terbatas didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan “orang” adalah perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Pada dasarnya sebagai badan hukum, Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, karena itu mempunyai lebih dari satu orang pemegang saham. Setiap pendirinya wajib mengambil saham pada saat Perseroan didirikan.

Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Selanjutnya, dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengatur bahwa, agar suatu perjanjian yang dibuat para pihak sah, maka harus memenuhi 4 (empat) syarat sebagai berikut:

  1. Adanya kesepakatan oleh para pihak yang membuatnya;
  2. Kecakapan hukum untuk melakukan perbuatan hukum;
  3. Sesuatu hal (obyek) yang diperjanjikan;
  4. Sesuatu hal yang tidak terlarang (diperbolehkan).

Perjanjian yang dibuat juga tidak boleh melanggar ketentuan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang menyatakan bahwa tiada suatu perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum mengikat jika dibuat karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan maupun penipuan. Selain itu, perjanjian dibuat harus berlandaskan sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam hukum perjanjian.

Melihat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa unsur-unsur terpenting dari pendirian suatu Perseroan Terbatas yang perlu diperhatikan adalah didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih, dengan akta Notaris, yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, maka para pendiri Perseroan tersebut wajib mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia secara autentik. Akta Pendirian Perseroan, dalam hal ini perjanjian pendirian Perseroan wajib dibuat secara autentik/notariil oleh Notaris sebagai pejabat yang berwenang. Jika undang-undang menghendaki demikian, maka merujuk pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa Notaris berwenang membuat Akta Autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta Autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang diterapkan oleh undang-undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka suatu perjanjian pendirian Perseroan wajib dibuat secara Autentik oleh Notaris, bilamana perjanjian pendirian tersebut dibuat dibawah tangan maka konsekuensinya adalah batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Notaris dalam hal membuat Akta Pendirian Perseroan Terbatas wajib menggunakan bahasa Indonesia. Akta Pendirian Perseroan Terbatas didirikan oleh para pendirinya yang salah satunya merupakan warga negara asing, maka bilamana dipandang perlu dibuat pula Akta Pendirian dengan dua versi bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), namun yang digunakan untuk didaftarkan dan mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia adalah akta Pendirian yang menggunakan bahasa Indonesia.

Dalam hukum pembuktian, akta autentik dipandang sebagai suatu alat bukti yang mengikat sempurna. Artinya, bahwa apa yang dimuat dalam akta tersebut harus dipercaya kebenarannya dan tidak memerlukan tambahan bukti lain. Berbeda dengan akta dibawah tangan, baru menjadi bukti yang sempurna apabila isinya diakui para pihak yang membuatnya. Wujud pendirian Perseroan dalam bentuk akta pendirian yang dibuat di hadapan Notaris yang telah disepakati oleh para pendiri memuat sekaligus anggaran dasarnya, sejak ditandatanganinya Akta Pendirian Perseroan oleh para pendiri, sebenarnya Perseroan telah berdiri. Sifat hubungan antar pendiri adalah hubungan kontraktual karena persoalan belum memperoleh status badan hukum[58].

Selanjutnya, dalam Pasal 7 ayat (7) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, memberikan pengecualian terkait dengan syarat pendirian Perseroan Terbatas oleh minimal 2 (dua) orang pendiri atau lebih. Pasal tersebut memberikan ketentuan bahwa, Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih tidak berlaku bagi:

  1. Persero[59] yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara;
  2. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal.

Karena status dan karakteristik yang khusus, persyaratan jumlah pendiri bagi Perseroan (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri[60]. Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat proses pendirian sebagai bukti kepemilikan atas Perseroan dari harta Perseroan yang berbentuk saham, bagian saham dari pendiri ini wajib diambil oleh pendiri untuk berperan dalam mengambil keputusan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pengecualian untuk mengambil bagian saham tidak berlaku lagi bagi Perseroan yang didirikan dalam rangka peleburan. Rasio dari tidak adanya kewajiban mengambil saham bagi Perseroan Terbatas yang didirikan dalam rangka peleburan, oleh karena dalam Perseroan Terbatas (Baru) yang didirikan, para pemegang sahamnya adalah Perseroan Terbatas yang meleburkan diri sedangkan pendiri dari Perseroan Terbatas (Baru) yang didirikan adalah kumpulan Badan Hukum (Beberapa Perseroan Terbatas) yang meleburkan diri.

Perseroan memperoleh status sebagai badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. Dengan demikian, semua tindakan hukum sebelum pengesahan tersebut menjadi tanggung jawab setiap pendiri Perseroan secara tanggung renteng. Jika Perseroan telah memperoleh status badan hukum dan pemegang sahamnya menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka selambat-lambatnya 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Istilah orang lain yang dimaksud adalah orang yang tidak merupakan kesatuan harta, atau tidak memiliki harta bersama yaitu antara pemegang saham[61]. Apabila tidak dilakukan, maka pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian yang disebabkan oleh Perseroan.

Adapun menurut ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, isi Akta Pendirian dan keterangan yang harus dicantumkan dalam anggaran dasar Perseron diatur sebagai berikut:

1) Akta Pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan Pendirian Perseroan.

2) Keterangan lain sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:

a) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan dan tempat tinggal, dan kewarganegaraan pendiri Perseroan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap, serta nomor dan tanggal keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum dari pendiri Perseroan;

b) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat;

c) Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan nilai jumlah saham yang telah ditempatkan dan disetor.

3) Dalam pembuatan Akta Pendirian, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa.

Dalam mendirikan Perseroan, diperlukan kejelasan mengenai kewarganegaraan pendiri. Pada dasarnya, badan hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas yang mana didirikan oleh Warga Negara Indonesia. Namun, Warga Negara Asing atau badan hukum asing diberi kesempatan untuk mendirikan badan hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas, sepanjang undang-undang yang mengatur bidang usaha Perseroan tersebut memungkinkan atau pendirian Perseroan Terbatas tersebut diatur oleh peraturan perundang-undangan tersendiri.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, memuat suatu norma hukum baru, dimana sebelum Perseroan Terbatas didirikan, calon pendiri dapat melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan Perseroan Terbatas yang belum didirikan, dan perbuatan hukum ini dapat mengikat Perseroan Terbatas tersebut setelah berstatus badan hukum, jika:

  1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang pertama kali diadakan dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak berstatus sebagai badan hukum, menyatakan secara tegas menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh pendiri atau kuasanya. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) harus dihadiri oleh seluruh pemegang saham dan harus disetujui dengan suara bulat;
  2. Persetujuan tertulis oleh semua calon pendiri sebelum pendirian Perseroan tanpa diperlukan lagi persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham.

Selanjutnya dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah mengatur perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status sebagai badan hukum dan dapat mengikat Perseroan setelah berstatus badan hukum dalam hal:

  1. Perbuatan hukum dilakukan oleh semua pendiri, semua anggota Direksi, dan semua anggota Komisaris, dan setelah Perseroan berstatus badan hukum, maka demi hukum perbuatan hukum itu mengikat Perseroan;
  2. Perbuatan yang dilakukan oleh pendiri atas nama Perseroan yang belum berstatus badan hukum, jika RUPS yang pertama kali dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah berstatus sebagai badan hukum menerima dan mengambil alih perbuatan hukum yang dilakukan pendiri tersebut. RUPS ini harus dihadiri oleh semua pemegang saham dan disetujui dengan suara bulat.

Dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah menegaskan bahwa Perseroan Terbatas memperoleh status badan hukum sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri tentang Pengesahan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum melalui jasa Teknologi Informasi Sistem Administrasi Badan Hukum Secara elektronik.

Badan hukum sebagaimana layaknya manusia mempunyai kewenangan-kewenangan dan tanggung jawab dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti menggugat atau digugat dan melakukan perbuatan hukum lainnya. Namun demikian, badan hukum jika dibandingkan dengan manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu, yaitu kewenangannya akan sangat bergantung kepada peraturan-peraturan anggaran dasarnya[62]. Jadi kewenangan suatu badan hukum terbatas pada tindakan yang intra vires yang sesuai dengan kecakapan yang diberikan oleh anggaran dasarnya, sehingga dengan demikian suatu badan hukum tidak boleh melakukan tindakan yang secara tegas dilarang dalam anggaran dasarnya atau dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan yang menyertainya, perbuatan-perbuatan itu dapat dinilai tidak akan menunjang kegiatan-kegiatan sesuai ketentuan anggaran dasar, dan bukan ditujukan untuk kepentingan badan hukum. Anggaran dasar suatu Perseroan juga menjadi batasan terhadap kecakapan dan ruang lingkup kewenangan badan hukum itu, sehingga jika suatu saat hal itu dilanggar, maka dapat dikatakan bahwa Perseroan tersebut telah melakukan tindakan ultra vires.

Terkait dengan jasa Teknologi Informasi Sistem Administrasi Badan Hukum secara elektronik tersebut, hal ini harus dilakukan guna memperoleh status badan hukum dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Pengisian format isian tersebut dalam Sistem Administrasi Badan Hukum harus didahului dengan pengajuan nama Perseroan. Dalam hal mana pendiri tidak mengajukan sendiri permohonannya, maka dapat dikuasakan kepada orang lain, dalam hal ini dapat dikuasakan kepada seorang Notaris. Ketentuan lebih lanjut di bawah ini mengenai tata cara pengajuan dan pemakaian nama Perseroan.

Permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Akta Pendirian dibuat dan ditandatangani, dilengkapi keterangan mengenai dokumen pendukung. Apabila format isian dan keterangan mengenai dokumen pendukung telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri langsung menyatakan tidak keberatan atas permohonan yang bersangkutan secara elektronik.

Apabila format isian dan keterangan mengenai dokumen pendukung tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri langsung memberitahukan penolakan berikut dengan alasan-alasannya kepada Pemohon secara elektronik. Berdasarkan Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pernyataan tidak berkeberatan, Pemohon yang bersangkutan wajib menyampaikan secara fisik dokumen surat permohonan yang dilampiri dengan dokumen pendukungnya. Apabila semua persyaratan telah dipenuhi secara lengkap, maka paling lambat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari Menteri menerbitkan keputusan tentang pengesahan badan hukum Perseroan yang ditandatangani secara elektronik (sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

Apabila persyaratan tentang jangka waktu dan dokumen pendukung tidak dipenuhi, maka Menteri akan langsung memberitahukan hal tersebut kepada Pemohon secara elektronik, dan pernyataan tidak keberatan menjadi gugur demi hukum. Dalam hal pernyataan tidak berkeberatan menjadi gugur demi hukum, Pemohon dapat mengajukan kembali permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri. Dalam hal permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri tidak diajukan kembali dalam jangka waktu yang telah ditentukan, Akta Pendirian menjadi batal demi hukum sejak lewatnya jangka waktu tersebut, dan Perseroan yang belum memperoleh status sebagai badan hukum konsekuensinya bubar demi hukum dan pemberesannya dilakukan oleh pendiri Perseroan itu sendiri. Ketentuan jangka waktu tersebut juga berlaku bagi pengajuan permohonan kembali.

Perbuatan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan saham dan penyetorannya yang dilakukan oleh calon pendiri sebelum Perseroan didirikan, menurut Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, harus dicantumkan dalam Akta Pendirian. Dalam hal perbuatan hukumnya, dinyatakan dalam Akta Autentik, nomor, tanggal, dan nama serta tempat kedudukan Notaris yang membuat Akta Autentik tersebut disebutkan dalam Akta Pendirian Perseroan. Dalam hal segala bentuk pengurusan tersebut tidak dipenuhi, maka perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban serta tidak mengikat Perseroan.

Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri Perseroan untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan memperoleh status sebagai badan hukum apabila Rapat Umum Pemegang Saham pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau kuasanya. Rapat Umum Pemegang Saham untuk pertama kalinya harus segera diselenggarakan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status sebagai badan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili semua saham dengan hak suara dan keputusan disetujui dengan suara bulat. Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham tidak diselenggarakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau Rapat Umum Pemegang Saham tidak berhasil mengambil keputusan, setiap calon pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggungjawab secara pribadi atas segala akibat hukum yang timbul. Persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham tidak diperlukan apabila perbuatan hukum tersebut dilakukan atau disetujui secara tertulis oleh semua calon pendiri sebelum pendirian Perseroan. Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status sebagai badan hukum hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggungjawab secara tanggung-renteng atas perbuatan hukum tersebut.

Dalam hal perbuatan hukum dilakukan oleh pendiri atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan. Hal ini dikarenakan perbuatan hukum tersebut mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan bilamana Perseroan telah sah memperoleh status sebagai badan hukum. Selanjutnya, perbuatan hukum hanya mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan setelah perbuatan hukum tersebut disetujui oleh semua pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham yang dihadiri oleh semua pemegang saham Perseroan.

5. Doktrin Piercing The Corporate Veil

Salah satu topik populer dalam hukum Perseroan adalah adanya doktrin piercing the corporate veil. Doktrin piercing the corporate veil sangat erat sekali hubungannya dengan sifat dari Perseroan Terbatas itu sendiri sebagai badan hukum. Sebagaimana Perseroan Terbatas oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ditentukan sebagai badan usaha yang berbentuk badan hukum. Dengan status sebagai badan hukum tersebut, Perseroan Terbatas mempunyai harta kekayaan tersendiri, dan tanggung jawab hukum tersendiri yang terpisah dari para pemilik/pendiri/pemegang sahamnya. Pada prinsipnya, harta kekayaan dan tanggung jawab hukum Perseroaan Terbatas terpisah dari harta kekayaan dan tanggung jawab hukum Organ Perseroan Terbatas seperti, Direksi, Dewan Komisaris, dan Rapat Umum Pemegang Saham. Hal ini berarti setiap kewajiban atau utang Perseroan Terbatas hanya dilunasi dari harta kekayaan Perseroan Terbatas itu sendiri. Hal tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan tanggung jawab suatu Perseroan non badan hukum, seperti Commanditaire Vennotschap (CV) dan Firma, jika terjadi kerugian terhadap pihak ketiga atas kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk nama Perseroan non badan hukum, pihak ketiga tersebut dapat meminta pemilik perusahaan untuk bertanggung jawab secara hukum, termasuk meminta agar pemilik Perseroan untuk bertanggung jawab secara hukum, termasuk meminta agar harta kekayaan pribadinya tersebut disita dan dilelang.

Doktrin piercing the corporate veil adalah doktrin yang berkembang dalam ranah hukum Perseroan atau perusahaan yang berupaya untuk memberikan suatu pemahaman terhadap bentuk-bentuk penyimpangan yang dapat terjadi dalam sebuah badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas. Doktrin piercing the corporate veil adalah satu dari diantara beberapa doktrin yang berkembang dlam dunia hukum Perseroan atau hukum perusahaan (corporate law), yang salah satunya untuk menciptakan suatu kesinergian universal dalam praktek bisnis di seluruh dunia. Dianutnya suatu doktrin yang sama oleh berbagai negara, akan menciptakan suatu ide pembaharuan terhadap aplikasi kinerja korporasi sebuah Perseroan dimanapun wadah tersebut didirikan dan berada, meskipun dalam wilayah atau sistem hukum yang berbeda.

Sebagaimana diketahui bersama, Perseroan Terbatas merupakan subyek hukum yang berstatus badan hukum dengan karakteristiknya adalah tanggung jawab terbatas (limited liability) bagi para pemegang saham, anggota Direksi dan Dewan Komisaris. Permasalahannya, apakah prinsip tanggung jawab terbatas ini berlaku secara absolut?, bahkan mungkin dalam situasi dimana suatu Perseroan sebenarnya hanya merupakan alter ego dari para pemegang sahamnya, sehingga hanya dipakai sebagai kedok usaha atau alat bisnis bagi pemegang sahamnya?. Situasi ini dimaksudkan untuk membatasi beban pemegang saham akibat kerugian bisnis yang timbul karena keterlibatannya atau campur tangannya dalam mengelola maupun mengendalikan Perseroan yang tidak taat pada peraturan hukum yang berlaku atau bahkan diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para personil pengendali Perseroan itu sendiri.

Penyingkapan tirai perusahaan atau dalam bahasa Inggris disebut piercing the corporate veil, demikian teori ini dinamakan. Hampir dalam semua sistem hukum modern dikenal teori ini. Hanya saja yang berbeda adalah derajat pengakuan dan variasi dari aplikasinya. Kisi-kisi dari perbedaan tersebut, baik disebabkan oleh tradisi hukum dari negara yang bersangkutan, yakni apakah dari tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi hukum Eropa Kontinental Prancis, tradisi hukum Eropa Kontinental Jerman, maupun karena perbedaan penafsiran dan pengalaman hukum di negara yang bersangkutan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, mulailah hukum Indonesia diminta berenang dan menyelam ke dalam lautan luas dan tidak ada batas yang disebut piercing the corporate veil tersebut. Karena, memang sampai batas-batas tertentu, teori piercing the corporate veil ini diakui dalam berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tersebut, yang kemudian dikukuhkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang diarahkan kepada pihak Pemegang Saham, Direksi, bahkan dalam hal yang sangat khusus juga terhadap Dewan Komisaris dari suatu Perseroan Terbatas. Hanya saja, tentunya untuk bisa menerapkan teori piercing the corporate veil ini, perlu kearifan, kehati-hatian, dan pemikiran dalam suatu cakrawala hukum dengan visi yang perspektif dan responsif pada keadilan. Karena dalam cakrawala hukum yang demikianlah teori piercing the corporate veil tersebut berasal. Jika visi seperti ini diabaikan oleh para penegak dan penerap hukum, dapat dipastikan bahwa penerapan teori piercing the corporate veil justru akan counter productive dan meminta korban. Suatu hal yang tentunya sama-sama tidak kita inginkan[63].

Teori dalam ranah hukum perusahaan yang disebut dengan teori penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate veil) merupakan topik yang sangat populer dalam hukum perusahaan, bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan juga dalam tata hukum (modern) dikebanyakan negara lain. Untuk istilah “lifting the corporate veil” atau “going behind the corporate veil”. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai “keadilan”, khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak perusahaan mempunyai hubungan hukum tertentu[64].

Kata “piercing the corporate veil” terdiri atas kata-kata sebagai berikut:

  • Pierce = menyobek/mengoyak/menembus
  • Veil = kain tirai atau kerudung
  • Corporate = perusahaan

Karena itu, secara harfiah istilah “piercing the corporate veil” berarti mengoyak/menyingkapi tirai/kerudung perusahaan. Sedangkan, dalam ilmu hukum perusahaan istilah tersebut sudah merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat pada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh Perseroan pelaku tersebut. Dalam hal seperti ini Pengadilan akan mengabaikan status badan hukum dari perusahaan tersebut serta membebankan tanggung jawab kepada pihak “pribadi” dan “pelaku” dari Perseroan tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari Perseroan sebagai badan hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka. Dalam melakukan hal tersebut, biasanya dikatakan bahwa Pengadilan telah mengoyak/menyingkapi tirai/kerudung perusahaan (to pierce the corporate veil). Biasanya teori piercing the corporate veil ini muncul dan diterapkan manakala ada kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga terhadap Perseroan tersebut[65].

Piercing the corporate veil adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa ada kemungkinan membebankan tanggung jawab kepada pihak lain yang bukan perusahaan itu sendiri, sungguhpun perbuatan tersebut dilakukan secara sah oleh dan atas nama perusahaan sebagai badan hukum (Steven H. Gifis, 1984:345)[66]. Dalam hal demikian, “tabir” badan hukum dari perusahaan yang membatasi tanggung jawab dalam hal-hal tertentu dapat ditembus (piercing).

Berikut ini beberapa definisi yang diberikan dalam lingkup doktrin piercing the corporate veil antara lain:

  • Menurut Black’s Law Dictionary: The judicial act of imposing personal liability on otherwise immune corporate officer, directors and shareholders for the corporation wrongful acts.[67]
  • Menurut Wikipedia Dictionary: The corporate law concept of piercing (lifting) the corporate veil describes a legal decision where a director or officer of a corporation is held personally liable for the debts or liabilities of the corporation despite the general principle that those persons are immune from suits in contract or tort that otherwise would hold only the corporation liable. This doctrine is also known as disregarding the corporate entity”. Piercing the corporate veil is not the only means by which a director or officer of a corporation can be held liable for the actions of the corporation. Liability can be established through conventional theories of contract, agency, tort of law. For example, in situations where a director or officer is acting on behalf of a corporation personally commits a tort, he and the corporation are jointly liable and it’s unnecessary to discuss the issue of piercing the corporate veil. Where piercing the corporate veil become necessary to discuss is usually in the case in which liability is found, but the corporation is insolvent.[68]

Piercing the corporate veil hanya dapat terjadi dalam adanya perbuatan atau tindakan yang dipandang salah dimata hukum. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan bahwa yang dilarang bukan saja melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan atau melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan, melainkan termasuk juga dalam kategori melakukan tindakan atau perbuatan yang dipandang salah dimata hukum. Dengan demikian untuk mengetahui sejauh mana piercing the corporate veil dapat diberlakukan, tergantung pada kewenangan yang dimiliki dan kewajiban yang dipikul oleh pihak yang hendak dimintakan pertanggungjawaban pribadi tersebut. Dengan demikian, berarti pada prinsipnya terdapat banyak sekali kemungkinan dan hal yang jika dalam pelaksanaannya menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap luasnya kewenangan yang dimiliki atau kewajiban yang dipikul, dapat menyebabkan berlakunya piercing the corporate veil ini. Akan tetapi, terdapat beberapa dasar pertimbangan pengadilan diberlakukannya piercing the corporate veil.

Meskipun Pengadilan cukup enggan untuk menahan seorang Direktur atau Pemegang Saham aktif yang bertanggung jawab atas tindakan yang secara hukum menjadi tanggung jawab korporasi, bahkan ketika pemegang saham perusahaan tersebut hanya satu orang, Pengadilan tetap sering menerapkan piercing the corporate veil terutama jika perusahaan itu secara nyata tidak patuh, atau apabila hanya memutuskan bahwa cukup perusahaan saja yang bertanggung jawab akan menyebabkan ketidakadilan kepada pihak penggugat. Karena di kebanyakan negara tidak ada aturan hukum yang secara jelas menjabarkan prinsip ini, mengakibatkan banyaknya putusan yang didasarkan pada preseden hukum umum. Di Amerika Serikat, teori yang berbeda juga lahir yakni teori “alter ego” atau “instrumentality”, mencoba untuk membuat sebuah standar piercing the corporate veil. Sebagian besar bersandar kepada tiga dasar utama, yakni “unity of interest and ownership”, “wrongful conduct” dan “proximate cause”. Akan tetapi teori ini gagal dalam prakteknya karena pengadilan tidak dapat mengartikulasikan teori ini agar dapat diterapkan dalam kasus yang mereka tangani. Sehingga, pengadilan cenderung membuktikan pemenuhan unsur masing-masing dasar tersebut daripada menganalisis semua faktor yang ada (totality of circumtances)[69].

Berikut ini adalah beberapa faktor yang biasanya dipertimbangkan oleh majelis hakim untuk menerapkan prinsip piercing the corporate veil:[70]

  1. Absence or inaccuracy of corporate records;
  2. Concealment or misrepresentation of members;
  3. Failure to maintain arm’s length relationships with related entities;
  4. Failure to observe corporate formalities in terms of behavior and documentation;
  5. Failure to pay dividens;
  6. Interminglings of assets of the corporation and of the shareholder(s);
  7. Manipulation of assets or liabilities to concentrate the assets or liabilities;
  8. Nonfunction corporate officers and/or directors;
  9. Significant under capitalization of the business entity (capitalization requirements vary based on industry, location, and spesific company circumtances);
  10. Siphoning of corporate funds by the dominant shareholder(s);
  11. Treatment by an individual of the assets of corporation as his/her own;
  12. Was the corporation being use as “facade” for dominant shareholder(s) personal dealings; alter ego theory.

Hal-hal yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa piercing the corporate veil tidak hanya dapat dilakukan oleh pemegang saham, melainkan juga oleh setiap pihak yang dalam kedudukannya memungkinkan terjadinya penyimpangan atau dilakukannya hal-hal yang dapat, atau dapat mencegah untuk tidak melakukan hal-hal yang sepatutnya dilakukan, yang bermuara pada terjadinya kerugian bagi Perseroan hingga Perseroan tidak dapat atau tidak sanggup lagi memenuhi seluruh kewajibannya. Ini berarti pengurus Perseroan atau Direksi dan/atau Dewan Komisaris dapat juga dimintakan pertanggungjawaban pribadinya atas kerugian Perseroan. Dalam konteks pemegang saham yang melakukan piercing the corporate veil, maka Pemegang Saham bertanggung jawab kepada kreditur Perseroan sebagai akibat tindakan Pemegang Saham yang menyebabkan harta Perseroan mengalami kerugian dan tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur Perseroan. Sedangkan bagi Direksi atau Dewan Komisaris Perseroan, mereka ini bertanggung jawab kepada Perseroan atas setiap kerugian yang diterbitkan sebagai akibat tindakan hukum mereka. Mereka, Anggota Direksi dan Dewan Komisaris hanya bertanggung jawab kepada kreditur, jika Perseroan berada dalam kepailitan. Pernyataan tersebut diatas memberikan kesimpulan bahwa doktrin piercing the corporate veil dapat diberlakukan bagi Pemegang Saham Perseroan dan/atau pengurus Perseroan (dalam hal ini Direksi Perseroan berada dibawah pengawasan Dewan Komisaris Perseroan)[71].

Prinsip piercing the corporate veil pada dasarnya adalah suatu prinsip hukum yang berkembang dalam sistem hukum Common Law. Menurut Walter Woon sebagaimana dikutip oleh Ronald U.P. Sagala, dalam sistem hukum Common Law, terdapat 2 (dua) hal yang menjadi dasar hukum dalam menyingkap tabir tanggung jawab terbatas yaitu:

  1. The company is in fact not separate entity;
  2. The corporate form has been abused to further an improper purpose and not for a bonafide, usually commercial transaction.[72]

Jadi, dalam sistem hukum Common Law, 2 (dua) landasan hukum dalam menerobos cadar Perseroan Terbatas. Pertama, jika Perseroan Terbatas pada kenyatannya bukanlah entitas yang terpisah, maksudnya antara harta dan kepentingan Perseroan dengan harta dan kepentingan pendiri atau Pemegang Saham tidak terdapat pemisahan yang jelas. Kedua, jika Perseroan telah disalahgunakan, sehingga kegiatan Perseroan bukan lagi untuk kepentingan Perseroan, melainkan mengabdi kepada orang-orang yang berada di belakang Perseroan atau para pengendali Perseroan dengan maksud untuk mencapai keuntungan pribadi masing-masing atau kelompok orang-orang tersebut.

Dengan prinsip tanggung jawab terbatas, maka Perseroan sebagai badan hukum merupakan unit hukum (legal unit) dengan keewenangan dan kapasitas terpisah dari Pemegang Saham untuk menguasai kekayaan, membuat kontrak, menggugat dan digugat, melanjutkan eksistensi meskipun Pemegang Saham berubah dan Direksi berhenti atau diganti. Oleh karena itu, harta kekayaan, hak kepentingan, serta tanggung jawab Perseroan terpisah dari Pemegang Saham menurut hukum mempunyai immunitas (immunity) dari kewajiban dan tanggung jawab Perseroan, karena antara Pemegang Saham dengan Perseroan terdapat perbedaan (distinction), dan pemisahan (separation) personalitas hukum (legal personality).

Namun keterbatasan tanggung jawab dalam Perseroan Terbatas tidak berlaku mutlak, dalam hal-hal tertentu tanggung jawab ini dapat diterobos. Penerobosan atau penyingkapan tanggung jawab terbatas dalam Perseroan Terbatas dikenal dengan istilah “piercing the corporate veil”.


6. Pengaturan Piercing The Corporate Veil dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.

Sebagai badan hukum, keabsahan pendirian Perseroan Terbatas sangatlah penting. Pendirian Perseroan Terbatas dapat mengakibatkan hilangnya tanggung jawab terbatas dari Pemegang Saham sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadi (piercing the corporate veil) apabila pendirian Perseroan Terbatas tidak sah. Artinya, bila pendirian tidak sah, maka Pemegang Saham harus bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan Terbatas dan atas kerugian Perseroan Terbatas. Sehingga dengan demikian pendirian Perseroan Terbatas harus memenuhi syarat dan mekanisme pendirian Perseroan Terbatas yang diatur dalam regulasi di Indonesia[73].

Dalam ilmu hukum perusahaan, teori piercing the corporate veil merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat pada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh Perseroan pelaku tersebut. Dalam hal seperti ini Pengadilan akan mengabaikan status badan hukum dari perusahaan tersebut, serta membebankan tanggung jawab kepada pihak pribadi dan pelaku dari Perseroan tersebut, dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari Perseroan sebagai badan hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka.

Bahwa, pengakuan prinsip keterpisahan tanggung jawab antara perusahaan selaku badan hukum dan pemegang saham sebagai pribadi sudah merupakan hal yang berlaku umum dalam sistem hukum manapun. Dalam sistem hukum Indonesia, hal tersebut diakui secara tegas oleh Undang-Undang tentang Perseroan terbatas lewat Pasal 3 ayat (1)[74]. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa ketentuan tentang keterpisahan tanggung jawab hukum antara Perseroan dan pribadi Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tersebut lebih mempertegas ciri dari suatu Perseroan Terbatas dimana Pemegang Saham bertanggung jawab secara terbatas, yakni hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya[75].

Tidak selamanya limited liability dapat menjadi perisai bagi para Pemegang Saham dalam tanggung jawab atas kerugian Perseroan. Ketika Pemegang Saham berbuat dengan i’tikad tidak baik atau tindakan dari Pemegang Saham secara nyata baik langsung maupun tidak langsung merugikan Perseroan atau pihak ketiga, maka prinsip limited liability atas badan hukum demi hukum menjadi hilang atau disingkirkan atau ditembus dengan mengoyak tabir Perseroan tersebut dengan menggunakan doktrin piercing the corporate veil. Dengan kata lain, doktrin piercing the corporate veil ini “dalam hal-hal tertentu” ditujukan untuk membatasi berlakunya asas corporate separate legal personality, sehingga asas corporate separate legal personality tidak berlaku secara absolut (limitatif).

Hal ini senada sebagaimana menurut ketentuan Pasal 3 ayat (2) yang merupakan pengecualian atas ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memberikan ruang untuk memberlakukan doktrin piercing the corporate veil. Menurut Pasal 3 ayat (2) terdapat 4 (empat) hal yang merupakan pengecualian dari ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:

  1. Persyaratan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
  2. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung dengan i’tikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
  3. Pemegang Saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
  4. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Menurut Penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas tersebut apabila terbukti terjadi hal-hal yang disebutkan dalam ayat ini. Tanggung jawab Pemegang Saham sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya kemungkinan hapus apabila terbukti, antara lain terjadi pencampuran harta kekayaan pribadi Pemegang Saham dan harta kekayaan Perseroan sehingga Perseroan didirikan semata-mata sebagai alat untuk memenuhi tujuan pribadinya.

Selain itu, piercing the corporate veil dapat ditemukan pula pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 7 ayat (6) merupakan implikasi atau konsekuensi hukum yang harus ditanggung secara pribadi oleh Pemegang Saham (bukan atas nama Perseroan) menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, setelah Perseroan memperoleh status sebagai badan hukum dan Pemegang Saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut Pemegang Saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Disamping itu, menurut Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa, dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) telah dilampaui, Pemegang Saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, Pemegang Saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut. Menurut Penjelasan Pasal 7 ayat (6) tersebut, perikatan dan kerugian Perseroan yang menjadi tanggung jawab pribadi Pemegang Saham adalah perikatan dan kerugian yang terjadi setelah lewat waktu 6 (enam) bulan tersebut. Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan” adalah Kejaksaan untuk kepentingan umum, Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, Karyawan Perseroan, Kreditur, dan/atau pemangku kepentingan (stake holder) lainnya.

Selain dari ketentuan-ketentuan sebagaimana telah disebutkan di atas, menurut Munir Fuady, masih terdapat hal-hal lain yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi dibebankannya tanggung jawab hukum ke pundak Pemegang Saham meskipun tanggung jawab tersebut sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh suatu Perseroan Terbatas, yang notabene merupakan suatu badan hukum (legal entity). Ke dalam kelompok ini termasuk tindakan-tindakan dalam lima kategori sebagai berikut:[76]

  1. Tidak menyetor modal. Pemegang Saham tidak melaksanakan untuk menyetor modal, padhal setiap saham harus disetor penuh oleh Pemegang Sahamnya pada saat pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau pada saat saham dikeluarkan lebih lanjut lihat Pasal 33 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Apabila tindakan tersebutmerugikan perusahaan atau pihak ketiga, doktrin piercing the corporate veil layak diterapkan;
  2. Campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan Perseroan. Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan manakala terjadi pencampuradukan antara urusan Perseroan dengan urusan pribadi adalah:

a) Dana perusahaan digunakan untuk urusan pribadi;
b) Aset milik Perseroan diatasnamakan pribadi;
c) Pembayaran Perseroan dengan cek pribadi apa justifikasi yang jelas.

  1. Alter ego. Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan kepada Pemegang Saham manakala pihak Pemegang Saham terlalu dominan dalam kegiatan perusahaan melebihi dari peran Pemegang Saham yang sepantasnya. Dengan demikian, dalam hal ini perusahaan hanya berfungsi sebagai “instrumen” mencari untung pribadi dari pihak Pemegang Sahamnya. Dalam hal ini, Perseroan tersebut dikatakan sebagai alter ego (kadang-kadang disebut juga sebagai instrumentality, dummy, atau agent) dari Pemegang Saham yang bersangkutan. Hanya saja pemakaian kata “agent” disini kurang pada tempatnya. Sebab, jika dibilang bahwa Perseroan hanya merupakan agen mestinya mempunyai kewenangan untuk mengikat pihak prinsipal (Pemegang Saham) dengan pihak ketiga. Padahal, kewenangan tersebut tidak terdapat pada perusahaan meskipun perusahaan tersebut merupakan alter ego atau instrumen dari Pemegang Sahamnya.
  2. Jaminan pribadi dari Pemegang Saham. Apabila pihak Pemegang Saham memberikan jaminan pribadi bagi kontrak-kontrak atau atau bisnis yang dibuat oleh perusahaannya, berarti pihak Pemegang Saham memang menginginkan untuk dibebankan tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan oleh Perseroan tersebut. Dengan sendrinya, pihak Pemegang Saham ikut bertanggung jawab manakala adanya gugatan dari pihak ketiga atas kerugian yang terbit dari kegiatan yang digaransi tersebut. Kapan dan sejauh mana pihak Pemegang Saham bertanggung jawab, bergantung pada isi dari perjanjian jaminan garansi tersebut. Ini adalah salah satu contoh penerapan doktrin piercing the corporate veil secara kontraktual.
  3. Permodalan yang tidak layak. Permodalan yang tidak layak misalnya, modalnya terlalu kecil, padahal bisnis perusahaan adalah besar. Karena kewajiban Pemegang Sahamlah yang harus menyetor tambahan modal dan ketidaklayakan permodalan ini menimbulkan suatu transfer tanggung jawab dari Pemegang Saham kepada pihak kreditur. Ini sama sekali tidak fair. Namun, selain Pemegang Saham yang bertanggung jawab, sampai batas-batas tertentu, pihak Direksi juga dapat dimintai tanggung jawabnya dalam hal ini.


7. Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas lahir di era globalisasi. Oleh karena itu, wajar apabila berbagai doktrin mempengaruhi substansi dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, termasuk doktrin dari Common Law System. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam pembahasan tanggung jawab Direksi Perseroan Terbatas akan dikaitkan dengan doktrin-doktrin hukum, terutama yang telah diwujudkan dalam pasal-pasal pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Badan hukum sebagai subyek hukum yang memiliki hubungan hukum dengan subyek hukum lainnya, maka apabila terjadi dispute, tuntutan hukum dapat dialamatkan kepada badan hukum lainnya. Sekalipun dalam bertindak badan hukum tersebut diwakili oleh Direksinya, tetapi hubungan hukum tersebut tetap merupakan hubungan hukum antara subyek hukum. Namun demkian, Direksi yang merupakan salah satu organ Perseroan dari badan hukum itu mempunyai hubungan dan tanggung jawab hukum secara internal dalam Perseroan. Hubungan dan tanggung jawab secara internal dalam Perseroan adalah hubungan hukum antara Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan Komisaris, dan Direksi.

Secara internal, Perseroan Terbatas sebagai badan hukum mempunyai hubungan hukum yang tercipta berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Anggaran dasar Perseroan;
  3. Doktrin hukum yang berlaku umum dan universal.[77]

Hubungan hukum secara internal tersebut membatasi kesewenang-wenangan Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi yang sekaligus meletakkan tanggung jawab masing-masing. Hal-hal tersebut memberikan arah terhadap apa yang diperintahkan (imperare), apa yang dilarang (prohibire), serta apa yang diperbolehkan (permittere) kepada Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi.

Berkaitan dengan tanggung jawab dan hubungan hukum secara internal Perseroan tersebut, terdapat beberapa doktrin hukum penting dalam hukum perusahaan (corporate law). Doktrin hukum ini sangat erat kaitannya dengan pertanggungjawaban hukum Para Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi. Doktrin hukum ini dapat digunakan, baik untuk membuat suatu peraturan hukum Perseroan yang lebih komprehensif dengan mengacu pada doktrin hukum yang berlaku secara universal, juga sekaligus sebagai peringatan kepada Para Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi dalam menjalankan usaha dan kepada berbagai pihak untuk memanfaatkan doktrin hukum ini dalam menegakkan hak dan keadilan.

Chatamarrasjid Ais mengatakan bahwa, apabila terbukti bahwa telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi Pemegang Saham dan harta kekayaan Perseroan, sehingga Perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan Pemegang Saham untuk memenuhi tujuan pribadinya. Dalam keadaan demikian, maka Para Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi yang telah melakukan perbuatan tersebut, yang bersangkutan berdasarkan prinsip di atas harus bertanggung jawab sampai dengan harta pribadinya dan/atau bertanggung jawab pribadinya sendiri, baik secara pidana maupun perdata. Oleh karena itu, secara luas dapat diartikan bahwa termasuk pelanggaran doktrin piercing the corporate veil, apabila seperti berikut ini:[78]

  1. Direksi tidak melakukan prosedur hukum dalam proses pendirian Perseroan sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan, yaitu Direksi tidak melakukan permintaan pengesahan/persetujuan/pelaporan, pendaftaran dan pengumuman sebagaimana diatur menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
  2. Pemegang Saham bertanggung jawab sampai harta pribadi, jika melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, juga pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (6), Pasal 12, dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:
  3. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum, belum atau tidak terpenuhi;
  4. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan i’tikad buruk memanfaatkan Perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
  5. Pemegang Saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan;
  6. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan;
  7. Setelah Perseroan disahkan, Pemegang Saham kurang dari 2 (dua) orang dan dalam waktu 6 (enam) bulan setelah itu, Pemegang Saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, maka Pemegang Saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian Perseroan, dan atas permohonan dari pihak-pihak yang berkepentingan, maka Pengadilan Negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut;
  8. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri untuk kepentingan Perseroan sebelum memperoleh status badan hukum, tetapi perbuatan hukum tersebut oleh Perseroan: Pertama, tidak secara tegas dinyatakan diterima semua perjanjian yang dibuat oleh pendiri atau orang lain yang ditugaskan pendiri dengan pihak ketiga. Kedua, tidak menyatakan mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang dibuat pendiri atau orang lain yang diberi kuasa oleh pendiri, walaupun perjanjian tidak dilakukan atas nama Perseroan. Ketiga, tidak mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang dilakukan atas nama Perseroan. Kewenangan Perseroan mengukuhkan perbuatan hukum tersebut berada pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) belum dapat diselenggarakan maka pengukuhan dilakukan oleh seluruh pendiri, Pemegang Saham dan Direksi. Selama belum dikukuhkan, baik karena Perseroan tidak jadi didirikan atau disahkan atau karena Perseroan tidak melakukan pengukuhan, maka Perseroan tidak terikat;
  9. Perolehan saham yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur menurut Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menentukan bahwa, Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas semua kerugian yang diderita oleh Pemegang Saham yang beritikad baik, yang timbul akibat batal demi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
  10. Dokumen perhitungan tahunan/laporan keuangan yang disediakan tidak benar atau menyesatkan sebagaimana diatur menurut Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu dalam hal dokumen perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak benar atau menyesatkan, anggota Direksi dan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng kepada pihak yang dirugikan;
  11. Direksi tidak meelaksanakan fiduciary duty yang diberikan oleh Perseroan apabila melanggar ketentuan Pasal 92 ayat (1) dan (2) sebagaimana diatur menurut Pasal 92 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
  12. Dalam hal kepailitan yang diakibatkan oleh kesalahan Direksi, sebagaimana diatur menurut Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan bahwa, dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut;
  13. Komisaris telah melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan i’tikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi, untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

Tanggung jawab Perseroan Terbatas pada prinsipnya sebatas atas harta kekayaan yang ada dalam Perseroan Terbatas tersebut. Oleh karenanya disebut “terbatas” (limited), yaitu terbatas dari segi tanggung jawabanya. Dengan demikian, para Pemegang Saham, Dewan Komisaris, dan Anggota Direksi pada prinsipnya tidak boleh disita. Namun, pertanggungjawaban terbatas tersebut tidaklah berlaku absolut (mutlak) karena dibatasi dan/atau diterobos oleh adanya doktrin piercing the corporate veil. Penerapan piercing the corporate veil ke dalam tindakan Perseroan Terbatas menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dibebankan kepada Perseroan Hukum sebagai sebuah subyek hukum yang berbentuk badan hukum, melainkan juga pertanggungjawaban hukumnya juga dapat dibebankan kepada Pemegang Sahamnya, bahkan dalam perkembangannya penerapan doktrin piercing the corporate veil juga dapat membebankan tanggung jawab hukum kepada anggota Direksi maupun Dewan Komisaris.

Penerapan doktrin piercing the corporate veil dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ini masih sangat sulit untuk diungkap. Perlu pemahaman yang mendalam untuk menggali makna dan menyelaraskan dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, baik norma maupun asas-asas hukumya. Terlebih Indonesia menganut sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental) yang mana dalam penegakan hukumnya lebih cenderung pada positivisime hukum. Sedangkan, doktrin piercing the corporate veil ini bersumber pada sistem hukum Anglo Saxon (Common Law). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam batas-batas tertentu masih mengakui berlakunya doktrin piercing the corporate veil, sungguhpun pengaturannya sangat sederhana, namun tidaklah semua praktisi maupun penegak hukum mampu menerapkannya.

 


Endnotes
(Daftar Bacaan dan Referensi)

 

[1] Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, Penerbit: PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm. 345.

[2] Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Penerbit: PT. Eresco, Bandung, 1993, hlm. 2.

[3] Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Penerbit: PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm. 47.

[4] Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), terdapat beberapa Pasal yang secara implisit menerangkan bahwa Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum, yaitu antara lain diatur di Pasal 40 ayat (2) yang berbunyi “para pemegang saham tidak bertanggung jawab untuk lebih dari jumlah saham-saham itu”, dan Pasal 45 ayat (1) yang berbunyi, “tanggung jawab para pengurus adalah tak lebih dari daripada untuk menunaikan tugas yang diberikan kepada mereka dengan sebaik-baiknya; merekapun karena segala perikatan dari Perseroan, dengan diri sendiri tidak terikat kepada pihak ketiga”.

[5] CST Kansil dan Christine ST Kansil, Pokok-Pokok Hukum PT Tahun 1995, Penerbit: PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hlm. 30.

[6] I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Cetakan Ke-7, Penerbit: Kesaint Blanc, Bekasi, 2007, hlm. 142.

[7] Munir Fuady (1), “Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia”, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 3.

[8] Ibid., hlm. 3-5.

[9] Dikutip dari ketentuan norma yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (6) juncto Pasal 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[10] Dikutip dari ketentuan norma yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (4) juncto Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[11] Dikutip dari ketentuan norma yang terkandung dalam Pasal 114 juncto Pasal 116 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[12] Dikutip dari ketentuan norma yang terkandung dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[13] Dikutip dari ketentuan norma yang terkandug dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[14] Tuti Rastuti, “Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan”, Penerbit: PT. Refika Aditama, Bandung, 2015, hlm. 133.

[15] M. Yahya Harahap, “Hukum Perseroan Terbatas”, Penerbit: PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 73.

[16] Ali Ridho, “Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit: Alumni, Bandung, 1986, hlm. 17.

[17] Ibid.

[18] Rudhi Prasetya, “Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas”, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 17.

[19] Simon Fisher, et.al., “Corporation Law”, Butterworths, Australia, 2001, hlm. 102., sebagaimana dikutip oleh Ridwan Khairandy, “Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia”, Cetakan Pertama, Penerbit: FH UII Press, 2013, hlm. 94.

[20] Ridwan Khairandy, Ibid.

[21] Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan berkenaan dengan hak pemegang saham untuk memperoleh keterangan berkaitan dengan mata acara rapat dengan tidak mengurangi hak pemegang saham untuk mendapatkan keterangan lainnya berkaitan dengan hak pemegang saham yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain hak pemegang saham untuk melihat daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4), serta hak pemegang saham untuk mendapatkan bahan-bahan rapat segera setelah RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4). (Lihat Penjelasan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

[22] Munir Fuady (2), “Perlindungan Pemegang Saham Minoritas”, Penerbit: CV. Utomo, Bandung, 2005, hlm. 126-127, sebagaimana dikutip oleh Ridwan Khairandy, Op.Cit., hlm. 95.

[23] Lihat Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[24] Lihat Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[25] Lihat Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[26] Lihat Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[27] Lihat Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[28] Lihat Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[29] Lihat Pasal 69 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[30] Lihat Pasal 71 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[31] Lihat Pasal 94, Pasal 105, dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[32] Lihat Pasal 127 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[33] Lihat Pasal 142 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[34] Lihat Pasal 98 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[35] Lihat Pasal 99 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[36] Lihat Pasal 103 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[37] Ketentuan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa “Direksi dapat memberi kuasa secara tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa”. Menurut Penjelasan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, “Yang dimaksud “kuasa” adalah kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa”. Frasa “atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu” dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dapat dimaknai apabila suatu Perseroan mengalami sengketa hukum dengan pihak ketiga baik di dalam maupun di luar pengadilan, maka dalam hal ini Direksi dapat menunjuk Advokat (Corporate Lawyer) yang menjalin rekanan dengan Perseroan serta sebagaimana terkait kompetensi dan keahliannya dianggap mampu menyelesaikan sengketa hukum tersebut, Direksi dapat memberikan surat kuasa khusus kapada Advokat yang bersangkutan dalam hal melakukan perbuatan hukum, mewakili, serta bertindak untuk dan atas nama Perseroan.

[38] Ridwan Khairandy, Op.Cit., hlm. 105.

[39] Ibid.

[40] Ibid., hlm. 105-106.

[41] Lihat Simon Fisher, et.al., “Corporation Law”, Butterworths, Australia, 2001, hlm. 136., dan Bambang Kesowo, “Fiduciary Duties Direksi Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995”, Newsletter, No. 23/VI/Desember 1995, hlm. 1. (dalam Ridwan Khairandy, Ibid., hlm. 106.)

[42] Munir Fuady (1), “Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia”, Op.Cit., hlm. 30.

[43] Ibid., hlm. 30-31.

[44] Ridwan Khairandy, Op.Cit., hlm. 107-108.

[45] Ibid., hlm. 128.

[46] Munir Fuady, “Perlindungan Pemegang Saham Minoritas”, Penerbit: CV. Utomo, Bandung, 2005, hlm. 76., sebagaimana dikutip oleh Ridwan Khairandy, Ibid., hlm. 129.

[47] Munir Fuady (3), “Perseroan Terbatas dalam Paradigma Baru”, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 107.

[48] Lihat Penjelasan Pasal 108 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[49] I. Nyoman Tjager, dkk., “Corporate Governance, Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia”, Prenhallindo, 2003, hlm. 113.

[50] Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, “Penerapan Good Corporate Governance Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha”, Penerbit: Prenada Media Group dan LK PMK FH UI, hlm. 19.

[51] Ibid., hlm. 20

[52] Ibid.

[53] Rudhy Prasetya, “Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995”, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 3.

[54] Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Op.Cit., hlm. 22.

[55] Ibid. hlm. 21.

[56] Ibid, hlm. 23.

[57] Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[58] Udin Sialalahi, “Badan Hukum dan Organisasi Perusahaan”, Badan Penerbit Iblam, 2005, hlm. 26.

[59] Yang dimaksud dengan “Persero” adalah Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perseroan yang modalnya terbagi dalam saham yang diatur dalam Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara. (Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (7) huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

[60] Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (7) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[61] I.G. Rai Widjaya, Op.Cit., hlm. 154.

[62] Ahmad M. Ramli, “Status Perusahaan dalam Hukum Perdata Internasional (Teori dan Praktek)”, Penerbit: CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 37.

[63] Munir Fuady (1), “Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia”, Op.Cit., hlm. 1.

[64] Ibid., hlm. 7.

[65] Ibid., hlm. 7-8.

[66] Munir Fuady (4), “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, Buku Ketiga, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 7.

[67] Black’ Law Dictionary, Seventh Edition, Bryan A. Garner editor in Chief St. Paul Minn, 1999.

[68] Diakses melalui situs: http://en.wikipedia.org/wiki/Piercing_the_corporate_veil, pada 31 Desember 2018.

[69] Diakses melalui situs http://en.wikipedia.org/wiki/Piercing_the_corporate_veil, pada 01 Januari 2019.

[70] Ibid.

[71] Gunawan Widjaja, “Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT”, Penerbit: Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hlm. 27-28.

[72] Ronald U.P. Sagala, “Tanggung Jawab Terbatas Pemegang Saham Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas”, Penerbit: UI, Jakarta, 2010, hlm. 37.

[73] Jandi Mukianto, “Pendirian, Pengurusan, dan Pengawasan Perseroan Terbatas  di Indonesia, WIEM – Registered Indonesian Legal Consultant, 2014, hlm. 3.

[74] Munir Fuady, “Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia”, Op.Cit., hlm. 6.

[75] Ibid.

[76] Ibid, hlm. 20-22.

[77] Tri Widiyono, “Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Perseroan), Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan Doktrin Hukum dan UUPT”, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 30.

[78] Chatamarrasjid Ais, “Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan”, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 4.

Featured

PRANATA JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

hukum-jaminan1). Definisi Hukum Jaminan

Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidestelling atau security of law. Menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, mengemukakan bahwa hukum jaminan adalah:

“Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan memberikan fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah, besar, dengan jangka waktu yang lama, dan bunga yang relatif rendah.”

Pernyataan ini merupakan sebuah konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan di masa yang akan datang. Saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan. J. Satrio mengartikan hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. Definisi ini difokuskan pada pengaturan pada hak-hak kreditur semata-mata, tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitur. Dari berbagai kelemahan definisi-definisi tersebut, maka definisi-definisi tersebut perlu dilengkapi dan disempurnakan, bahwa hukum jaminan adalah:

“Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubunagan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.”

Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi ini adalah:

  1. Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis;
  2. Adanya penerima dan pemberi jaminan. Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan (debitur). Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan (orang atau badan hukum). Badan hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan non bank;
  3. Adanya jaminan. Jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan immateriil. Jaminan materiil adalah jaminan berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan jaminan atas benda-benda tidak bergerak. Jaminan immateriil merupakan jaminan non kebendaan;
  4. Adanya fasilitas kredit. Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan non bank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya.


2). Asas-Asas Jaminan

Untuk memantapkan keyakinan kreditur bahwa debitur akan secara nyata mengembalikan pinjamannya setelah jangka waktu pinjaman berakhir, dalam hukum terdapat beberapa asas. Asas tersebut menyangkut jaminan. Secara normatif sarana perlindungan bagi kreditur tercantum dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, Burgerlijk Wetboek atau yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah memberikan sarana perlindungan bagi para kreditur seperti yang diatur dalam Pasal 1131 dan 1132. Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek menentukan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1132 Burgerlijk Wetboek ditentukan pula bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu besar kecil piutang masing-masing, kecuali apabila diantara berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.Terdapat 2 (dua) asas yang penting dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang terkait dengan hukum jaminan, asas yang pertama menentukan, apabila debitur ternyata pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditur karena suatu alasan tertentu, maka harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi agunan atau jaminan utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dituangkan dalam Pasal 1131 yang berbunyi:

“Segala harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan debitur.”

Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tersebut menentukan, harta kekayaan debitur bukan hanya untuk menjamin kewajiban untuk melunasi utang kepada kreditur yang diperoleh dari perjanjian utang-piutang diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitur. Sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perikatan (antara debitur dan kreditur) timbul atau lahir karena adanya perjanjian diantara debitur dengan kreditur maupun timbul atau lahir karena adanya perjanjian antara debitur dengan kreditur atau lahir karena ketentuan undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), wujud perikatan adalah “untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Dalam istilah hukum, perikatan dalam wujudnya yang demikian itu disebut pula dengan istilah “prestasi”. Pihak yang tidak melaksanakan prestasinya disebut “wanprestasi”. Apabila perikatan itu timbul karena perjanjian yang dibuat diantara debitur dan kreditur, maka pihak yang tidak melaksanakan prestasinya disebut sebagai telah melakukan cidera janji atau ingkar janji atau dalam bahasa Inggris disebut in default.

Ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) merupakan jaminan secara umum atau jaminan yang timbul atau lahir dari undang-undang. Undang-undang memberikan perlindungan bagi semua kreditur dalam kedudukan yang sama atau disini berlaku asas paritas creditorium bahwa pembayaran atau pelunasan utang kepada para kreditur dilakukan secara berimbang (ponds-ponds gewijs). Dengan demikian, para kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren yang bersaing dalam pemenuhan piutangnya, kecuali ada alasan yang memberikan kedudukan preferen (droit de preference) kepada para kreditur tersebut.

Oleh karena Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, semua harta kekayaan (aset) debitur menjadi agunan bagi pelaksanaan kewajibannya bukan kepada kreditur tertentu saja tetapi juga semua kreditur lainnya, maka perlu ada aturan main tentang cara membagi aset debitur tersebut kepada para krediturnya apabila aset itu dijual karena tidak dapat membayar utang-utangnya. Aturan main itu ditentukan oleh Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ini merupakan asas kedua yang menyangkut jaminan. Bunyi Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) adalah sebagai berikut:

“Harta kekayaan debitur menjadi agunan bersama-sama bagi semua krediturnya; hasil penjualan harta kekayaan itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut perbandingan besar-kecilnya tagihan masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara para kreditur itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur lainnya.”

Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tersebut mengisyarat-kan bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali ditentu-kan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya. Dengan adanya kalimat dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang berbunyi “kecuali apabila diantara para kreditur itu terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur lainnya”, maka terdapat kreditur-kredi-tur tertentu diberi kedudukan hukum lebih tinggi daripada kreditur lainnya. Dalam hukum, kreditur-kreditur tertentu yang didahulukan itu disebut “kreditur-kreditur preferen atau secured creditors“, sedangkan kreditur-kreditur lainnya itu disebut “kreditur-kreditur konkuren atau unsecured creditors“.Adapun mengenai asas-asas hukum jaminan selain yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka perlu diperhatikan pula 5 (lima) asas-asas penting yang berkaitan dengan jaminan kebendaan yaitu sebagai berikut:

  1. Asas publisitas, yaitu suatu asas yang menentukan bahwa semua hak-hak atas jaminan kebendaan, baik hak tanggungan, hak jaminan fidusia, dan hak hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan agar pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Misalnya, pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, pendaftaran jaminan fidusia di Kantor Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di kantor wilayah tiap-tiap propinsi, sedangkan pendaftaran jaminan hipotek kapal laut didaftarkan di Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Syah Bandar);
  2. Asas spesialitas, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hak hipotek hanya dapat dibebankan atas persil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang atau subyek hukum tertentu;
  3. Asas tidak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya utang tidak dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai meskipun telah dilakukan pembayaran sebagian;
  4. Asas inbezitstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai;
  5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.


3).
Sumber Hukum Jaminan

Sumber hukum jaminan secara tertulis tidak terbatas sebagaimana yang telah diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), akan tetapi diatur juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai jaminan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Seiring dengan adanya perkembangan hukum di Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai hukum jaminan, maka beberapa ketentuan-ketentuan yang mengatur jaminan dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sudah tidak berlaku lagi. Sumber hukum jaminan pada Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) adalah terbatas mengatur mengenai gadai dan hipotek, sedangkan hipotek atas tanah sudah tidak berlaku lagi sejak diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tersebut mengatur mengenai piutang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan hipotek. Secara rinci ketentuan-ketentuan hukum jaminan baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang secara khusus mengatur tentang jaminan adalah sebagai berikut:

Pengaturan Jaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek):

  1. Bab XIX Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tentang Piutang-Piutang Yang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149); Bagian Kesatu tentang Piutang-Piutang Yang Diistimewakan Pada Umumnya (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138); Bagian Kedua tentang Hak-Hak Istimewa mengenai Benda-Benda Tertentu (Pasal 1139 sampai dengan Pasal 1148); Bagian Ketiga atas Semua Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak Pada Umumnya (Pasal 1149);
  2. Bab XX Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160); Pengertian Gadai (Pasal 1150); Perjanjian Gadai (Pasal 1151); Hak-hak Para Pihak atas Jaminan Gadai (Pasal 1152 sampai dengan Pasal 1156); Kewajiban Para Pihak atas Jaminan Gadai (Pasal 1154 dan Pasal 1155); Wanprestasi (Pasal 1156); Tanggung Jawab Para Pihak (Pasal 1157); Bunga atas Jaminan Gadai (Pasal 1158); Berakhirnya Jaminan Gadai (Pasal 1159 dan Pasal 1160);
  3. Bab XXI Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan 1132); Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum (Pasal 1162 sampai dengan 1178); Bagian Kedua tentang Pembukuan-Pembukuan Hipotek Serta Bentuk Cara Pembukuannya (Pasal 1179 sampai dengan 1194); Bagian Ketiga tentang Pencoretan Pembukuan (Pasal 1195 sampai dengan Pasal 1197); Bagian Keempat tentang Akibat-Akibat Hipotek Terhadap Orang Ketiga Yang Menguasai Benda Yang Dibebani (Pasal 1198 sampai dengan Pasal 1208); Bagian Kelima tentang Hapusnya Hipotek (Pasal 1209 sampai dengan 1220); Bagian Keenam tentang Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek, Tanggung Jawab Pegawai-Pegawai Yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek dan Hal Diketahuinya Register-Register Oleh Masyarakat (Pasal 1221 sampai dengan Pasal 1232).

Pengaturan Jaminan yang diatur diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek):

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, pasal-pasal yang terkait dengan Jaminan Hipotek kapal laut, yaitu Pasal 314 sampai dengan Pasal 316 KUHD;
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, ketentuan yang erat dengan jaminan adalah Pasal 51 dan 57;
  3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
  4. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
  5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Pasal 49: (1) Kapal yang telah didaftarkan dapat dibebani Hipotek; (2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.


4).
Jenis-Jenis Jaminan

Jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu jaminan perorangan (personal atau corporate guarantee) yang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan 1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin dengan harta kekayaan seseorang lewat orang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si kreditur mengikatkan diri untuk perikatannya si debitur manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya. Sedangkan jaminan kebendaan mempunyai diatas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sri Soedewi Masjhoen memberikan pengertian jaminan kebendaan yaitu jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya.Jaminan kebendaan digolongkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu:

  1. Gadai (Pand), yaitu jaminan pelunasan utang yang berupa benda-benda bergerak milik debitur yang dipegang oleh kreditur;
  2. Hipotek (Hypotheek) atas kapal laut terdaftar, dalam kapal laut tersebut menjadi benda jaminan pelunasan utang debitur kepada kreditur;
  3. Hak Tanggungan atas Tanah, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu ketentuan dengan tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditur lain. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang dimaksud dengan Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain;
  4. Fidusia atau Jaminan Fidusia, yaitu agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (zakelijke zekerheidsecurity right in rem) yang memberikan kedudukan yang didahulukan penerima fidusia. Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya, hak yang bersifat persoonlijk (perorangan) bagi kreditur. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia). Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia);

Jaminan Perorangan (immateriil) adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan pihak ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang atau debitur. Yang termasuk jaminan perorangan adalah:

    1. Penanggungan Utang (Borgtoght), menurut Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang mana hak orang tersebut tidak memenuhinya. Dari ketentuan pasal tersebut maka beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: Penanggungan utang merupakan suatu perjanjian, borgt/penjamin adalah pihak ketiga, penanggungan diberikan untuk kepentingan kreditur, borgt mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur apabila debitur wanprestasi, ada perjanjian bersyarat. Penanggungan merupakan jaminan yang diberikan guarantor kepada kreditur untuk melunasi kewajiban dari debitur dalam hal debitur ingkar janji (wanprestasi) dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Contoh: Bank Garansi (Guarantee Bank);
    2. Perjanjian Garansi (Perjanjian Indemnity), dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditegaskan bahwa, seseorang boleh seorang boleh menanggung pihak ketiga, dan menjanjikan bahwa pihak ketiga ini tidak mengurangi tuntutan ganti rugi terhadap penanggung atau orang yang berjanji itu, jika pihak ketiga menolak untuk memenuhi perjanjian itu. Perjanjian Garansi (Perjanjian Indemnity) adalah jaminan yang bersifat indemnitas, dimana pemberi jaminan (guarantor) menjamin bahwa seorang pihak ketiga akan berbuat sesuatu yang biasanya tetapi tidak selalu dan harus berupa tindakan menutup suatu perjanjian tertentu. Perjanjian Indemnity juga dapat diartikan bahwa penjamin diposisikan sama sebagai principal debitur yang secara tanggung renteng menyelesaikan kewajiban kepada kreditur (obligee). Perjanjian Indemnity diaplikasikan salah satunya dalam bentuk produk inovatif yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi yang bernama Surety Bond;
    3. Tanggung Menanggung (Tanggung Renteng), dalam Pasal 1278 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan suatu perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng terjadi antara beberapa kreditur, jika dalam bukti persetujuan secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang, sedangkan pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang diantara mereka, membebaskan debitur, meskipun perikatan itu menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi antara para kreditur tadi. Perikatan tanggung renteng/tanggung menanggung adalah suatu perikatan dimana beberapa orang secara bersama-sama sebagai pihak berutang (debitur) berhadapan dengan satu orang kreditur, manakala salah satu debitur itu telah membayar utangnya pada kreditur, maka pembayaran itu akan membebaskan teman-teman yang lain dari utang. Tanggung renteng didefinisikan sebagai tanggung jawab bersama diantara anggota dalam satu kelompok atas segala kewajiban terhadap koperasi dengan dasar keterbukaan dan saling mempercayai.

 

Audiensi Ketua dan Pengurus DPC PERADI Surabaya dengan Panglima Komando Armada II TNI AL Surabaya beserta Jajarannya

Pada hari Senin, tanggal 07 Agustus 2023, Ketua dan Pengurus DPC PERADI Surabaya melaksanakan Audiensi dengan Panglima Koarmada II TNI AL Surabaya beserta Jajarannya.

Dalam kegiatan tersebut, Panglima Koarmada II Laksamana Muda TNI Maman Firmansyah, Inspektur Koarmada II Laksamana Muda Eriyawan, SE, MA., Kepala Dinas Hukum Koarmada II Kolonel Laut Yopi Roberti Riry, S.H., M.H. beserta jajaranya menyambut dengan baik kedatangan Ketua DPC PERADI Surabaya, Hariyanto, S.H., M.Hum., Wakil Ketua DPC PERADI Surabaya Dr. Anner Mangatur Sianipar, S.H., M.H., Komisi Pengawas DPC PERADI Surabaya (Kolonel Laut TNI AL (Purn)) Bahrunsyah Bsc., S.H., Sekretaris DPC PERADI Surabaya Dr. Zamroni, S.H., M.H. beserta Pengurus DPC PERADI Surabaya lainnya di Markas Komando Armada II TNI AL Surabaya.

Adapun maksud dan tujuan dari adanya Kunjungan oleh Ketua DPC PERADI Surabaya beserta Pengurus DPC PERADI Surabaya tersebut guna melakukan Audiensi yang diawali dengan maksud menjalin sillaturahmi dan sinergitas antar lembaga dan institusi negara. Selain itu, DPC PERADI Surabaya juga perlu berbagi pengetahuan (sharing knowledge) dan berkolaborasi dengan Komando Armada II TNI AL Surabaya di bidang hukum tertentu, seperti Hukum Acara Militer, Hukum Maritim, Hukun Humaniter, dan aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh Anggota-Anggota (Oknum) Militer yang dinilai dapat merugikan masyarakat dan negara, termasuk juga Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pertemuan kegiatan Audiensi tersebut, Panglima Koarmada II TNI AL Surabaya Laksamana Muda Maman Firmansyah membuka peluang untuk bekerjasama dengan Pengurus DPC PERADI Surabaya dalam jangka waktu ke depan untuk menyelenggarakan kegiatan seperti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan atas kerjasama dengan Universitas yang terafiliasi dengan TNI AL yang pengajarnya dapat diperbantukan dari Bagian Hukum (Dinas Hukum) Koarmada II Surabaya. Disamping itu, beliau juga memberikan peluang bagi Advokat (Perhimpunan Advokat Indonesia) di wilayah surabaya dan sekitarnya untuk bekerjasama dengan Koarmada II TNI AL Surabaya dalam hal pemberian bantuan hukum dan pendampingan hukum bagi anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran hukum (dalam proses hukum) apabila diperlukan selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku/regulasi yang berlaku.

Poin penting dalam agenda Audiensi tersebut yang disampaikan pula oleh Pangkoarmada II TNI AL Surabaya mengenai kerjasama dengan DPC PERADI Surabaya untuk melaksanakan penyuluhan hukum guna membangkitkan kesadaran hukum bagi seluruh lapisan elemen masyarakat mengenai pentingnya menjaga marwah penegakan hukum guna menunjang stabilitas keamanan negara di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kegiatan Audiensi tersebut ditutup dengan Penandatanganan Berita Acara Audiensi oleh Ketua DPC PERADI Surabaya, Hariyanto, S.H., M.Hum. dengan Pangkoarmada II TNI AL Surabaya, Laksamana Muda Maman Firmansyah berikut dengan penyerahan Cinderamata dari DPC PERADI Surabaya dan Komado Armada II TNI AL Surabaya.

(Notulensi dan Dokumentasi oleh:
Achmad Nizam, S.H. & Andrew Ade Nugraha, S.H. – Pengurus Bidang Hubungan Masyarakat dan Publikasi DPC PERADI Surabaya).

Manaqib Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan Ba’Alawi Al-Husaini

Telah menceritakan kepada kami [Abu An-Nadhir] berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad] yaitu Ibnu Thalhah- dari [Al- A’masy] dari [’Athiyyah Al-’Aufi] dari [Abû Sa’îd Al-Khudri] dari Rasulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Beliau bersabda: “Sungguh hampir saja aku dipanggil dan aku menjawabnya, dan aku telah tinggalkan untuk kalian dua perkara; kitabullah ’Azza Wajalla dan Itrahku, kitabullah adalah tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi, dan Itrahku dari ahli baytku, dan Allah telah mengabarkan kepadaku bahwa keduanya tidak akan berpisah hingga mereka berkumpul di telaga, maka perhatikanlah aku, kenapa kalian menyelisihi keduanya?.” (HR. Ahmad)

Hadist Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Hadist No. 10707.

Ibnu Hâjar Al-Asqâlani meriwayatkan bahwa Rasûlullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Bersabda: “Semua nasab akan terputus, kecuali nasabku, dan sebabku atau periparan denganku”.

Ibn Hâjar Al-Asqalani, Talkhîs Al-Khabîr, Volume 3, hlm. 143.

Silsilah Nasab Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan

Sayyidina wa Maulana Rasulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menikah dengan Sayyidatuna Khadijah ‘Ummul Mukminin Binti Khuwailid, wafat di Madinah 12 Rabiul Awwal 11 H, memiliki anak, yaitu: Sayyidatuna Fatimah Az-Zahra Al-Batul, menikah dengan Al-Imam Sayyidina Ali Karomallahu Wajhah bin Abi Thalib, wafat di Madinah 634 M, memiliki anak, yaitu: Al-Imam Sayyidina Husain, menikah dengan Syaharbanu (Putri Kaisar Yazdigird, Kaisar terakhir Sasaniyah, Persia), Wafat di Karbala Iraq 64 H/680 M, memiliki anak, yaitu: Al-Imam As-Sayyid Ali Zainal Abidin, menikah dengan Syarifah Fathimah Binti Al-Imam Sayyidina Hasan bin Ali Karomallahu Wajhah Bin Abi Thalib, Wafat di Baqi’ Madinah 93 H/713 M, memiliki anak yaitu: Al-Imam As-Sayyid Muhammad Al-Baqir, menikah dengan Ummu Farwah Binti Qasim Bin Muhammad Bin Al-Imam Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, Wafat di Baqi’ Madinah 114 H/731 M, memiliki anak, yaitu: Al-Imam As-Sayyid Ja’far ash-Shadiq, menikah dengan Syarifah Fathimah Binti As-Sayyid Husain Bin Al-Imam As-Sayyid Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Sayyidina Husain bin Al-Imam Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah Bin Abi Thalib, Wafat di Baqi’ Madinah 148 H/765 M, memiliki anak, yaitu: Al-Imam As-Sayyid Ali Al-Uraidhi, menikah dengan Ummu Walad, Wafat di Al-‘Uraidh Madinah 210 H, memiliki anak, yaitu: Al-Imam As-Sayyid Muhammad An-Naqib, menikah dengan Ummu Isa, wafat di Bashrah, Tahun 243 H, memiliki anak, yaitu: Al-Imam As-Sayyid Isa Ar-Rumi Al-Azraq, menikah dengan Ummu Ahmad, wafat di Bashrah (Iraq), Tahun 298 H, memiliki anak, yaitu: Al-Imam As-Sayyid Ahmad Al-Muhajir, menikah dengan Zainab binti As-Sayyid Abdullah Bin As-Sayyid Hasan bin As-Sayyid Ali Al-Uraidhi, wafat di Hasys, Yaman, Tahun 345 H, memiliki anak yaitu: Al-Imam As-Sayyid Ubaidillah, menikah dengan Ummul Banin Binti Muhammad bin Isa bin Muhammad Bin Al-Imam As-Sayyid Ali Al-Uraidhi, wafat di Sumal, Yaman, Tahun 383 H, memiliki anak yaitu: Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi Al-Mubtakir, menikah dengan Ummu Muhammad, Wafat di Hadramaut Yaman 400 H, memiliki anak yaitu: Al-Imam As-Sayyid Muhammad, menikah dengan Ummu ‘Alawi, Wafat di Bayt Jubair, Yaman 446 H, memiliki anak, yaitu: Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi Baytu Jubair, menikah dengan Ummu Ali, Wafat di Bayt Jubair Yaman 512 H, memiliki anak, yaitu: Al-Imam As-Sayyid Ali Khali’ Qasam, menikah dengan Ummu Muhammad, Wafat di Tarim Yaman 529 H, memiliki anak, yaitu: Al-Imam As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath, menikah dengan Ummu Banin, wafat di Marbath, Wafat di Oman Tahun 556 H, memiliki anak, yaitu: Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi ‘Ammu Al-Faqih, menikah dengan Ummu Abdul Malik, wafat di Yaman 613 H, memiliki anak, yaitu: Al-Imam Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan, menikah dengan Ummu Abdullah Binti Raja Naserabad (Nashr Abad), Penguasa Daratan India Lama.

TEMPAT DAN TAHUN KELAHIRANNYA

Al-Imam Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan lahir di kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Beliau juga dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke Gujarat untuk berdakwah sebagaimana kakek beliau, Al-Imam As-Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam As-Sayyid Isa Ar-Rumi Al-Azraq, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut (Yaman) untuk berdakwah.

ORANGTUA AL-IMAM AL-MUHAJIR AS-SAYYID ABDUL MALIK AZMATKHAN

Ayah dari Al-Imam Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan adalah Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi ‘Ammul Faqih bin Al-Imam As-Sayyid Muhammad lahir di Tarim. Beliau adalah seorang ulama besar, pemimpin kaum Arifin, hafal al-Qur’an, selalu menjaga lidahnya dari kata-kata yang tidak bermanfaat, dermawan, cinta kepada fakir miskin dan memuliakannya, serta banyak senyum. Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi ‘Ammul Faqih bin Al-Imam As-Sayyid Muhammad dididik oleh ayahnya dan belajar kepada beberapa Ulama, di antaranya Syaikh As-Sayyid Salim Bafadhal, As-Sayyid Salim Bin Basri, Syaikh As-Sayyid Ali Bin Ibrahim al-Khatib. Beliau wafat pada hari Senin, Bulan Zulqaidah, Tahun 613 hijriyah, di Tarim (Yaman) dan dimakamkan di Makam Zanbal.

Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi ‘Ammul Faqih Bin Al-Imam As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath, memiliki empat orang anak, yaitu:
1. Abdullah (keturunannya terputus);
2. Ahmad (anaknya Fathimah ibu dari Ali dan Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam);
3. Abdul Malik Azmatkhan keturunannya menyebar di India dan di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Asia tenggara yang dikenal dengan nama Azmatkhan (leluhur Wali Songo);
4. Abdurahman, keturunannya diantaranya fam al-Bahasyim, al-Bin Semith, al-Bin Thahir, al-Ba’bud Maghfun, al-Bafaraj, al-Haddad, al-Basuroh, al-Bafaqih, al-Aidid, al-Baiti Auhaj.

ISTRI AL-IMAM AL-AMIR AL-MUHAJIR AS-SAYYID ABDUL MALIK AZMATKHAN

Istri dari Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan adalah Putri Raja Kesultanan Islam Naserabad (Nashr Abad) India Lama, yang bernama Ummu Abdillah.

ANAK-ANAK DARI AL-IMAM AL-AMIR AL-MUHAJIR AS-SAYYID ABDUL MALIK AZMATKHAN

Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan memiliki 4 anak, 2 laki-laki, dan 2 Perempuan:
1. Al-Amir As-Sayyid Abdullah Azmatkhan (Leluhur Walisongo Nusantara);
2. As-Sayyid Alwi Azmatkhan (Leluhur Azmatkhan India);
3. Syarifah Zainab Azmatkhan (nasabnya terputus);
4. Syarifah Fathimah Azmatkhan (nasabnya terputus).

GELAR – GELAR AL-IMAM AS-SAYYID ABDUL MALIK AZMATKHAN
Menurut As-Sayyid Bahruddin Al-Husaini, menjelaskan bahwa gelar yang disandang oleh As-Sayyid Abdul Malik azmatkhan adalah:
1. Al-Malik Lil Muslimiin = Raja Bagi Kaum Muslimin;
2. Al-Malik Min ‘Alawiyyiin = Raja dari Kalangan Keturunan Al-Imam As-Sayyid Ali Bin Abi Thalib;
3. Al-Khalifah Lil Mukminiin = Khalifah bagi Kaum Mukmin;
4. Al-Mursyid = Mursyid bagi beberapa tarekat;
5. An-Naaqib = Pakar dalam Ilmu Nasab;
6. Al-Muhaddits = Menghafal Ribuan Hadits;
7. Al-Musnid = Memiliki sanad keilmuan dari berbagai ulama’ dan guru;
8. Al-Qutub = Wali Qutub pada masanya
9. Al-Wali = Seorang Waliyullah;
10. Abu Al-Muluuk = Ayah dan Datuk bagi para Raja;
11. Abu Al-Awliyaa’ = Ayah dan Datuk bagi para Wali Songo;
12. Abu Al-Mursyidiin = Ayah dan Datuk bagi para Mursyid;
13. Syaikhul Islam = Guru Besar Islam;
14. Imamul Mujaahidiin = Imam Mujtahid;
15. Al-Faqiihul Aqdam = Ahli Fiqih Yang paling utama;
16. Al-Mujahid Fii Sabiilillah = Pejuang di Jalan Allah;
17. Al-Hafiizhul Qur’an = Penghafal Qur’an;
18. Shohibul Karomah = Raja dan Wali Allah yang memiliki Karomah;
19. Amirul Mukminin = Pemimpin Pemerintahan Islam.

(Sumber Data: Kitab Ansabi Wali Songo, karya As-Sayyid Al-Habib Bahruddin Azmatkhan)

Asyraf Azmatkhan Ahlulbayt Internasional
SEJARAH FAM AZMATKHAN DAN PERJALANAN HIJRAH AL-IMAM AL-AMIR AL-MUHAJIR AS-SAYYID ABDUL MALIK AZMATKHAN

Sejarah Azmatkhan telah banyak ditorehkan dalam tulisan oleh beberapa sejarawan Islam Nusantara dan juga beberapa ahli nasab yang konsen akan perkembangan nasab di Nusantara ini.

Dari mana awal Azmatkhan ini?. Seperti tradisi pada Bangsa Arab dan juga di beberapa negara lainnya termasuk Indonesia, sangat memperhatikan nama panggilan (Kuniyah) ataupun gelar (Laqob) selalu saja ada latar belakangnya. Kuniyah sendiri adalah salah satu karakteristik memanggil seseorang melalui ayahnya ibunya atau anaknya seperti menggunakan nama-nama ayah atau leluhur terkait dengan nama seseorang. Sedangkan untuk gelar (Laqob) sering berkaitan dengan sebuah keistimewaan yang terdapat pada orang tersebut, baik itu berhubungan dengan karakter, jabatan, keilmuan adat-istiadat, keahlian dan lain sebagainya.

Pada masa-masa awal berkembangnya keturunan (Ahlul Bayt) Rasulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, khususnya keturunan Al-Imam Sayyidina Husein kebanyakan nama-nama yang muncul sebelum menjadi marga. Nama-nama panggilan (Kuniyah) atau gelar (Laqob) masih terbatas pada pemilik nama tersebut.

Seperti misalnya Al-Imam Ali As-Sajjad, Imam Muhammad Al-Baqir, Al-Imam Jakfar Shodiq, Al-Imam Musa Al-Kadzim, Imam Al-‘Uraidhi, Al-Imam Ahmad Al-Muhajir dan lain-lain. Semua nama tersebut ini merupakan nama panggilan atau gelar mereka kebanyakan ke bawahnya tidak menjadi marga.

Marga sendiri berfungsi sebagai identitas khusus yang dimiliki oleh setiap masing-masing keturunan dalam jumlah cukup besar. Di beberapa negara sebuah marga jumlah pemakaiannya ribuan dan itu terdapat pada masing-masing rumpun keluarga.

Untuk Imam Musa Al-Kadzim sendiri, sepengetahuan kami nama beliaulah di kemudian hari dijadikan marga, keturunan beliau banyak di Iran dan Irak dengan marga Al-Musawi. Sedangkan, nama-nama lain terutama nama panggilan jarang menjadi marga.

Adanya nama panggilan atau gelar kemudian hari menjadi marga terutama berhubungan dengan keturunan Al-Imam As-Sayyid Ahmad Al-Muhajir justru terjadi setelah era cucunya yaitu Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi Al-Mubtakir Bin Al-Imam As-Sayyid Ubaidillah Shohibul ‘Aradh.

Al-Imam Ahmad Al-Muhajir adalah pelopor pertama dari Ahlul Bayt yang hijrah dari Basrah (Iraq) menuju Hadramaut (Yaman). Beliau hijrah dari Basrah (Iraq) guna menghindari banyaknya fitnah yang terjadi pada masa itu, baik dari segi kekuasaan maupun akidah. Dari Basrah (Iraq) kemudian beliau hijrah dan menetap di Hadramaut (Yaman) hingga akhir hayatnya.

Di Hadramaut ini beliau mempunyai anak bernama Al-Imam As-Sayyid Ubaidillah/Abdullah yang kemudian mempunyai anak bernama Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi Al-Mubtakir. Di era Imam ‘Alawi Al-Mubtakir inilah terutama para keturunannya julukan ataupun gelar banyak yang dijadikan marga.

Keturunan Imam ‘Alawi Al-Akhir (Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi ‘Ammul Faqih) atau ‘Alawi Al-Awwal (Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi Al-Mubtakir) ini di kemudian hari menjadi sebuah keluarga besar menyebar ke seantero Hadramaut (Yaman) dan ke beberapa penjuru dunia. Mereka disebut “Bani ‘Alawi ” atau keluarga besar “Alawiyyin” (berasal dari nama Imam ‘Alawi Al-Mubtakir). Dari Bani ‘Alawi (Ba’Alawi) ini Kemudian pada masing-masing keluarga tertentu mempunyai nama gelar atau julukan kemudian hari menjadi marga seperti Al-Azmatkhan, Assegaf, Al-Attas, Al-Habsyi, Al-Idrus, Al-Bar, Al-Kaff, Al-Muhdor, Al-Aidid, Al-Haddad, Baharun, Ba’agil, Basyaiban, Bafaqih, Baraqbah, Bin Yahya, Bin Semith/Bin Sumaith, Jamalulail, Bin Syekh Abu Bakar, Bin Jindan, Al-Hamid, Ba’abud, Al-Qadri, Al-Jufri, Al-Hadar dan masih banyak marga lainnya.

Nah bagaimana dengan nama Fam Azmatkhan itu sendiri?. Dalam sejarah keturunan Rasulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, khususnya keluarga besar ‘Alawiyyin yang ada di Hadramaut (Yaman), nama Azmatkhan sebenarnya telah masuk sebagai salah satu cabang keturunan dari Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi Al-Mubtakir Bin Al-Imam As-Sayyid Ubaidillah Sohibul Aradh Bin Imam Ahmad Al-Muhajir Al-Husaini itu tercatat di beberapa kitab rujukan nasab digunakan oleh beberapa lembaga nasab di Nusantara ini seperti kitab Syamsu Adz-Dzahira dan Khidmatul Asyirah.

Disandingkan dengan nama-nama marga dipakai oleh keluarga besar ‘Alawiyyin ada di Hadramaut (Yaman) atau mereka berada di negara lain nama Azmatkhan memang memiliki perbedaan dan karakter cukup khas dan unik ini disebabkan karena marga Azmatkhan tidak muncul di Hadramaut (Yaman) Pada masa itu.

Nama Fam Azmatkhan justru muncul di negeri India, bagi mereka tidak mempelajari sejarah Islam di India secara mendalam akan menyangka jika di India akar keislamannya tidak ada hubungan dengan keluarga besar ‘Alawiyyin, padahal kenyataannya peran serta keluarga besar ‘Alawiyyin dalam menyebarkan agama Islam di India sangatlah besar termasuk keluarga Azmatkhan.

Mengenai hal tersebut As-Sayyid (Al-Habib) Alwi Bin Thohir Al-Haddad (2001:164) mencatat jika keluarga besar berkaitan dengan Azmatkhan ini semula berada di Hadramaut (Yaman) menjadi terputus dari tanah airnya, sehingga di Hadramaut (Yaman) tidak terdapat lagi keluarganya termasuk juga keluarga besar Al-Qadri, Bafaraj, Khaneman. Oleh karena itu sangatlah wajar jika sampai ini, masih banyak keluarga besar ‘Alawiyyin merasa asing dengan nama Azmatkhan.

Pada sekitar tahun 569-575 Hijiriah wilayah Hadramaut (Yaman) pernah mengalami berbagai politik dan kekuasaan. Pada masa itu suasana sangat mencekam apalagi setelah ditaklukannya Kota Tarim (Yaman) oleh pasukan Turansyah Al-Ayyubi.

Pasukan Turansyah dipimpin oleh Utsman Bin Ali Al-Zanjiliat Tikriti yang haus akan darah serta telah banyak membunuh para ‘Ulama dan Fuqaha di Kota Tarim (Yaman). Salah satu tokoh diincar untuk dibunuh adalah Al-Imam As-Sayyid ‘Ammu Al-Faqih Bin Al-Imam As-Sayyid Muhammad Shohib Mirbath.

Siapa Imam Al-Imam As-Sayyid ‘Ammu Al-Faqih Bin Al-Imam As-Sayyid Muhammad Shohib Mirbath ini?. Beliau adalah salah satu Ulama besar di Tarim (Yaman) pada masa itu, seorang yang alim kaya dan dermawan. Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi ‘Ammu Al-Faqih adalah paman Al-Faqih Muqoddam atau Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath. Al-Faqih Muqoddam merupakan salah satu Imam di kalangan ‘Alawiyyin serta namanya sering disebut-sebut hingga kini oleh keturunannya.

Di antara 4 orang anak ini anak pertama bernama Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan telah melakukan hijrah ke negeri India Imam Abdul Malik ini melakukan hijrah setelah melihat bencana dan kedzaliman menghawatirkan dilakukan penguasa saat itu. Hadramaut (Yaman) terutama Kota Tarim dirasa pada masa itu kurang menguntungkan untuk keluarga besar Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Oleh karenanya, demi untuk menyelamatkan aqidah dan juga keluarga besarnya, maka beliau memutuskan untuk hijrah ke negeri India.

Hijrahnya Beliau ke Negeri India ini sangat jelas mengikuti jejak dan langkah dari Imam Ahmad Al-Muhajir sehingga sangat layak jika Imam Abdul Malik disebut Al-Muhajir Tsani (Al-Muhajir 2). Dalam tulisan Fairuz Khoirul Anam (2010:132), Imam Abdul Malik dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena ia hijrah dari Hadramaut ke India untuk berdakwah sebagaimana kakeknya Al-Imam Ahmad bin Isa yang juga digelari Al-Muhajir karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadramaut untuk berdakwah.

Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan hijrah ke satu tempat yang Islamnya pada itu masih belum begitu besar sama seperti Al-Imam As-Sayyid Ahmad Al-Muhajir ketika hijrah ke Hadramaut (Yaman), kondisi umat Islam yang tidak sebaik seperti sekarang ini, dikarenakan pada masa itu masih banyak penganut aqidah-aqidah yang menyimpang dari Islam. Namun berkat pendekatan cerdas dari Al-Imam As-Sayyid Ahmad Al-Muhajir banyak dari masyarakat berada di Hadramaut (Yaman) tersadarkan dan akhirnya menjadi pengikut Al-Imam As-Sayyid Ahmad Al-Muhajir.

Menurut KH. Abdulah Bin Nuh (1963:158) Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan lahir di Kota Tarim (Yaman). Beliau adalah orang yang sholeh dan banyak ibadah. Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan tumbuh dalam asuhan ayahnya sehingga ia menjadi seorang ulama besar pada zamannya. Beliau hijrah keluar dari Hadramaut menuju ke Negeri India. Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan hijrah pada awal abad ke-7 Hijiriah.

Pada masa itu negeri India dikuasai oleh Muhammad Bin Dan Al-Ghurri dengan Kesultanan Delhi. Pada masa itu sedang membangun kekuatan Negara Islam cukup disegani.

Setelah Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan hijrah ke Negeri India, maka kemudian langkah ini disusul oleh keluarga besar ‘Alawiyyin lainnya. Tidak heran hingga kini di beberapa daerah India bahkan Pakistan banyak keturunan dari keluarga besar ‘Alawiyyin ini.

Tentang bagaimana profil seorang Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan, seorang Mufti (Ulama besar) Hadramaut yaitu As-Sayyid Abu Bakar Al-Adni Bin Ali Masyhur (2011:57) menulis bahwa Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan tinggal di daerah (Bruj) India, riwayat hidupnya bagus dan memiliki keturunan di India.

Hal ini menandakan jika Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan Bin Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi ‘Ammul Faqih merupakan tokoh dipandang cukup terhormat di kalangan ulama Hadramaut sekali pun kakeknya lebih banyak hidup di India dan wafat di sana. Fairuz Khoirul Anam (2010:131) menambahkan jika keturunan Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan Bin Al-Imam As-Sayyid ‘Alawi ‘Ammul Faqih ini mempunyai pengaruh besar di daratan India dan Asia Tenggara.

Mereka datang dari Hadramaut ke India pada akhir Abad ke-6 Hijriyah. Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bahkan mempunyai hubungan baik dengan kerajaan India, para pembesar dan para ulama di sana. Maka, tidak heran bilamana keluarga besarnya bisa menyebar ke seluruh penjuru India, bahkan keluarga ini mempunyai nilai penting bagi masyarakat (Umat) Muslim di India.

Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan di samping tinggal di Ahmadabad, sejarahnya Beliau juga pernah lama menetap di Nashrabad. Dalam catatan HMH. Al-Hamid Al-Husaini (2010:773), ketika beliau pergi meninggalkan Hadramaut (Yaman) sekitar tahun 574 Hijriyah di India, tepatnya beliau bermukim di Nashrabad.

Di Nashrabad Ia mempunyai beberapa orang anak laki-laki dan perempuan di antaranya Sayyid Abdullah merupakan anak kedua. Saat menetap di Nashrabad inilah muncul nama Azmatkhan dinisbatkan kepada keluarga besar Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Memang dari beberapa data telah terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan kepada siapakah nama ini sebenarnya disematkan.

Menurut Idrus Alwi Al-Mansyur (dalam Muhammad Bin Ahmad As-Syathiri (2012:155)) bahwa, marga Azmatkhan muncul pada masa Imam Abdullah bin Abdul Malik, bahwa nama Azmatkhan justru muncul setelah terjadinya pernikahan antara Putri Sultan Nashrabat dengan Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan.

Keterangan tentang menikahnya Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan dengan salah satu Putri Bangsawan Kesultanan Nashrabad, India terdapat pada tulisan Yosef Iskandar (1997:270) bahwa, salah satu leluhur Fatahillah (Falatehan atau Maulana Fadhillah Azmatkhan Bin Maulana Mahdar Ibrahim Patakan Bin Sayyid Abdul Ghofur Bin Sayyid Barakat Zainul Alam Bin Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar/Syekh Jumadil Kubro Bin Sayyid Ahmad Jalaluddin Azmatkhan Bin Sayyid Abdullah Azmatkhan Bin Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan) Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan yang menikah dengan Putri Seorang Bangsawan dari Kerajaan India yang kemudian Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik mendapatkan marga Azmatkhan.

Setelah Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel) ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu Bangsawan Majapahit. Namun karena Al-Imam Al-Amir Al-Muhajir As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan dari bangsa “Syarif” (mulia) keturunan (Ahlul Bayt) Rasulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka mereka menambah kalimat “Azmat” yang berarti “mulia” (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi “Azmatkhan”. Dengan huruf arab, mereka menulis عظمت خان bukan عظمة خان, dengan huruf latin mereka menulis “Azmatkhan”, bukan “Adhomatu Khon” atau “Adhimat Khon” seperti yang ditulis sebagian orang. Sayyid Abdul Malik juga dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke India untuk berdakwah, sebagaimana kakek beliau, Al-Imam As-Sayyid Ahmad Al-Muhajir Bin Al-Imam As-Sayyid Isa Ar-Rumi Al-Azraq, diberi gelar seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk berdakwah.

Leluhur Walisongo dari Fam Al-Azmatkhan Al-Husaini

Dikutip dari:

“Al-Mursyid Syekh Mufti Pangeran Panghulu Nata Agama As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh”

إن الحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد

Sayyid Husain Jamaluddin atau Syekh Jumadhil Kubro itu adalah mutlak berasal dari keturunan Azmatkhan Al-Husaini dan itu diperkuat dengan berbagai catatan dan penelitian Para Alim Ulama Ahli Nasab. Jika ada yang menisbatkan nasab beliau kepada pihak yang lain, ini tidak benar dan harus segera diklarifikasi dan diralat. Nasab itu tidak boleh sembarangan untuk dinisbat-nisbatkan tanpa ada dasar ilmu nasab yang benar. Jika Nasab Sayyid Husein Jamaluddin atau Syekh Jumadhil Kubro bukan berasal dari Azmatkhan, betapa mengerikannya pendapat ini, karena itu berarti puluhan ribu keturunan dari Nasab Sayyid Husain Jamaluddin yang notabenenya keluarga besar walisongo adalah nasabnya palsu! padahal puluhan ribu keturunan Walisongo itu banyak terdapat ribuan ulama-ulama besar.

Tidak benar jika Azmatkhan tidak punya catatan nasabnya, bahkan dari sekian nasab yang ada, dapat dikatakan pencatatan nasab keluarga besar Azmatkhan Al-Husaini itu tersusun dengan rapi dan dipegang oleh masing masing keluarga besar Walisongo. Dan inilah daftar catatan dan penelitian dari keluarga besar Walisongo yang telah disusun oleh Syekh-Mufti Kesultanan Palembang (Mursyid Thariqoh Walisongo).

Fakta dan Kesaksian mengenai Fam / Marga Azmatkhan Al-Husaini

KESAKSIAN PERTAMA:

Menurut As-Sayyid Salim bin Abdullah Asy-Syathiri Al-Husaini (Ulama’ asli Tarim, Hadramaut, Yaman), berkata: “Keluarga Azmatkhan (Walisongo) adalah dari Qabilah Ba’Alawi asal hadhramaut Yaman gelombang pertama yang masuk di Nusantara dalam rangka penyebaran Islam (Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati keluarga Azmatkhan) Sesuai dengan namanya, yang berarti “Pemimpin dari keluarga Mulia” .

KESAKSIAN KEDUA:

Menurut H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya “Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah”, Beliau menyampaikan bahwa:

“Sayyid Abdul Malik bin Alawi ‘Ammi Al-Faqih lahir di kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Beliau meninggalkan Hadhramaut pergi ke India bersama jama’ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India, Beliau bermukim di Naserabad. Ia mempunyai beberapa orang anak lelaki dan perempuan, di antaranya ialah Al-Amir Sayyid Abdullah Azmatkhan Bin Sayyid Al-Muhajir Ilallah Al-Imam Abdul Malik Azmatkhan, lahir di kota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir di sebuah desa dekat Naserabad. Ia anak kedua dari Sayyid Abdul Malik Bin Alawi ‘Ammi Al-Faqih Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Raja Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang “Khan”, termasuk Raja Naserabad, India”.

Setelah Sayyid Abdul Malik menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit. Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa “Syarif” (mulia) keturunan Nabi Muhammad SAW, maka mereka menambah kalimat “Azmat” yang berarti “mulia” (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi “Azmatkhan”. Dengan huruf arab, mereka menulis عظمت خان bukan عظمة خان, dengan huruf latin mereka menulis “Azmatkhan”, bukan “Adhomatu Khon” atau “Adhimat Khon” seperti yang ditulis sebagian orang. Sayyid Abdul Malik juga dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke India untuk berdakwah, sebagaimana kakek beliau, Sayyid Ahmad Bin Isa Ba’Alawi, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk berdakwah.

Nama putra Sayyid Abdul Malik Azmatkhan adalah “Abdullah”, penulisan “Amir Khan” sebelum “Abdullah” adalah penyebutan gelar yang kurang tepat, adapun yang benar adalah Al-Amir Sayyid Abdullah Azmatkhan. Al-Amir adalah gelar untuk pejabat wilayah. Sedangkan Azmatkhan adalah marga beliau mengikuti gelar ayahanda. Sebagian orang ada yang menulis “Abdullah Khan”, mungkin ia hanya ingat Khan-nya saja, karena marga “Khan” (tanpa Azmat) memang sangat populer sebagai marga bangsawan di kalangan orang India dan Pakistan. Maka penulisan “Abdullah Khan” itu kurang tepat, karena “Khan” adalah marga bangsawan Pakistan asli, bukan marga beliau yang merupakan pecahan marga Ba’Alawi atau Al-Alawi Al-Husaini.

Ada yang berkata bahwa di India mereka juga menulis Al-Khan, namun yang tertulis dalam buku nasab Alawiyyin adalah Azmatkhan, bukan Al-Khan, sehingga penulisan Al-Khan akan menyulitkan pelacakan di buku Nasab.

Al-Amir Sayyid Abdullah Azmatkhan pernah menjabat sebagai Pejabat Diplomasi Kerajaan India, beliaupun memanfaatkan jabatan itu untuk menyebarkan Islam ke berbagai negeri. Sejarah mencatat bagaimana beliau bersaing dengan Marcopolo di daratan China, persaingan itu tidak lain adalah persaingan didalam memperkenalkan sebuah budaya. Al-Amir Sayyid Abdullah Azmatkhan memperkenalkan budaya Islam dan Marcopolo memperkenalkan budaya Barat. Sampai saat ini, sejarah tertua yang kami dapat tentang penyebaran Islam di Cina adalah cerita Al-Amir As-Sayyid Abdullah Azmatkhan ini. Maka bisa jadi beliau adalah penyebar Islam pertama di Cina, sebagaimana beberapa (sebagian) anggota Wali Songo yang masih cucu-cucu beliau adalah orang pertama yang berdakwah di tanah Jawa.

Ia (Sayyid Abdullah) mempunyai anak lelaki bernama Al-Amir Al-Mu’azhzham Syah Maulana Ahmad.” Nama beliau adalah Ahmad, adapun “Al-Amir Al-Mu’azhzham” adalah gelar berbahasa Arab untuk pejabat yang diagungkan, sedangkan “Syah” adalah gelar berbahasa Urdu untuk seorang Raja, bangsawan dan pemimpin, sementara “Maulana” adalah gelar yang dipakai oleh muslimin India untuk seorang Ulama besar. Sayyid Ahmad juga dikenal dengan gelar “Syah Jalaluddin”. Maulana Ahmad Syah Mu’azhzham adalah seorang Ulama besar, Ia diutus oleh Maharaja India ke Asadabad dan kepada Raja Sind untuk pertukaran informasi, kemudian selama kurun waktu tertentu beliau diangkat sebagai Wazir (menteri). Beliau mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari mereka pergi meninggalkan India, berangkat mengembara. Ada yang ke negeri Cina, Kamboja, Siam (Thailand) dan ada pula yang pergi ke negeri Anam dari Mongolia Dalam (Negeri Mongolia yang termasuk di dalam wilayah kekuasaan Cina). Mereka lari meninggalkan India untuk menghindari kesewenang-wenangan dan kedzholiman Maharaja India ketika terjadi fitnah pada akhir abad ke-7 Hijriah.

Di antara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah Sayyid Jamaluddin Husain Al-Amir Syahansyah bin Sayyid Ahmad. Ia pergi meninggalkan India tiga tahun setelah ayahnya wafat. Kepergiannya disertai oleh tiga orang saudaranya, yaitu Syarif Qamaruddin. Konon, dialah yang bergelar ‘Tajul-muluk’. Yang kedua ialah Sayyid Majiduddin dan yang ketiga ialah Sayyid Tsana’uddin.”

Sayyid Jamaluddin Husain Akbar oleh sebagian orang Jawa disebut Syekh Jumadil Kubro. Yang pasti nama beliau adalah Sayyid Jamaluddin Husain Akbar, sedangkan Jamaluddin adalah gelar atau nama tambahan, sehingga nama beliau juga ditulis “Husain Jamaluddin”. Adapun “Syahansyah” artinya adalah Raja Diraja. Namun kami yakin bahwa gelar Syahansyah itu hanyalah pemberian orang yang beliau sendiri tidak tahu, karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melarang pemberian gelar Syahansyah pada selain Allah.

Sayyid Jamaluddin Husain Akbar juga memiliki saudara bernama Sulaiman, beliau medirikan sebuah kesultanan di Thailand. Beliau dikenal dengan sebutan Sultan Sulaiman Al-Baghdadi, barangkali beliau pernah tinggal lama di Baghdad, Irak. Nah, Sayyid Husain dan Sayyid Sulaiman inilah nenek moyang daripada keluarga Azmatkhan Indonesia, setidaknya yang kami temukan sampai saat ini.

KESAKSIAN KETIGA:

Menurut Sayyid (Habib) Ali Bin Abu Bakar As-Sakran dalam Kitab Nasab yang bernama Al-Jawahir Al-Saniyyah, berkata: “Al-Azmatkhan adalah fam yang dinisbatkhan kepada Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin ‘Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih”.

KESAKSIAN KEEMPAT:

Menurut Ad-Dawudi dalam Kitab Umdatut Thalib berkata, “Al-Azmatkhan” adalah Fam (Marga/Qabilah) yang dinisbatkan kepada Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin ‘Alawi ‘Ammil Faqih, dan keturunannya masih ada sampai sekarang ini melalui jalur Walisongo di Jawa”.

KESAKSIAN KELIMA:

Penelitian Sayyid (Habib) Zain bin Abdullah Al-Kaff dalam kitab Ilhaafun Nazhooir yang dikutip dalam buku khidmatul ‘asyirah karangan Sayyid (Habib) Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf; MEMBENARKAN & MEM-VALID-KAN nasab jalur Azmatkhan. (Lihat Kitab Khidmatul Asyirah, halaman 1 dan juga di lauhah terakhir kitab Khidmatul Asyirah tentang Walisongo)

KESAKSIAN KEENAM:

Penelitian Al-Alammah As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Husain Al-Masyhur dalam Kitab Syamsud Zhahirah, yang memvalidkan nasab jalur Azmatkhan.

KESAKSIAN KETUJUH:

Kesaksian dari Sayyid (Habib) Ali bin Ja’far Assegaf Palembang.

Bermula silsilah Walisongo ditemukan oleh Sayyid (Habib) Ali bin Ja’far Assegaf pada seorang keturunan bangsawan Palembang. Dalam silsilah tersebut tercatat Tuan Fakih Jalaluddin yang dimakamkan di Talang Sura pada tanggal 20 Jumadil Awal 1161 hijriyah, tinggal di istana kerajaan Sultan Muhammad Mansur mengajar ilmu Ushuluddin dan Al-Qur’an. Dalam silsilah tersebut tercatat nasab seorang Alawiyyin bernama Sayyid Jamaluddin Husein Bin Ahmad bin Abdullah bin Al-Amir Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin ‘Alawi ‘Ammi Al-Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath, yang mempunyai tujuh anak laki-laki. Di samping itu tercatat pula nasab keturunan raja-raja Palembang yang bergelar Pengeran dan Raden, nasab Maulana As-Sayyid Muhammad Ainul Yaqin yang bergelar Sunan Giri (Penguasa Giri Kedathon)

KESAKSIAN KEDELAPAN:

Penelitian As-Sayyid Muhammad Bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri dalam Kitab Al-Mu’jam Al-Lathif.

KESAKSIAN KESEMBILAN:

Fakta dan bukti-bukti catatan nasab dari beberapa kerajaan dan kesultanan yang terhubung sebagai dzurriyyah Walisongo Al-Azmatkhan. Seperti Kesultanan Palembang, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Giri Kedathon, Kesultanan Ampel Denta, Kesultanan Demak, Kesultanan Jepara dan lain-lain.

KESAKSIAN KESEPULUH:

Rapinya catatan nasab keluarga besar Kyai Marogan, di Palembang, yang menulis bahwa Sayyid Husain Jamaluddin adalah bernasabkan ke Al-Amir Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan dan merupakan leluhur Walisongo. Sampai sekarang nasab ini terpasang di Kantor Takmir Masjid Muara Ogan.

KESAKSIAN KESEBELAS:

Rapinya catatan nasab dari keturunan Pangeran Jayakarta di Jatinegara Kaum, Jakarta, yang menyimpan data tentang Walisongo, yang menyebutkan bahwa Walisongo berasal dari Sayyid Jamaluddin Husain Akbar (Syaikh Jumadil Kubra) bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid Abdullah Bin Al-Amir Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KEDUABELAS:

Rapinya catatan Nasab dari “NAQOBAH KESULTANAN BANTEN / AL-BANTANI” tentang keturunan Sunan Gunung Jati, yang merupakan bagian dari Walisongo, yang berasal dari berasal dari Sayyid Jamaluddin Husain Akbar (Syekh Jumadil Kubra) bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah bin Al-Amir Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KETIGABELAS:

Rapinya catatan Nasab dari KERATON KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM tentang keturunan Maulana As-Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) dan Walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin (Jumadil Kubra) bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan. Data tersebut tersimpan di Keraton Kesultanan Palembang Darussalam.

KESAKSIAN KEEMPATBELAS:

Rapinya catatan Nasab dari KH. Ubaidillah dan KH. Zaid (Ketua Takmir Masjid dan Ketua Makam Sunan Ampel Surabaya) tentang data keturunan Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat dan Walisongo. yang menyebutkan bahwa Walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan. Bisa dihubungi dan dicek ke rumahnya di daerah sekitar pemakaman Sunan Ampel, Surabaya.

KESAKSIAN KELIMABELAS:

Rapinya catatan Nasab dari KH. Kholil Bangkalan dan Habib Bahruddin Azmatkhan yang mendata nasab semua keturunan Sunan Kudus, yang menyebutkan bahwa Walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin (Syaikh Jumadil Kubra) bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KEENAMBELAS:

Rapinya catatan nasab dari KH. Adlan Ali Cukir Tebuireng, Pendiri Pesantren Walisongo, yang mendata nasab keturunan Sunan Drajat dan Walisongo, dan menyebutkan bahwa walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra Bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin Bin Sayyid Abdullah Khan Bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KETUJUHBELAS:

Rapinya catatan nasab dari KH. Said Al-Hafizh dan KH. Mustaghfirin Said Al-Hafizh (Pengasuh Pesantren Tahfizhul Qur’an Nurush Sholihin Jember) tentang nasab Sunan Giri dan Walisongo, dan menyebutkan bahwa Walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin (Syaikh Jumadil Kubra) bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Al-Amir Abdullah Khan Bin Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KEDELAPANBELAS:

Rapinya catatan nasab dari KH. Lutfi Bashari Alwi (Pengasuh Pesantren Ribath Al-Murtadha, Singosari Malang dan Putra Pendiri Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Malang, dan merupakan murid terdekat Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Makkah Al-Mukarramah) tentang data nasab Walisongo. dan menyebutkan bahwa walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra Bin Ahmad Syah Jalaluddin Bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KESEMBILANBELAS:

Rapinya catatan nasab dari keluarga KH. As’ad Syamsul Arifin Asembagus, Situbondo, Jawa Timur dan Kitab Nasab Jawahirul Ansab yang menyebutkan tentang nasab lengkap walisongo, bahwa ia berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin (Syaikh Jumadil Kubra) bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KEDUAPULUH:

Rapinya catatan Nasab dari KH. Damanhuri Batuampar, Madura tentang walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid Al-Amir Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan.

DAN MASIH RIBUAN KESAKSIAN LAINNYA DARI PARA ULAMA KETURUNAN WALISONGO AZMATKHAN

DAFTAR KEPUSTAKAAN (KITAB-KITAB / BUKU-BUKU YANG MENJELASKAN) TENTANG AZMATKHAN:

1. Sayyid Ahmad bin Anbah,Umdatuth Thaalib Fii Ansaabi Aali Abi Thaalib

2. Sayyid Aki As-Samhudiy, Jawaahir Al-Aqdaini Fii Ansaabi Abnaai As-Sibthaini

3. Sayyid Abu Thalib Taqiyyuddin An-Naqiibi, Ghaayatu Al-Ikhtishoori Fii Al-buyuutaati Al-’Alawiyyati Al-Mahfuzhati Min Al-Ghayyaari.

4. As-Sayyid Al-Muhaddits Husain bin Abdurrahman Al-Ahdali, Tuhfatuz Zaman Fii Taariikhi Saadaatil Yamani.

5. As-Sayyid Abu Fadhal Muhammad Al-Kazhimi Al-Husaini, An-Nafkhah Al-Anbariyyah Fii Ansaabi Khairil Bariyyah.

6. As-Sayyid Dhoomin bin Syadqam, Tuhfatul Azhaari Fii Ansaabi Aal An-Nabiyyi Al-Mukhtaari.

7. As-Sayyid Ahmad bin Hasan Al-Attas, Uquud Al-Almaas.

8. Sayyid Jamaluddin Abdullah Al-Jurjaani Al-Husaini, Musyajjarah Al-Mutadhammin Ansaabi Ahlilbaiti Ath-Thaahiri.

9. As-Sayyid Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin ‘Amiiduddin Al-Husaini An-Najafiy, Kitab Bahrul Ansaabi.

10. As-Sayyid Murtadha Az-Zabiidi, Kitab Al-Musyajjir Al-Kasysyaaf Li Ushuulis Saadah Al-Asyraaf.

11. As-Sayyid Husain bin Muhammad Ar-Rifaa’i Al-Mishri, Kitab Bahrul Ansaabil Muhiith.

12. As-Sayyid ‘Ali bin Abi Bakar asy-Syakran, Kitab Al-Jawaahir As-Saniyyah Fii Ansaabi Al-Husainiyyah.

13. As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur Al-Husaini Al-Hadrami, Kitab Syamsuzh Zhahiirah.

14. As-Sayyid Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff, Khidmah Al-’Asyiirah Bi Tartiibi wa Talkhiishi Wa Tadzliili Syamsizh Zhahiirah.

15. As-Sayyid Dhiyaa’u Syihaab, Ta’liiqaat Mabsuuthah Wa Mufashsholah ‘Alaa Syamsizh Zhahiirah.

16. As-Sayyid Umar bin Alawi Al-Kaff, Al-Faraayid Al-Jauhariyyah Fii Tarraajumi Asy-Syaharah Al-’Alawiyyah.

17. As-Sayyid Umar bin Abdurrahman bin Shihabuddin, Syajaratul Alawiyyah.

18. As-Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Kitab Al-Mu’jam Al-Lathif.

19. As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini, Ansaabi Wali Songo.

20. As-Sayyid Abi Al-Mu’ammar Yahya bin Muhammad bin Al-Qasim Ba’alawi Al-Husaini, Kitab Abnaaul Imam Fii Mishra Was Syaami Al-Hasani Wal Husaini.

21. As-Sayyid Al-Qalqasandiy Al-Hasani, Nihaayatul Urabi Fi Ma’rifati Al-Ansaabi Al-’Arabi.

22. Al-Imam Abi Sa’di Abdil Karim bin Muhammad bin Mansur At-Tamimiy As-Sam’aaniy, Kitab Al-ansaab.

23. Al-Imam Ahmad bin Yahya bin Jabir Al-Balaadiri,Kitabu Al-Jumali Min Ansaabil Asyraaf

24. Kemas H.Andi Syarifuddin & Hendra Zainuddin, 101 Ulama Sumsel, Penerbit. Forum Pondok Pesantren Sumatera Selatan, ISBN,978-602-7874-31-2

Menakar Fenomena Pembentukan Undang – Undang dengan Konsep Omnibus Law, dan Penerapannya dalam Sistem Hukum Nasional.

“Setiap sistem hukum memiliki teori pembentukan perundang-undangannya sendiri, baik negara yang menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System) maupun Anglo Saxon (Common Law System). Kecenderungan pembentukan undang – undang di Indonesia setelah disadari perlunya reformasi regulasi mengakibatkan tumbuhnya kesadaran untuk melakukan terobosan dengan digunakannya metode Omnibus Law yang lazimnya berlaku di negara yang menggunakan sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System). Persoalannya, apakah metode Omnibus Law ini cocok diadopsi ke dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia?”

Omnibus Law diharapkan akan menjadi suatu terobosan dalam upaya simplifikasi (penyederhanaan) regulasi yang ada di Indonesia. Omnibus Law berusaha untuk menjadikan keragaman undang – undang menjadi satu undang – undang saja. Praktek Omnibus Law dapat digunakan dalam 3 (tiga) keadaan, yaitu:

  1. Undang – undang yang akan diubah berkaitan secara langsung.
  2. Undang – undang yang akan diubah tidak berkaitan secara langsung.
  3. Undang – undang yang akan diubah tidak berkaitan, tetapi dalam praktek bersinggungan.

Substansi dari Omnibus Law tersebut nantinya akan lintas sektor bidang hukum. Hal tersebut jelas bertolak belakang dalam pembentukan undang – undang dalam Civil Law System yang tegas dan rigid substansinya terbatas pada judul undang – undang tersebut. Omnibus Law tersebut merupakan format pembentukan undang – undang yang bersifat menyeluruh dengan turut mengatur materi undang – undang lain yang saling berkaitan dengan substansi yang diatur oleh undang – undang yang diubah atau dibentuk.

Dengan format pembentukan undang – undang menggunakan konsep Omnibus Law ini, pembentukan suatu undang-undang dilakukan dengan mempertimbangkan semua materi ketentuan yang saling berkaitan langsung ataupun tidak langsung yang diatur dalam berbagai undang-undang lain secara sekaligus.

Omnibus Law dapat dianggap sebagai undang – undang ‘Sapu Jagat’ yang dapat digunakan untuk mengganti beberapa norma hukum dalam beberapa undang – undang. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System), konsep Omnibus Law tersebut belum pernah terdengar karena dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System) tersebut lebih mengedepankan kodifikasi peraturan untuk mengatasi tumpang tindih dan parsialnya peraturan yang ada.

Omnibus berasal dari bahasa Latin yang mengandung arti “untuk segalanya”, yang mana dalam pandangan hukum dimaknai sebagai perlunya satu dokumen tunggal yang mencakup bersama – sama satu kombinasi subyek yang beraneka ragam atas dasar beberapa kriteria. Omnibus Law dapat juga diartikan sebagai hukum yang mencakup topik yang bermacam – macam dan sering tidak berkaitan dengan satu sama lain (diverse or unrelated) yang harus dikonsolidasikan dan disinkronisasikan.

Omnibus Law sebagai teknik atau metode pembuatan undang – undang yang terpadu (omnibus law-making technique), memungkinkan suatu rancangan undang – undang yang terpadu (Omnibus Bill) yang berisi perubahan atau bahkan penggantian beberapa undang – undang sekaligus diajukan ke parlemen untuk mendapatkan persetujuan dalam satu kesempatan pengambilan keputusan. Hal ini apabila Omnibus Law dipandang hanya sebatas sebagai teknik pembentukan undang – undang yang menyangkut pilihan metode belaka.

Pembentukan undang – undang dengan konsep Omnibus Law berkaitan dengan berbagai obyek atau hal sekaligus, dan memiliki berbagai tujuan. Globalisasi di sektor ekonomi membawa perubahan paradigma hukum, karena setiap perubahan dalam bidang ekonomi pasti membawa perubahan dalam hukum dan praktek hukum. Hal ini dikarenakan globalisasi memberikan masuknya berbagai macam pranata hukum asing yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System) ke dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System).

Perubahan tersebut secara tidak langsung mengakibatkan konflik hukum yang disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum. Perbedaan sistem hukum, manakala sistem hukum Indonesia memiliki struktur, substansi dan budaya tersendiri yang berbeda dengan sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System). Sehingga memerlukan perubahan dan pembaharuan hukum dalam transplantasi sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System) terhadap penerapan metode Omnibus Law di Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System).

Transplantasi hukum sebagai kebijakan pembangunan hukum nasional merupakan pilihan politik yang sesuai dengan jiwa dan roh hukum Indonesia, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, dasar ideologis – filosofis “Pancasila” yang merupakan “the original paradicmatic value of Indonesian culture and society“, adalah pilihan politik dalam aktifitas pembuatan norma hukum konkret (basic policy) tanpa harus mengabaikan posisi dan keberadaan Indonesia ditengah – tengah pergaulan internasional. Dengan demikian, hukum yang dilahirkan adalah hukum yang “ommit nationally, think globaly and act locally“. Kebijakan membuat undang – undang (basic policy) yang mengkombinasikan unsur yang bersumber dari hukum asing dengan hukum yang bersumber dari “the original paradicmatic values of Indonesian culture and society” haruslah dilakukan secara cermat dan penuh perhitungan, agar hukum yang akan diberlakukan di negeri ini tidak tercabut dari akar ideologis – filosofis negara dan bangsa Indonesia.

Secara teori perundang – undangan di Indonesia, kedudukan undang – undang dengan konsep Omnibus Law belum diatur. Jika melihat sistem perundang – undangan di Indonesia, undang – undang hasil konsep Omnibus Law dapat mengarah sebagai undang – undang payung (umbrella act) karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain. Tetapi, oleh karena Indonesia justru tidak menganut undang – undang payung (umbrella act), karena posisi seluruh undang – undang adalah sama, sehingga secara teori peraturan perundang – undangan sehingga kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Namun, jika tidak dimungkinkan melakukan perubahan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan, maka hanya melihat isi ketentuan di dalam undang – undang hasil dari konsep Omnibus Law tersebut, apakah bersifat umum atau detail seperti undang – undang biasa. Jika bersifat umum, maka tidak semua ketentuan yang dicabut melainkan hanya yang bertentangan saja. Tetapi jika ketentuannya umum, akan menjadi soal jika dibenturkan dengan asas “lex spesialis derogat legi generalis (aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum)”, karena dengan adanya Omnibus Law, maka secara demi hukum peraturan tingkat daerah juga harus mematuhi peraturan baru dari konsep Omnibus Law.

Kebebasan Berpendapat (Freedom of Speech) Yang Berujung Pada Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Dunia Maya (Cyber Space).

“HATI – HATI DALAM MELAKUKAN KRITIKAN DAN MENYAMPAIKAN KEBEBASAN BERPENDAPAT DALAM SOCIAL MEDIA (INTERNET). MESKIPUN PADA HAKIKATNYA, KEBEBASAN BERPENDAPAT TERSEBUT DILINDUNGI OLEH KONSTITUSI DAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN YANG BERLAKU. UNTUK ITU, PERLU MEMPERHATIKAN DALAM PEMILIHAN “DIKSI” UNTUK MENYUSUN SETIAP “NARASI” YANG HARUS DIIMBANGI PULA DENGAN KECERDASAN DAN KEAHLIAN DALAM MENGGUNAKAN “RETORIKA”, SERTA MEMAHAMI DASAR HUKUM YANG MENGATUR KEBEBASAN BERPENDAPAT DALAM DUNIA MAYA (CYBER SPACE), AGAR TIDAK BERUJUNG PADA UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) YANG DAPAT DIJERAT DENGAN SANKSI PIDANA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK”.

A. Batasan Definisi Ujaran Kebencian (Hate Speech).

Pentingnya memahami antara kebebasan berbicara dan ujaran kebencian terkait dengan jaminan hak atas kebebasan menyatakan pikiran/pendapat dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sebagaimana diatur dan dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Selain jaminan hak asasi ini, memahami dan menilai suatu tindakan yang dapat termasuk ke dalam hate speech atau tidak, bertujuan agar konsepsi hate speech tidak disalahpahami, baik oleh penegak hukum maupun masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum terhadap pelanggaran larangan mengenai ujaran kebencian dapat diterapkan secara profesional sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Pada dasarnya, ujaran kebencian berbeda dengan ujaran (speech) pada umumnya, walaupun di dalam ujaran tersebut mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar. Perbedaan ini terletak pada niat (intention) dari suatu ujaran yang memang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung (aktual) maupun tidak langsung (berhenti pada niat). Jika ujaran tersebut dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan kekerasan, menyakiti orang atau kelompok lain, maka ujaran kebencian itu berhasil dilakukan. Ada pernyataan atau ujaran yang bersifat diskriminatif namun tidak termasuk dalam kategori ujaran kebencian. Hal ini dapat dicontohkan pada stereotipe yang bias dan jahat, namun tidak sampai pada derajat stigmatisasi, merendahkan, sangat menyakiti ataupun melukai. Hate speech lebih buruk dari sekedar pernyataan yang diskriminatif. Ia menggunakan simbol tradisional untuk melecehkan seseorang karena keterikatannya pada kelompok tertentu dan sebagai ekspresi dari penghinaan kepada targetnya agar menimbulkan efek kesengsaraan secara psikologis.

Hal ini memunculkan kepelikan kedua, yaitu bahwa hate speech sangat dekat dengan jaminan hak berpendapat dan berekspresi. Kesalahan dalam menilai dan meletakkan ukuran ucapan, ujaran atau pernyataan yang terkategori ke dalam hate speech justru akan berdampak pada pembatasan terhadap hak berpendapat dan ekspresi. Sebaliknya, membuka pintu ekspresi seluas-luasnya tanpa memperhatikan aspek-aspek pernyataan yang mengandung ujaran kebencian justru membiarkan masyarakat berada pada situasi saling membenci, saling curiga, intoleran, diskriminatif, bahkan dapat menimbulkan kekerasan terhadap kelompok tertentu yang lebih lemah.

Dapat disimpulkan bahwa batasan pengertian ujaran kebencian adalah ujaran yang mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar yang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung (aktual) maupun tidak langsung (berhenti pada niat) yaitu menginspirasi orang lain untuk melakukan kekerasan atau menyakiti orang atau kelompok lain.

B. Pengaturan dan Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian melalui Media Sosial (Cyber Space).

Ujaran kebencian (Hate Speech) adalah tindakan berupa lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi atau hasutan kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras, agama, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan dan lain sebagainya. Dalam arti hukum, Hate Speech adalah perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) disebutkan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat berupa tindak pidana yang di atur dalam KUHP dan ketentuan-ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk:

  1. Penghinaan;
  2. Pencemaran nama baik;
  3. Penistaan;
  4. Perbuatan tidak menyenangkan;
  5. Memprovokasi;
  6. Menghasut;
  7. Menyebarkan berita bohong.

Tindakan yang disebut diatas memiliki dampak akan terjadinya penghilangan nyawa, kekerasan, diskriminasi, atau konflik sosial. Tujuan dari ujaran kebencian sebagaimana yang disebutkan di atas adalah untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas. Dalam huruf (h) Surat Edaran tersebut, Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:

  1. Dalam orasi kegiatan kampanye;
  2. Spanduk atau banner;
  3. Jejaring media sosial;
  4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi);
  5. Ceramah keagamaan;
  6. Media masa cetak atau elektronik;
  7. Pamflet.

Penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) mengacu pada ketentuan:

  1. Pasal 156 KUHP;
  2. Pasal 157 KUHP;
  3. Pasal 310 KUHP;
  4. Pasal 311 KUHP;
  5. Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
  6. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.

Pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan kepada diri seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 unsur persyaratan sebagai berikut:

  1. Ada suatu tindakan (commission atau omission) oleh si pelaku;
  2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam Undang-Undang;
  3. Tindakan itu bersifat melawan hukum atau unlawful;
  4. Pelakunya harus bisa dipertanggungjawabkan.

Bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian di media sosial berdasarkan asas “lex specialis derogat legi generali” mengacu kepada ketentuan Pasal 28 Ayat (2) Juncto Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Unsur-unsur tindak pidana ITE dalam Pasal 28 ayat (2), yaitu:

  1. Kesalahan: dengan sengaja;
  2. Melawan hukum: tanpa hak;
  3. Perbuatan: menyebarkan;
  4. Objek: Informasi;
  5. Tujuan: untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat. tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE berdasarkan Pasal 45A ayat (2) UU ITE adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Kerangka Konseptual dan Prinsip-Prinsip Dasar Pengaturan Kepailitan di Indonesia

Bankruptcy Law1. Sejarah Singkat dan Konsep Hukum Kepailitan di Indonesia.

Istilah “pailit” seringkali ditemukan dalam perbendaharaan bahasa Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “failite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah “to fail” dan dalam bahasa Latin menggunakan istilah “failure”.

Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris, istilah pailit dan kepailitan dalam penyebutannya mempergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap debitur Perseroan yang berada dalam keadaan tidak mampu membayar dan/atau melunasi utang-utangnya disebut “insolvency”.

Dalam Black’s Law Dictionary diketahui bahwa “bankrupt” adalah:

The state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, muticipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”.[1]

Dari pengertian “bankrupt” yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas, diketahui bahwa pengertian “pailit” dihubungkan dengan ketidakmampuan membayar (insolvency) dari debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh waktu.

Konsep kepailitan tersebut senada dengan Pasal 1 ayat (1) Faillissements Verordening yang menyatakan bahwa:

“Setiap pihak yang berutang (debitur) ketika berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan Putusan Hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seseorang atau lebih pihak yang berkedudukan sebagai kreditur, dinyatakan dalam keadaan pailit.”

Frasa “yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya menunjukkan bahwa konsep yang dianut oleh Faillissements Verordening yang mengandung persyaratan insolvency untuk dapat memailitkan debitur.

Definisi yang dijadikan tolok ukur bahwa seorang debitur secara teknis telah berada dalam keadaan insolvent pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan sebagai berikut:

“Apabila bagi para pengurus ternyata bahwa Perseroan menderita kerugian sebesar lima puluh persen dari modalnya, maka hal ini harus mereka umumkan dalam register-register yang diselenggarakan untuk itu di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, dan dalam Berita Acara. Jika kerugian tadi sebesar tujuh puluh lima persen, maka Perseroan tersebut demi hukum bubar.”

Maksud dari Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tersebut adalah apabila Perseroan mengalami kerugian lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modalnya, maka Direksi harus mengumumkan hal tersebut dalam register pada Pengadilan Negeri. Jika maksud Pasal 1 ayat (1) Faillissements Verordening maka akan terlihat korelasi yang menggambarkan pentingnya pembuktian secara teknis oleh pemohon pailit dengan cara insolvency test bahwa debitur dalam keadaan insolvency. Korelasi tersebut adalah apabila Direksi Perseroan yang mengalami kerugian 50% (lima puluh persen) tersebut tidak mengumumkan kondisi keuangannya tersebut, apabila Perseroan tersebut dipailitkan, maka Pemohon Pailit (dalam hal ini Pemohon Pailit yang dimaksud adalah kreditur sebagai Pihak Ketiga – involuntary petition) harus membuktikan bahwa Perseroan tersebut berada dalam keadaan insolvency dengan cara melakukan insolvency test.

Menurut Ricardo Simanjuntak (seorang praktisi hukum kepailitan), insolvency test hampir mustahil dilakukan, mengingat alat pembuktian keadaan insolvent dari debitur Perseroan adalah berdasarkan laporan keuangannya[2], maka dalam hal Perseroan tersebut adalah Perseroan Tertutup maka secara teknis hukum akan sangat sulit memastikan kreditur dapat menggunakan laporan keuangan tersebut, karena sifatnya rahasia (confidential). Kalaupun kreditur mendapatkannya dari pihak lain secara diam-diam, sifat tertutup dari Perseroan tersebut akan menimbulkan terjadinya permasalahan hukum dari sisi kerahasiaan dokumen, apabila bukti laporan keuangan yang diperoleh secara diam-diam tersebut dihadirkan sebagai bukti di Pengadilan. Hal tersebut menjadi salah satu alasan menurut Ricardo Simanjuntak, menjadikan Faillissements Verordening menjadi tidak efektif.

Ketidakefektifan Faillissements Verordening juga, menurut Ricardo Simanjuntak, terletak pada penggunaan waktu yang diukur dengan frasa “selekas-lekasnya” yang menyebabkan pemeriksaan permohonan pailit tidak ada bedanya dengan jangka waktu yang digunakan untuk mengadili kasus perdata.

Kedua alasan tersebut menjadi dasar pertimbangan pentingnya reformasi regulasi kepailitan agar regulasi tersebut dapat mencerminkan perwujudan asas peradilan yang cepat, sederhana, efisien, transparan, adil dan berkepastian hukum. Perubahan substansial pun dilakukan terutama pada persyaratan untuk dapat dipailitkannya debitur dengan tidak adanya keharusan untuk terlebih dahulu memuktikan bahwa debitur berada dalam keadaan insolvent. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (1) Faillissements Verordening yang mensyaratkan debitor harus berada “dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya”, diubah menjadi “debitur yang terbukti memiliki minimum dua kreditur manakala tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998[3].

Pada tanggal 22 April 1998 Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tanggal 22 April 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 87, selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan). Perppu tersebut kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi undang-undang, yaitu menjadi Undang-Undang, yaitu menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135)[4].

Segala sesuatu, termasuk undang-undang, tentu memiliki sejarah mengingat berlangsungnya perjalanan waktu. Suatu undang-undang akan dapat dipahami dengan baik apabila diketahui sejarahnya. Mengetahui sejarah undang-undang, tidak semata-mata untuk mengetahui asal mula kejadiannya dan perjalanan waktu keberadannya, tetapi juga untuk mengetahui falsafah yang terkandung di dalamnya, sistem, dan asas-asasnya. Dalam kaitan itu, untuk memahami undang-undang kepailitan Indonesia yang berlaku sekarang, perlu dipelajari sejarah undang-undang kepailitan sejak pertama kali diadakan hingga sekarang[5].

Sebagai bagian dari sejarah, undang-undang kepailitan Indonesia mengalami perubahan dan penggantian. Perubahan dan penggantian itu dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan yang timbul selama ruas waktu tertentu demi tercapainya tujuan dibuatnya undang-undang itu. Perubahan itu antara lain menyangkut kepentingan dari pihak-pihak yang diatur dan pihak-pihak yang terlibat dalam operasionalisasi undang-undang itu, terjaminnya kepastian, keadilan, dan ketertiban. Dengan mengetahui sejarah perkembangan undang-undang kepailitan yang telah ada, maka apabila kita membuat perubahan atau membuat undang-undang kepailitan yang baru, kita dapat lebih menempatknnya sebagai perangkat hukum yang dapat memenuhi kebutuhan pembangunan yang berakar pada nilai-nilai yang dijunjung dalam pandangan hidup kita sebagai bangsa. Dengan demikian, undang-undang kepailitan tersebut nantinya akan benar-benar memiliki kepribadian Indonesia yang mampu memenuhi kebutuhan bangsa[6].

Seiring dengan berjalannya waktu lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang. Sebelum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat, terlebih dahulu telah diadakan Pertemuan Setengah Kamar antara Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili oleh fraksi Dewan Perwakilan Rakyat dengan Menteri Kehakiman mewakili Pemerintah. Pada pertemuan tersebut terjadi perbedaan pendapat diantara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah mengenai substansi Perppu tersebut. Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat menginginkan agar materi yang diatur dalam Perppu itu diubah karena banyak hal yang tidak memadai pengaturannya. Namun demikian, pihak Pemerintah berpendapat bahwa sebaiknya Perppu itu diterima begitu saja oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan disahkan sebagai Undang-Undang. Alasan Pemerintah adalah karena deadline yang ditetapkan dalam letter of intent yang telah ditandatangani antara IMF dengan Pemerintah mengenai keharusan bagi Indonesia untuk segera mengundangkan Undang-Undang Kepailitan yang sudah terlampaui waktunya. Pemenuhan isi letter of intent itu merupakan syarat bagi Indonesia untuk segera memperoleh pengucuran dana pinjaman dari IMF yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia dalam rangka mengatasi kesulitan ekonomi sebagai akibat dari krisis moneter yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997. Jalan keluar sehubungan dengan perbedaan pendirian antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah itu adalah kompromi, yaitu disepakati bahwa Pemerintah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diundangkan, yaitu sejak tanggal 9 September 1998, akan menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kepailitan yang baru kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia[7].

Sesuai dengan kesepakatan tersebut seharusnya paling lambat tanggal 9 September 1999 Pemerintah sudah harus menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang baru sebagai pengganti Perppu Nomor 1 Tahun 1998 juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Namun, karena berbagai alasan dan hambatan ternyata RUU tersebut tertunda penyelesaiannya. Pada akhirnya Pemerintah berhasil menyusun RUU yang dimaksud yaitu “RUU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” dan setelah dibahas dengan DPR kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Hakikat kepailitan adalah suatu sita umum yang bersifat konservatoir terhadap seluruh harta kekayaan debitur untuk kepentingan hak-hak para krediturnya. Debitur yang dinyatakan pailit kehilangan hak penguasaan terhadap seluruh harta benda yang dimilikinya dikenal dengan istilah harta pailit. Penyelesaian harta pailit (boedel pailit) diserahkan kepada seorang Kurator, yang dibantu oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Hakim Pengadilan.

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara tegas mendefinisikan kepailitan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

Kepailitan merupakan penjabaran dari dua asas yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menentukan bahwa seluruh harta benda seseorang yang baik yang telah ada sekarang maupun yang akan datang, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, menjadi jaminan bagi seluruh perikatannya. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) memerintahkan agar seluruh harta debitur dijual lelang di muka umum atas dasar putusan hakim dan hasilnya dibagikan kepada para kreditur secara seimbang, kecuali apabila diantara para kreditur itu ada kreditur yang didahulukan pemenuhan piutangnya.

Dalam melaksanakan pembagian hasil pelelangan (penjualan) harta debitur itu, tidak mustahil timbul pertentangan diantara para kreditur. Oleh karena itu, perlu diadakan penyitaan umum (eksekusi massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitur, yang selanjutnya akan dibagikan kepada para kreditur di bawah pengawasan petugas yang berwenang untuk itu.

Secara umum dapat diklasifikasikan konsep dasar kepailitan sebagai berikut:[8]

  1. Debt collection,
  2. Debt fogiveness,
  3. Debt adjustment.

Debt collection merupakan konsep pembalasan dari kreditur terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitur atau harta debitur. Debt forgiveness dimanifestasikan dalam bentuk asset exemption (beberapa harta debitur dikecualikan terhadap boedel pailit), relief from imprisonment (tidak dipenjara karena gagal membayar utang), moratorium (penundaan pembayaran untuk jangka waktu tertentu), dan discharge of indebtedness (pembebasan debitur atau harta debitur untuk membayar utang pembayaran yang benar-benar tidak dapat dipenuhinya). Sedangkan debt adjustment merupakan hak distribusi dari para kreditur sebagai suatu grup, dengan menerapkan prinsip pro rata distribution atau structured pro rata (pembagian berdasarkan kelas kreditur) serta reorganisasi serta penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Dari pengklasifikasian konsep dasar kepailitan tersebut, maka pada dasarnya kepailitan berkaitan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh waktu. Atas ketidakmampuan tersebut, perlu dilakukan pengajuan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga, baik oleh kreditur maupun secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan orang lain atau pihak ketiga.

Konsep kepailitan didasari pada satu hal utama yang menjadi pokok dapat terjadinya kepailitan yaitu mengenai adanya “utang”. Tanpa adanya utang, maka kepailitan akan kehilangan esensinya sebagai pranata hukum untuk melikuidasi harta kekayaan debitur guna membayar utang-utangnya kepada para kediturnya[9]. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan debitur”.

Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, utang sebagai hal utama yang menjadi pokok dapat terjadinya kepailitan tidak terbatas hanya pada utang yang disebabkan karena adanya perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit yang secara tegas mengatur mengenai utang itu sendiri, namun juga dapat terjadi dan disebabkan karena adanya kewajiban-kewajiban yang timbul akibat adanya perjanjian timbal-balik manakala debitur dibebani kewajiban untuk memenuhi hak atas kreditur maupun lahir karena adanya perikatan-perikatan lain yang diatur oleh undang-undang. Kewajiban debitur untuk memenuhi hak-hak dari si kreditur seyogyanya “dinyatakan” atau “dapat dinyatakan” dalam bentuk nominal uang baik mata uang Indonesia maupun mata uang asing. Namun, di dalam ketentuan tersebut di atas tidak menentukan batasan minimum mengenai jumlah utang (yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang) yang menjadi syarat untuk dapat diajukan suatu permohonan pernyataan pailit atas harta kekayaan debitur, selebihnya berpedoman pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


2.
Prinsip-Prinsip dalam Hukum Kepailitan.

Prinsip-prinsip hukum di dalam Hukum Kepailitan diperlukan sebagai dasar pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar acuan memecahkan persoalan hukum yang timbul manakala belum atau tidak terakomodir oleh hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa prinsip dalam hukum kepailitan yang mana keberadaannya digunakan sebagai dasar untuk menemukan suatu hukum, adalah sebagai berikut:

A.      Prinsip Paritas Creditorium

Prinsip Paritas Creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditur) menentukan bahwa kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitur. Apabila debitur tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitur menjadi sasaran kreditur[10].

Prinsip Paritas Creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang dikemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur[11].

Adapun filosofi dari prinsip Paritas Creditorium adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitur memiliki harta benda, sementara utang debitur terhadap para krediturnya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitur demi hukum menjadi jaminan terhadap utang-utangnya, meski harta tersebut tidak terkat langsung dengan utang-utangnya[12].

Menurut Kartini Muljadi, peraturan mengenai Kepailitan di dalam Undang-Undang Kepailitan adalah penjabaran dari Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1132 Burgerlijk Wetboek. Hal ini dikarenakan:

    1. Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan debiturnya;
    2. Debitur tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak yang berhak atasnya, tetapi tidak lagi berhak menguasainya atau menggunakannya atau memindahkan haknya atau mengagunkannya;
    3. Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh harta pailit[13].

Namun demikian, prinsip ini tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena hal ini akan menimbulkan ketidakadilan berikutnya. Letak ketidakadilan tersebut adalah para kreditur berkedudukan sama antara kreditur satu dengan kreditur lainnya. Prinsip ini tidak membebaskan perlakuan terhadap kondisi kreditur, baik kreditur dengan piutang besar maupu kecil, pemegang jaminan, atau bukan pemegang jaminan. Oleh karenanya, ketidakadilan prinsip Paritas Creditorium harus digandengkan dengan prinsip Pari Passu Pro Rata Parte dan Structured Creditors[14].

Berbeda halnya dengan Undang-Undang Kepailitan yang menerapkan prinsip Paritas Creditorium, maka di dalam Faillissements Verordening (Peraturan Kepailitan sebelum Tahun 1998) tidak menganut prinsip Paritas Creditorium[15]. Di dalam Pasal 1 Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening) menyatakan bahwa setiap debitur yang tidak mampu membayar kembali utang tersebut baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang kerditur atau lebih, dapat diadakan putusan hakim yang menyatakan bahwa debitur yang bersangkutan dalam keadaan pailit[16].

Ketentuan di dalam Faillissementsverordening yang tidak menganut prinsip Paritas Creditorium  merupakan kelalaian pembuat undang-undang. Pentingnya prinsip Paritas Creditorium untuk dianut di dalam peraturan kepailitan adalah sebagai pranata hukum untuk menghindari unlawful execution akibat berebutnya para kreditur untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari debitur sendiri maupun kreditur yang datang terakhir atau kreditur yag lemah[17].

B.      Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte

Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagi secara proporsional diantara mereka, kecuali jika antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya[18].

Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitur untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditur secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan sama rata[19].

Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte ini bertujuan memberikan keadilan kepada kreditur dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditur yang memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitur lebih besar dari kreditur yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya[20]. Adapun pengaturan mengenai prinsip ini diatur pula di dalam Pasal 189 ayat (4) dan (5) dan penjelasan Pasal 176 huruf a Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang[21].

C.      Prinsip Structured Pro Rata

Prinsip Structured Pro Rata atau yang disebut juga dengan istilah Structured Creditors merupakan salah satu prinsip di dalam hukum kepailitan yang memberikan jalan keluar/keadilan diantara kreditur. Prinsip ini adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam debitur sesuai dengan kelasnya masing-masing. Di dalam kepailitan, kreditur diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu kreditur separatis, kreditur preferen, dan kreditur konkuren.

Menurut Jerry Hoff, pembagian kreditur di dalam hukum kepailitan dijabarkan sebagai berikut:[22]

a. Secured Creditors

Right of secured creditors, security interest are in rem right that vest in te creditor by agreement and subsequent performance of certain formalities. A creditors whose interest are secured by in rem right is usually entitled to cause the foreclosure of the collateral without a judgement, to satisfy his claim from the proceeds with priority over the other creditors. This right to foreclosure without a judgement is called the right of immediate enforcement.

b. Preferred Creditors

The Preferred Creditors have a preference to their claim. Obviously, the preference issue is only relevant if there is more than one creditor and if the assets of the debtors are not sufficient to pay of all the creditors (there is a concurcus creditorum). Preferred Creditor are required to present their claims to the receiver for verification and are thereby charged a pro rata parte share of costs of bankruptcy. There are several categories of preferred creditors: creditors who have statutory priority, creditors who have non-statutory priority, estate creditors.

c. Unsecured Creditors

The Unsecured Creditors don’t have priority and will therefore be paid, if any proceeds of the bankruptcy estate remain, after all the other creditors have received payment. Unsecured Creditors are required to present their receiver and they are charged a pro rata parte share of cost of the bankruptcy.

Kreditur yang berkepentingan terhadap debitur tidak hanya kreditur konkuren saja, melainkan juga kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (kreditur separatis) dan kreditur yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan (kreditur preferen)[23]. Ketiga kreditur ini diakui eksistensinya dan bahkan di dalam Undang-Undang Kepailitan Belanda tidak terdapat keraguan terhadap hak kreditur separatis dan kreditur preferen untuk mengajukan kepailitan.

D.     Prinsip Debt Collection

Prinsip debt collection (debt collection principle) adalah suatu konsep pembalasan dari kreditur terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitur atau harta debitur. Kepailitan dapat digunakan sebagai mekanisme pemaksaan dan pemerasan. Hukum kepailitan dibutuhkan sebagai alat collective proceeding yang berarti tanpa adanya hukum kepailitan masing-masing kreditur akan berlomba-lomba mengklaim aset-aset debitur untuk kepentingan masing-masing. Oleh karenanya, hukum kepailitan mengatasi apa yang disebut dengan collective action problem yang ditimbulkan dari kepentingan individu masing-masing kreditur.

Fred B.G. Tumbuan menyatakan bahwa didalam sistem hukum kepailitan Belanda, penerapan prinsip debt collection sangat ditekankan. Hal ini dikutip oleh Fred B.G. Tumbuan dari bukunya Professor MR. B. Wessels dari bukunya yaitu Fallietverklaring. Di dalam buku tersebut, menyatakan bahwa baik sita jaminan (conservatoir beslaglegging) maupun pernyataan permohonan pailit adalah prosedur penagihan yang tidak lazim (oineigenlijk incassoprocedures). Dinamakan “tidak lazim” karena kedua upaya hukum tersebut disediakan sebagai “sarana tekanan” (pressie middle) untuk memaksa pemenuhan kewajiban oleh debitur[24].

Berkaitan dengan penggunaan permohonan pernyataan pailit sebagai sarana untuk menekan atau memaksa debitur untuk memenuhi kewajibannya di Negeri Belanda, terdapat perlindungan yang layak bagi debitur, yaitu:[25]

    1. Pemohon pernyataan pailit harus mempunyai kepentingan wajar (redelijk belang) dalam permohonan pernyataan pailit. Syarat “kepentingan wajar” bersumber pada kaidah hukum “tanpa kepentingan, tidak ada hak gugat” (geen belang, geen actie). Kaidah hukum ini dinyatakan secara jelas dalam Pasal 3 : 303 NBW (Netherland Burgerlijk Wetboek) yang berbunyi “zonder voldoende belang kamt niemaand een rechtvordering toe” (hanya orang yang mempunyai kepentingan yang cukup berhak mengajukan gugatan hukum). Kaidah hukum ini menegaskan bahwa “kepentingan yang cukup” adalah kepentingan yang seimbang dan oleh karenanya membenarkan diajukannya gugatan hukum (evenredigheidscriterium).
    2. Hak untuk mengajukan permohonan pailit tidak boleh disalahgunakan. Larangan ini bersumber pada kaidah hukum bahwa penyalahgunaan wewenang (misbruik van bevoegheid) tidak dibenarkan. Kaidah hukum tersebut ditegaskan dalam Pasal 3 : 13 (1) NBW (Netherland Burgerlijk Wetboek) yang berbunyi “degene aan bevoegheid toekomt, kom haar niet inroepen, voor zoverhij haar misbruikt” (orang yang mempunyai suatu kewenangan tidak dapat menggunakan kewenangan tersebut sejauh ia menyalahgunakannya).

Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa segenap harta kekayaan debitur adalah menjadi jaminan terhadap utang para kreditur. Letak prinsip debt collection di dalam kepailitan yaitu berfungsi sebagai sarana pemaksa untuk merealisasikan hak-hak kreditor melalui proses likuidasi terhadap kekayaan kreditur[26]. Menurut Setiawan, peraturan kepailitan pada prinsipnya adalah debt collection law dan bahwa kepailitan merupakan suatu aksi kolektif (collective action) dalam debt collection. Douglas G. Bird menyatakan bahwa hukum kepailitan bertujuan untuk digunakan sebagai alat collective proceeding[27].

Debt collection principle merupakan prinsip yang menekankan bahwa utang dari debitur harus dibayar dengan harta yang dimiliki oleh debitur sesegera mungkin untuk menghindari itikad buruk dari debitur dengan cara menyembunyikan dan menyelewengkan terhadap segenap harta benda yang sebenarnya adalah jaminan bagi krediturnya[28]. Manifestasi dari prinsip debt collection dalam kepailitan adalah ketentuan untuk melakukan pemberesan aset dengan jalan likuidasi yang cepat dan pasti, prinsip pembuktian sederhana, diterapkannya putusan pailit secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), adanya ketentuan masa tunggu (stay) bagi pemegang jaminan kebendaan, dan kurator sebagai pelaksana pengurusan dan pemberesan[29]. Berkaitan dengan peraturan atau hukum kepailitan yang ada di Indonesia, di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sangat memegang teguh bahwa kepailitan adalah sebagai pranata debt collection. Persyaratan dipailitkan hanya berupa dua syarat kumulatif, yakni debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, serta memiliki utang setidaknya terhadap 2 (dua) kreditur atau lebih[30]. Di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menyaratkan adanya jumlah minimum utang tertentu atau disyaratkan keadaan keadaan insolven bilmana harta kekayaan (aktiva) debitur lebih kecil daripada utang-utang yang dimiliki (pasiva). Prinsip debt collection di dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia lebih mengarah kepada kemudahan untuk melakukan permohonan kepailitan[31].

Implementasi dari prinsip debt collection juga terdapat di dalam konsep mengenai sita umum harta kekayaan si pailit. Akan tetapi hal-hal yang berkaitan dengan konsep sita umum ini telah mengalami pergeseran makna dalam konteks hukum kepailitan. Hal ini terbukti dari adanya sanksi hak keperdataan dan hak-hak publik, antara lain diatur dalam Pasal 93 ayat (1) juncto Pasal 95 ayat (1), Pasal 104 ayat (2) dan (3), Pasal 110 ayat (1) juncto Pasal 112 ayat (1) serta Pasal 115 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Dari beberapa hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kepailitan mengakibatkan hukum kepailitan mengalami distorsi yang mana seharusnya kepailitan hanya berkaitan dengan kekayaan subyek hukum saja, tetapi pada kenyataannya mencakup pula hak-hak keperdataan lainnya dan bahkan hak-hak publik.

E.      Prinsip Utang

Mengenai proses beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang menjadi sangat penting dan esensial (menentukan) karena tanpa adanya utang, maka tidaklah mungkin perkara kepailitan akan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan tidaklah ada karena kepailitan adalah pranata hukum untuk membayar utang-utangnya terhadap para krediturnya[32].

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya”. Berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut, perlu dipahami dengan baik apa yang dimaksud dengan “utang”. Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan debitur”.

Sehubungan dengan pengertian utang di dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menurut Setiawan dalam tulisannya yang berjudul “Ordonansi Kepailitan Serta Aplikasi Kini”, pengertian utang sebagaimana pendapat Jerry Hoff dalam bukunya “Indonesian Bankruptcy Law”. Di bawah ini dikutip pernyataan Setiawan sebagai berikut:[33]

“Utang seyogyanya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang (manakala debitur telah menerima sejumlah uang tertentu dari krediturnya), maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertentu. Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan utang bukan hanya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena debitur telah menerima sejumlah uang tertentu dengan adanya perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitur yang timbul dari perjanjian-perjanjian lain”.

Setiawan mengemukakan pula, dengan mengutip pendapat Jerry Hoff, contoh dari kewajiban membayar debitur selain karena perjanjian kredit, sebagai berikut:[34]  

Umpamanya yang timbul sebagai akibat debitur lalai membayar uang sebagai akibat perjanjian jual-beli ataupun perjanjian-perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi debitur untuk membayar sejumlah uang tertentu, yang lebih jelasnya dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini sebagai berikut:

      • The obligation of a borrower to pay interest and repay the principal of the loan to a lender;
      • The obligation of seller to deliver a car to a purcasher pursuant to a sale and purchase agreement;
      • The obligation of builder to construct a house and deliver it to a purchaser;
      • The obligation of a guarantor to guarantee to a lender the repayment of a loan by borrower.

From the debtor’s perspective, these obligations are his claims (tagihan atau piutang).

Berkenaan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang, Kartini Muljadi, berpendapat bahwa istilah utang dalam Pasal 1 dan Pasal 212 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang (seharusnya) merujuk pada hukum perikatan dalam hukum perdata. Kartini Muljadi mengaitkan pengertian utang itu dengan Pasal 1233 dan 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Dari uraian Kartini Muljadi tersebut dapat disimpulkan bahwa ia mengartikan utang sama dengan pengertian kewajiban. Dari uraiannya pula dapat disimpulkan bawa kewajiban itu timbul karena setiap perikatan, menurut Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Selanjutnya, Kartini Muljadi menghubungkan perikatan yang dimaksud dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan, tiap-tiap perikatan (menimbulkan kewajiban) untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dengan kata lain, Kartini Muljadi berpendapat bahwa pengertian utang adalah setiap kewajiban debitur kepada setiap krediturnya baik untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu[35].

F.      Prinsip Debt Pooling

Prinsip debt pooling merupakan prinsip yang mengatur bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi diantara para krediturnya. Dalam melakukan pendistribusian aset tersebut, kurator akan berpegang pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu pro rata parte serta pembagian berdasarkan jenis masing-masing kreditur (structured creditors principle)[36]. Emmy Yuhassarie menjabarkan prinsip debt adjustment sebagai suatu aspek dalam hukum kepailitan yang dimaksudkan untuk mengubah hal distribusi dari para kreditur sebagai suatu grup. Dalam perkembangannya prinsip ini mencakup pengaturan dalam sistem kepailitan terutama berkaitan dengan bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi kepada para krediturnya[37].

Prinsip debt pooling ini juga merupakan artikulasi dari kekhususan sifat-sifat yang melekat di dalam proses kepailitan, baik itu berkenaan dengan karakteristik kepailitan sebagai penagihan yang tidak lazim (oineigenlijke incassoprocedure), pengadilan yang khusus menangani kepailitan dengan kompetensi absolut yang berkaitan dengan kepailitan dan masalah yang timbul dalam kepailitan, terdapatnya Hakim pengawas dan Kurator, serta hukum acara yang spesifik[38].


3.
Sumber Hukum Kepailitan.

Pada dasarnya sumber-sumber hukum yang mengatur tentang kepailitan di Indonesia baik secara eksplisit maupun implisit saat ini terdapat dan diatur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:

    1. Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133, Pasal 1134, Pasal 1139, Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
    2. Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
    3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
    4. Pasal 93 ayat (1) juncto Pasal 95 ayat (1), Pasal 104 ayat (2) dan (3), Pasal 110 ayat (1) juncto Pasal 112 ayat (1) serta Pasal 115 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
    5. Pasal 45 ayat (1), Pasal 55, dan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;
    6. Pasal 21 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang;
    7. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013, tanggal 11 September 2014.

4. Pengaturan dan Tujuan Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia.

Sebelum Tahun 1998 masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang diatur dalam Faillisement Verordening (Peraturan Kepailitan) yang diundangkan dalam Staatblad Tahun 1905 No. 217 juncto Staatblad Tahun 1906 No. 348. Mengingat Peraturan Kepailitan tersebut sudah sangat lama tentu dalam banyak hal terdapat beberapa kelemahan yang dikaitkan dengan keadaan dewasa ini. Bahkan kelemahan-kelemahan dijadikan celah penyalahgunaan lembaga kepailitan dalam bisnis. Kelemahan tersebut antara lain berkaitan dengan persyaratan pailit, jangka waktu proses penyelesaian pailit baik yang menyangkut proses penyelesaian sidang di Pengadilan maupun di pihak Kurator, dalam hal ini Balai Harta Peninggalan (BHP).

Berbagai kelemahan yang terdapat pada Peraturan Kepailitan tersebut kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 menjadi Undang-Undang. Dalam perkembangannya, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 juga dijumpai berbagai macam kekurangan sehubungan dengan praktik yang terjadi di lapangan, terutama mengenai pengertian utang, pengertian utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, serta kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit perusahaan asuransi. Hingga pada bulan Desember tahun 2004, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-undang ini mencabut seluruh ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan yang berlaku sebelumnya.

Undang-Undang Kepailitan, lebih luas lagi hukum kepailitan diadakan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:[39]

    1. Meningkatkan upaya pengembalian kekayaan. Semua kekayaan debitur harus ditampung dalam suatu kumpulan dana yang sama disebut sebagai harta kepailitan yang disediakan untuk pembayaran tuntutan kreditur. Kepailitan menyediakan suatu forum untuk likuidasi secara kolektif atas aset debitur. Hal ini mengurangi biaya administrasi dalam likuidasi dan pembagian harta kekayaan debitur. Ini memberikan suatu jalan yang cepat untuk mencapai likuidasi dan pembagian.
    2. Memberikan perlakuan baik yang seimbang dan yang dapat diperkirakan sebelumnya kepada para kreditur. Pada dasarnya para kreditur dibayar secara pari passu. Mereka menerima suatu pembagian pro rata parte dari dana tuntutan masing-masing. Prosedur dan peraturan dasar dalam hubungan ini harus dapat memberikan suatu kepastian dan keterbukaan. Kreditur harus mengetahui sebelumnya mengenai kedudukan hukumnya.
    3. Memberikan kesempatan yang praktis untuk reorganisasi perusahaan yang sakit tetapi masih potensial bila kepentingan para kreditur dan kebutuhan sosial dilayani dengan lebih baik dengan mempertahankan debitur dalam kegiatan usahanya. Dalam hukum kepailitan modern, perhatian yang besar diberikan kepada kepentingan sosial yang dilayani oleh kesinambungan kegiatan usaha dan terdapatnya kelangsungan kesempatan kerja.

Menurut Professor Radin dalam bukunya yang berjudul “The Nature of Bankruptcy”, tujuan umum dari dari hukum kepailitan adalah untuk menyediakan suatu forum kolektif untuk mengklasifikasikan (memilah-milah) hak-hak dari berbagai penagih (kreditur) terhadap harta kekayaan debitur yang tidak cukup nilainya[40]. Sedangkan menurut Robert L. Jordan sebagaimana dikutip dari Levinthal, tujuan utama dari hukum kepailitan diuraikan sebagai berikut:[41]

All bankruptcy law, however, no matter when or where devised and enacted, has at least two general objects in view. It aims, first to secure and equitable division of the insolvent debtor’s property among all his creditors, and, in second place, to prevent on the part of the insolvent debtor conducts detrimental to the interest of his creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect the creditors, first from one another and, secondly, from their debtor. A third object the protection of the honest debtor from his creditors, by means of the discharge, is ought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this is by no means a fundamental feature of the law”.

Dari kedua hal tersebut di atas dapat diketahui mengenai tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah sebagai berikut:[42]

    1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur diantara para krediturnya;
    2. Mencegah agar kreditur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur;
    3. Memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.

Sementara itu, Profesor Warren dalam bukunya yang berjudul “Bankruptcy Policy” mengemukakan sebagai berikut:[43]

In bankruptcy, with in adequate pie to divide and the looming discharge of unpaid debts, the disputes center on who is entitled to shares of the debtor’s assets and how these shares are to be divided. Distribution among creditors is no incidental to other concerns; it’s the center of the bankruptcy scheme”.

Berkenaan dengan pendapat tersebut, dapat disampaikan bahwa intinya hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah “a debt collective systems”, walaupun bankruptcy bukan satu-satunya “debt collection system”. Sehingga tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing[44]. Hukum kepailitan dibutuhkan sebagai alat collective proceeding, dalam rangka mengatasi collective action problem yang timbul dari kepentingan masing-masing kreditur.

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dikemukakan mengenai beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:

    1. Pertama, untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur;
    2. Kedua, untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau kreditur lainnya;
    3. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.

Ketiga hal tersebut di atas yang menurut pembuat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang merupakan tujuan dibentuknya undang-undang tersebut yang merupakan produk hukum nasional yang sesuai dengan kebutuhan dan pembangunan hukum masyarakat.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, adapun tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah sebagai berikut:[45]

    1. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan bahwa “semua harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitur”, yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitur. Menurut hukum Indonesia, asas jaminan tersebut dijamin oleh Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Hukum kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut diantara para kreditur terhadap harta debitur berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya Undang-Undang Kepailitan, maka akan terjadi kreditur yang lebih kuat akan mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada kreditur yang lemah;
    2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur diantara para kreditur sesuai degan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren atau unsecured creditors berdasarkan pertimbangan besarnya tagihan masing-masing). Di dalam hukum Indonesia asas pari passu dijamin oleh Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    3. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan seorang debitur pailit, maka debitur menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya. Putusan pailit memberikan status hukum dari harta kekayaan debitur berada di bawah sita umum (disebut harta pailit);
    4. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, kepada debitur yang beritikad baik memberikan perlindungan dari para krediturnya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan Amerika Serikat, seorang debitur perorangan (individual debtor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaannya. Sekalipun nilai harta kekayaannya setelah dilikuidasi atau dijual oleh likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada para krediturnya, tetapi debitur tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut. Kepada debitur tersebut diberi kesempatan untuk memperoleh financial fresh start. Debitur tersebut dapat memulai kembali melakukan bisnis tanpa dibebani dengan utang-utang yang menggantung dari masa lampau sebelum putusan pailit. Menurut US bankruptcy Code, financial fresh start hanya diberikan kepada debitur pailit perorangan dan tidak diberikan kepada debitur badan hukum. Jalan keluar yang dapat ditempuh oleh perusahaan yang pailit ialah membubarkan perusahaan debitur yang pailit itu setelah likuidasi berakhir. Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitaan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, financial fresh start tidak diberikan kepada debitur, baik debitur perorangan maupun debitur badan hukum setelah tindakan pemberesan oleh kurator selesai dilakukan. Artinya, apabila setelah tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaan debitur selesai dilakukan oleh kurator dan ternyata masih terdapat utang-utang yang belum lunas, debitur tersebut masih tetap harus menyelesaikan utang-utangnya (lihat Pasal 204 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Penjelasan umum dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Kepailitan tidak membebaskan orang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya”. Setelah tindakan pemberesan atau likuidasi selesai dilakukan oleh kurator, debitur kembali diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaannya, artinya debitur boleh kembali melakukan kegiatan usaha, tetapi tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utang-utang yang belum lunas;
    5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia yang berlaku pada saat ini, sanksi perdata maupun pidana tidak diatur di dalamnya, tetapi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di beberapa negara lain, sanksi-sanksi itu dimuat di dalam Undang-Undang Kepailitan negara yang bersangkutan. Di Inggris sanksi-sanksi pidana berkenaan dengan kepailitan ditentukan dalam Companies Act 1985 dan Insolvency Act 1986;
    6. Memberikan kesempatan kepada debitur dan para krediturnya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang debitur. Dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat, hal ini diatur dalam Chapter 11 mengenai Reorganization. Di dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia kesempatan bagi debitur untuk mencapai kesepakatan restrukturisasi utang-utangnya dengan para krediturnya diatur dalam Bab III tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

5. Asas-Asas Hukum Kepailitan (Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa asas hukum, atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam atau di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dari peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari-cari sifat umum dalam peraturan konkret tersebut[46]. Sifat-sifat khusus dari suatu peraturan perundang-undangan yang teraktualisasi sebagai suatu asas hukum diperoleh melalui penilaian oleh pembentuk undang-undang, yakni mempresentasikan pertimbangan nilai-nilai etis yang berperan sebagai pedoman hidup bersama. Sebagai nilai-nilai etis yang dipilih, maka asas hukum merupakan faktor ideal dari kehidupan bermasyarakat. Pembentuk undang-undang berperan besar dalam pencarian, penilaian dan perumusan suatu asas hukum.

Asas hukum merupakan intisari atau jantung dari hukum. Barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa asas hukum merupakan jantung dari suatu peraturan atau hukum. Sebagai intisari dari hukum, asas merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini bermakna peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya dapat dikembalikan kepada asas-asas tersebut.

Berdasarkan pengertian asas hukum, maka dapat dinyatakan bahwa asas hukum itu memiliki fungsi sebagai berikut:

    1. Sebagai tali pengikat antara berbagai norma hukum, yang akan menjamin keterkaitan norma hukum dalam satu ikatan sistem;
    2. Menjamin norma hukum dibentuk dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan hukum (keadilan dan kepastian hukum);
    3. Menjamin keluwesan (fleksibilitas) penerapan norma hukum pada suatu situasi yang konkret;
    4. Sebagai instrumen untuk mengarahkan penerapan norma hukum yang akan bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku.

Ada beberapa asas yang harus diperhatikan oleh undang-undang kepailitan pada suatu negara agar undang-undang tersebut dapat memenuhi kebutuhan dunia usaha, baik nasional maupun internasional. Demikian pula seharusnya dengan Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya umumnya mengemukakan bahwa undang-undang tersebut didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain (secara eksplisit disebutkan dengan kata-kata “antara lain” yang berarti tidak terbatas pada asas-asas yang disebutkan itu saja) adalah sebagai berikut:

A.      Asas Keseimbangan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang beritikad tidak baik. Adrian Sutedi[47] menyampaikan bahwa:

“Undang-Undang Kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditur dan debitur, menjunjung keadilan dan memperhatikan kepentingan keduanya, meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil, terbuka, dan efektif”.

Filosofi seperti ini terdapat pula dalam Hukum Kepailitan Amerika Serikat yang bertujuan memberikan kesempatan kepada debitur untuk berusaha kembali agar terlepas dari utang yang lama, sehingga menekankan pada prinsip fresh and start[48].

B.      Asas Kelangsungan Usaha

Asas kelangsungan usaha merupakan salah satu asas hukum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sebagai asas hukum yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka asas kelangsungan usaha telah melalui proses penilaian etis dari pembentuk undang-undang. Dengan demikian, asas keseimbangan usaha sesungguhnya merupakan hasil pengejawantahan pemikiran manusia yang harus menjadi intisari dalam penyelesaian sengketa utang melalui kepailitan dan penundaan pembayaran utang.

Penilaian etis ini juga didasarkan pada tradisi antara pelaku bisnis dalam cara menyelesaikan sengketa. Kedudukan kreditur yang dapat berganti posisi sebagai debitur dalam perjanjian maupun perikatan lainnya memerlukan perlakuan yang standar manakala debitur mengalami kesulitan keuangan. Dengan demikian, perlu ditetapkan standar toleransi yang akan melindungi debitur yang mengalami kesulitan keuangan.

Pengertian asas kelangsungan usaha sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah dimungkinkannya perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan. Norma tersebut dalam Pasal 104 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut:

“Berdasarkan persetujuan panitia kreditur sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha debitur yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali”.

Sedangkan menurut Pasal 104 ayat (2) dirumuskan sebagai berikut:

“Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditur, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Permohonan asas kelangsungan usaha dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah dalam konteks setelah penjatuhan putusan pailit. Sedangkan penormaan dalam rangka penjatuhan putusan pailit tidak secara tegas mengaturnya. Dengan demikian, penjatuhan putusan pailit mengacu pada ketentuan norma dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa:

“Permohonan pailit harus dikabulkan apabila fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”.

Pasal di atas tersebut memberikan penegasan bahwa patokan hakim untuk mengabulkan sebuah permohonan pailit hanya didasarkan pada syarat yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) bahkan undang-undang menyatakan dengan frasa “harus dikabulkan”.

Dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, dimungkinkan debitur dapat terus menjalankan usahanya sebagai suatu going concern dengan memberikan kesempatan kepada debitur untuk memperoleh kelonggaran waktu yang wajar dari kreditur-krediturnya guna dapat melunasi utang-utangnya, baik dengan dan atau tanpa memperbaharui syarat-syarat perjanjian kredit. Dengan demikian, melalui pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang yang diimplementasikan ke dalam bentuk kelangsungan usaha yang diberikan kepada debitur, maka debitur dapat melakukan restrukturisasi utang.

C.      Asas keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenui rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak memperdulikan kreditur lainnya[49].

Berdasarkan asas keadilan, hukum kepailitan harus memenuhi rasa keadilan bagi para pihak, sehingga putusan pernyataan pailit seharusnya berdasarkan persetujuan para kreditur mayoritas[50], dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus mengkriminalisasi menyangkut kecurangan kepailitan debitur[51].

D.     Asas Integrasi

Asas integrasi dalam Undang-Undang ini (Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata (BW) dan hukum acara perdata nasional (HIR/R.Bg), kecuali untuk hal-hal yang ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


6.
Definisi Kepailitan dan Unsur-Unsurnya.

Hakikat kepailitan adalah suatu sita umum yang bersifat konservatoir terhadap seluruh harta kekayaan debitur untuk kepentingan para krediturnya. Debitur yang dinyatakan pailit kehilangan hak penguasaan terhadap seluruh harta benda yang dimilikinya atau dikenal dengan istilah harta pailit. Penyelesaian harta pailit (boedel pailit) diserahkan kepada Kurator yang dibantu Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Hakim Pengadilan yang berwenang.

Definisi kepailitan diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitaan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebagai berikut:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dilakukan oleh seorang Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur dari definisi kepailitan:

A.      Sita Umum atas Semua Kekayaan Debitur Pailit

Sita umum atas semua kekayaan debitur pailit merupakan pengejawantahan dari Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), menentukan sebagai berikut:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”.

Sita umum yang dimaksud meliputi seluruh harta kekayaan debitur (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), sehingga seluruh harta kekayaan debitur tersebut dikualifikasikan sebagai boedel pailit, kecuali benda dan jasa yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kepailitan sebagai sita umum atas semua harta kekayaan debitur untuk pembayaran utang kepada kreditur berfungsi sebagai pranata hukum penyelesaian utang dan memberikan perlindungan hukum baik kepada debitur maupun kreditur. Sebagai lembaga sita umum dalam penyelesaian utang debitur, kepailitan dipandang sebagai jalan keluar bagi permasalahan utang piutang antara debitur dengan para krediturnya. Ricardo Simanjuntak (dalam Emmy Yuhassasrie dan Tri Harnowo, 2005:55-56)[52] berpandangan bahwa lembaga kepailitan sebagai jalan keluar yang bersifat komersial dari persoalan utang-piutang yang menghimpit debitur apabila sudah tidak mampu lagi membayar utang-utangnya tersebut kepada para kreditur. Sehingga, keadaan jatuh tempo ini sudah didasari oleh debitur dan dimungkinkan dilakukannya pengajuan permohonan pailit terhadap dirinya sendiri (voluntary petition for self bankruptcy) atau apabila debitur di kemudian hari tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (involuntary petition for self bankruptcy) permohonan pailit diajukan oleh krediturnya.

Jika debitur hanya berutang kepada seorang kreditur saja, maka seluruh harta kekayaannya menjadi jaminan bagi pelunasan utang tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya tidak diperlukan pranata hukum kepailitan. Namun, jika ternyata debitur memiliki lebih dari 1 (satu) orang kreditur maka harta kekayaan debitur haruslah dibagi menurut prinsip di bawah ini, sehingga untuk itu diperlukan pranata hukum kepailitan:

      1. Pari passu, yaitu kreditur secara bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan;
      2. Pro rata atau proporsional, yaitu dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing kreditur dibandingkan dengan piutang para kreditur secara keseluruhan sehingga memperoleh presentase tertentu. Presentase itulah yang menjadi bagiannya dari jumlah seluruh harta kekayaan debitur tersebut.

Prinsip pari passu dan pro rata tercantum dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang berbunyi:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

Oleh karena harta kekayaan debitur pailit haru dibagi secara pari passu dan pro rata kepada masing-masing kreditur (dalam hal ini kreditur konkuren), kecuali para kreditur tersebut mempunyai alasan-alasan yang sah untuk didahulukan (dalam hal ini adalah kreeditur separatis dan kreditur preferen), maka kekayaan debitur harus diletakkan di bawah sita umum.

B.      Pengurusan dan Pemberesannya Dilakukan oleh Kurator.

Pengurusan dan pemberesan dalam kepailitan berbeda dengan pengurusan dan pemberesan dalam likuidasi. Mekanisme likuidasi yaitu adanya verifikasi utang dan verifikasi debitur. Namun, dalam pelaksanaannya likuidasi dilakukan oleh Likuidator manakala Direksi dapat menjadi Likuidator apabila disepakati dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Sedangkan dalam kepailitan hanya bisa dilakukan oleh seorang Kurator[53].

C.      Dibawah Pengawasan Hakim Pengawas

Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang[54]. Fungsinya adalah untuk mengawasi jalannya pengurusan dan pemberesan oleh Kurator.


7.
Syarat-Syarat agar Permohonan Pernyataan Pailit Bisa Diterima oleh Pengadilan.

Dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit pada Pengadilan yang berwenang (dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga), terdapat beberapa persyaratan yang harus diperhatikan oleh pemohon agar permohonannya tersebut tidak ditolak dan/atau dapat diterima serta dikabulkan oleh Pengadilan yang berwenang (Pengadilan Niaga). Adapun syarat-syarat tersebut terdiri dari syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil agar Permohonan Pernyataan Pailit Bisa Diterima oleh Pengadilan terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sedangkan syarat formil terkandung dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.

Syarat materiil agar permohonan pernyataan pailit bisa diterima oleh Pengadilan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas terkandung syarat-syarat materiil untuk melakukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan yang berwenang (Pengadilan Niaga). Apabila diuraikan unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sebagai berikut:

A.      Adanya Debitur

Debitur dalam hal ini menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan. Debitur bisa berupa perorangan (natuurlijk persoon; human being) atau badan hukum (rechts persoon; artificial persoon) seperti halnya Perseroan Terbatas.

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, memberikan ruang bagi seorang debitur untuk dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya sendiri (voluntary petition) apabila menenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

      1. Debitur mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur (minimal lebih dari satu kreditur);
      2. Debitur sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Dengan syarat-syarat tersebut, dapat diartikan bahwa ketika debitur mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya harus dapat mengemukakan dan membuktikan bahwa memiliki minimal lebih dari 1 (satu) kreditur. Tanpa dapat membuktikan hal itu, seyogyanya pengadilan menolak permohonan pailit tersebut. Debitur harus pula dapat membuktikan pula dapat membuktikan bahwa ia telah tidak membayar salah satu utang krediturnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Dengan demikian, hal tersebut merupakan ketentuan lazim, namun ketentuan tersebut membuka ruang bagi debitur yang nakal untuk melakukan kecurangan maupun rekayasa untuk menyelamatkan sebagian harta kekayaannya, atau bahkan tidak menutup kemungkinan membuka celah bagi debitur menyembunyikan beberapa aset-asetnya untuk kepentingan pribadinya sebelum mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Mantan Hakim Agung Retnowulan Sutantio (dalam Sutan Remy Sjahdeini, 2010:105)[55], antara lain mengemukakan kemungkinan terjadinya masalah-masalah sebagai berikut:

      • Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang pemohon yang dengan sengaja telah membuat utang kanan-kiri dengan maksud untuk tidak membayar dan setelah itu mengajukan permohonan untuk dinyatakan pailit. Apakah permohonan semacam itu (akan) dinyatakan tidak dapat diterima, diterima, atau ditolak?
      • Kepailitan diajukan oleh teman baik termohon pailit, yang berkolusi dengan orang atau badan hukum yang dimohon agar dinyatakan pailit, sedangkan alasan yang mendukung permohonan tersebut sengaja dibuat tidak kuat, sehingga jelas permohonan semacam ini justru dilakukan untuk menghindarkan agar kreditur yang lain tidak dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur itu, setidak-tidaknya permohonan kreditur yang lain akan terhambat.

B.      Adanya Dua Kreditur atau Lebih

Syarat “adanya dua kreditur atau lebih” merupakan syarat materiil terkait Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang. Kreditur menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

Persyaratan mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal dengan istilah “concurcus creditorum”. Keharusan untuk adanya dua atau lebih kreditur tersebut ada hubungannya dengan tujuan hukum kepailitan, yaitu pembagian kekayaan debitur kepada para kreditur.

Ketentuan di atas merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Menurut Sutan Remy Sjahdeini, rasio kepailitan ialah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitur yang setelah dilakukan rapat verifikasi utang piutang tidak tercapai perdamaian atau accord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitur untuk kemudian hasil perolehannya dibagi-bagikan kepada semua krediturnya sesuai dengan tata urutan tingkat kreditur sebagaimana diatur oleh undang-undang[56].

Apabila seorang debitur hanya memiliki 1 (satu) orang kreditur maka eksistensi dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kehilangan “raison d’etre”-nya. Apabila debitur yang hanya memiliki seorang kreditur dibolehkan pengajuan pernyataan pailit terhadapnya, maka harta kekayaan debitur yang menurut Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) merupakan jaminan utangnya tidak perlu diatur mengenai pembagian hasil penjualan harta kekayaannya. Sudah pasti seluruh hasil penjualan harta kekayaan tersebut merupakan sumber pelunasan bagi kreditur satu-satunya itu. Tidak akan ada ketakutan terjadi perlombaan dan perebutan terhadap harta kekayaan debitur karena hanya ada satu orang kreditur[57].

Dalam hal mengajukan permohonan pernyataan pailit atas harta kekayaan debitur, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menentukan syarat khusus permohonan pernyataan pailit atas harta kekayaan debitur diajukan oleh minimal atau setidak-tidaknya 2 (dua) orang kreditur atau lebih. Bahwa menurut ketentuan Pasal tersebut, permohonan pernyataan pailit atas harta kekayaan debitur dapat diajukan oleh 1 (satu) orang kreditur. Namun demikian, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak pula secara eksplisit menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit itu harus disetujui oleh para kreditur lainnya (yang tidak turut serta dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit). Hal ini akan sangat merugikan para kreditur lainnya itu. Padahal, tujuan dari diadakannya Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang itu untuk melindungi hak-hak para kreditur tersebut.

Oleh karena Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menganut asas bahwa “putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga hanya dapat dijatuhkan berdasarkan persetujuan semua atau sebagian besar kreditur”, maka para kreditur bisa saja berlomba-lomba saling mendahului untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memang tidak mewajibkan bagi hakim pada Pengadilan Niaga untuk memanggil atau meminta persetujuan atau setidak-tidaknya mendengarkan mendengar pendapat dari kreditur-kreditur lainnya yang tidak turut mengajukan permohonan pernyataan pailit (dalam hal permohonan pernyataan pailit hanya diajukan oleh seorang atau beberapa kreditur). Namun sebaliknya pula, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewwajiban Pembayaran Utang pun tidak melarang apabila hakim memanggil kreditur-kreditur lain yang tidak turut mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk dimintai pendapat atau persetujuan sehubungan adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditur lainnya. Namun demi memperoleh putusan yang fair dan adil, seyogyanya hakim pada Pengadilan Niaga sebelum memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditur terhadap harta kekayaan debitur, maka terlebih dahulu memanggil dan meminta pendapat kreditur-kreditur lainnya, terutama kreditur-kreditur yang menguasai sebagian besar jumlah utang debitur yang bersangkutan. Sikap hakim demikian ini yang sejalan dengan Pasal 259 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengenai hak debitur untuk memohon kepada Pengadilan Niaga agar dilaksanakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan memberikan putusannya, hakim yang berwenang harus mendengar pendapat para kreditur dan memanggil mereka secara layak.

Berkenaan dengan hal tersebut, apabila debitur tidak dapat melunasi utang-utangnya hanya kepada satu atau dua kreditur saja, sedangkan terhadap kreditur-kreditur lainnya (atau mayoritas kreditur terutama kreditur-kreditur separatis dan preferen) ternyata debitur masih mampu melaksanakan kewajiban untuk membayar utang-utangnya, maka hakim pada Pengadilan Niaga sudah sepatutnya menolak permohonan pernyataan pailit tersebut dan menyatakan agar kreditur-kreditur yang bersangkutan mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri atau lembaga peradilan umum yang berwenang.

C.     Tidak Membayar Lunas Sedikitnya Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih.

Syarat “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan bisa ditagih” merupakan syarat materiil, sebagai lanjutan dari syarat “adanya dua kreditur atau lebih” terkait Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Syarat “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” memiliki makna bahwa agar dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit, maka dari dua kreditur atau lebih, minimal ada satu utang kepada salah satu kreditur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Yang dimaksud dengan “sudah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihan sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase[58].

Definisi utang diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan sebagai berikut:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur”.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menentukan persyaratan permohonan pailit terhadap harta kekayaan debitur dengan menentukan besaran atau jumlah utang yang tidak dibayar berkenaan dengan aset yang dimiliki aset debitur. Dengan keadaan ini dapat saja terjadi dan memang terlihat dari beberapa putusan pengadilan yang menyatakan debitur dalam keadaan pailit, padahal jumlah aset debitur jauh lebih banyak daripada utangnya.

Mengenai persyaratan mengajukan permohonan pernyataan pailit terutama yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Zahrul Rabain berpandangan bahwa “Undang-Undang Kepailitan di Indonesia terlalu mudah mempailitkan perusahaan, karena cukup ada dua kreditur, satu utang saja tidak dibayar pada tenggat waktu, maka bisa dipailitkan. Syaratnya terlalu simple dan hakim harus memutus dalam waktu singkat”. Senada dengan pendapat tersebut, Sutan Remy Sjahdeini menyatakan apabila syarat yang ditentukan oleh undang-undang sangat longgar dengan mudah suatu debitur yang seharusnya belum dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan[59], maka sistem perekonomian dan bisnis negara yang bersangkutan akan rentan terhadap kehancuran[60].

Oleh karena itu, menurut Siti Anisah seharusnya Undang-Undang Kepailitan memiliki insolvency test sebagai syarat untuk permohonan pernyataan pailit. Ada beberapa alasan atau rasio yang dinyatakan Siti Anisah mengenai insolvency test tersebut adalah untuk mencegah debitur yang asetnya lebih banyak dibandingkan utangnya yang dinyatakan pailit oleh pengadilan. Seorang dianggap solven jika dan hanya orang tersebut dapat melunasi utangnya yang telah jatuh waktu  dan dapat ditagih. Debitur juga dianggap solven apabila aset debitur tidak melebihi utangnya[61].

Berkenaan dengan hal tersebut diatas, maka selanjutnya perlu diketahui pula mengenai syarat formil dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit yaitu terkait dengan adanya pembuktian sederhana (summarily proving). Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dna Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan sebagai berikut:

“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”.

Frasa “fakta dan kenyataan terbukti secara sederhana” (summarily proving) dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut berarti bahwa keberadaan utang yang dimaksudkan oleh pemohon tidak dipersengketakan lagi. Dengan kalimat lain, keberadaan utang yang secara pembuktian telah sangat kuat dan jelas keberadaannya tersebut membuat langkah pembuktian terhadapnya dalam hal debitur mencoba mengingkarinya cukup dilakukan secara sederhana (summarily proving). Jika utang tersebut masih dipersengketakan, sehingga pembuktian terhadap utang tersebut bukan kewenangan Pengadilan Niaga. Sengketa utang piutang tersebut diselesaikan melalui jalur gugatan perdata pada Pengadilan Negeri yang berwenang.

Namun, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan penjelasan mengenai bagaimana pembuktian sederhana ini dapat diterapkan. Tidak adanya definisi serta batasan yang jelas mengenai pembuktian sederhana dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengakibatkan pelaksanaan dan penafsiran serta pertimbangan yang berbeda-beda oleh Hakim yang menangani perkara kepailitan.

Pembuktian sederhana dalam praktiknya seringkali disalahgunakan dan menimbulkan kerugian baik bagi pihak debitur maupun kreditur, manakala debitur yang beritikad tidak baik dapat dengan mudah memohon kepailitan atas dirinya sendiri sepanjang debitur tersebut memenuhi syarat untuk dapat dinyatakan pailit[62]. Ataupun sebaliknya, kreditur dapat dengan mudah memohonkan pailit debitur sepanjang syarat utang dapat dibuktikan secara sederhana.


Endnotes
(Daftar Bacaan dan Referensi)


[1] Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 9.

[2] Berdasarkan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tata cara pembuktian salah satunya melalui surat (dokumen), dan bukti surat tersebut harus asli, berdasarkan Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Lihat Ricardo Simanjutak, S.H., L.LM., ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 292.

[3] Perubahan Faillissements Verordening tersebut merupakan suatu konsekuensi dari reforrmasi hukum dalam mengembalikan kepercayaan pelaku usaha domestik maupun asing terhadap hukum bisnis dan kredibilitas peradilan di Indonesia. Perubahan tersebut merupakan perubahan yang bersifat mendesak (vide penjelasan dalam sejarah dan pengaturan hukum kepailitan di Indonesia poin A.1), sehingga perubahan tersebut tidak langsung dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, tetapi didahului dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998. Ibid.

[4] Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009, hlm. 17-18.

[5] Ibid, hlm. 18.

[6] Ibid.

[7] Pada waktu itu yang menjadi Menteri Kehakiman adalah Prof. Muladi, S.H. atas permintaan beberapa fraksi Dewan Perwakilan Rakyat diadakan Pertemuan Setengah Kamar antara Menteri Kehakiman dengan DPR. Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. mengtahui tentang terjadinya kompromi tersebut karena Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. sebagai Tim Pakar Menteri Kehakiman yang ditugasi oleh Menteri untuk membantu Menteri dalam hal-hal yang menyangkut perbankan dan keuangan, tela diminta untuk mendampingi Menteri Kehakiman menghadap dan berunding dengan para anggota DPR yang hadir dalam Pertemuan Setengah Kamar itu. Selain didampingi oleh Prof. Dr. Sutan Remy Sjadeini, S.H., Menteri Kehakiman kala itu juga didampingi oleh Prof. Dr. Eman Rajagukguk, S.H., LLM., yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan. Ibid, hlm. 27.

[8] Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya: Prosidings Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah–Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Cetakan Ke – II, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005, hlm. Xix.

[9] M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 34.

[10] Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, Bandung: Alumni, 2003, hlm. 135.

[11] M. Hadi Subhan, Op.Cit., hlm. 27-28.

[12] Ibid., hlm. 28.

[13] Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Rudhy A. Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang  Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001, hlm. 300.

[14] M. Hadi Subhan Op.Cit., hlm. 29.

[15] Ibid., hlm. 73-74.

[16] Ibid., hlm. 74.

[17] Ibid.

[18] Prinsip ini terdiri dari istilah Pari Passu yaitu bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan, dan Pro Rata Parte (proporsional) yaitu dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaan debitur.

[19] M. Hadi Subhan, Op.Cit., hlm. 30.

[20] Ibid.

[21] Pasal 189 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berbunyi:

(4) Pembayaran kepada Kreditur:

a. Yang mempunyai hak yang didahulukan, termasuk di dalamnya yang hak istimewanya dibantah; dan
b. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dibayar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka.

(5) Dalam hal hasil penjualan benda-benda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mencukupi untuk membayar seluruh piutang kreditor yang didahulukan, maka untuk kekurangannya mereka berkedudukan sebagai kreditur konkuren.
Di dalam Penjelasan Pasal 176 huruf a Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penudaan Kewajiban Pembayaran Utang berbunyi bahwa:

“yang dimaksud dengan Pro Rata adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing”.

[22] M. Hadi Subhan, Op.Cit., hlm. 32.

[23] Ibid., hlm. 33.

[24] Fred B.G. Tumbuan, “Komentar atas Catatan terhadap Putusan No. 14 K/N/2004 jo. No. 18/Pailit/P.Niaga/Jkt.Pst.” dalam Valerie Selvie Niaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Negeri Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya, Jakarta, 2005, hlm. 11.

[25] Ibid.

[26] M. Hadi Subhan, Op.Cit., hlm. 39.

[27] Ibid, hlm. 40.

[28] Ibid, hlm. 41.

[29] Ibid.

[30] Syarat kepailitan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

[31] M. Hadi Subhan, Op.Cit., hlm. 81-82.

[32] Ibid., hlm. 34.

[33] Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 87.

[34] Ibid, hlm. 88.

[35] Ibid, hlm. 88-89.

[36] M. Hadi Subhan, Op.Cit., hlm. 41.

[37] Ibid., hlm. 42.

[38] Ibid.

[39] Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, Penerjemah: Kartini Muljadi, Penerbit: PT. Tata Nusa, Jakarta, 2000, hlm. 9-10.

[40] Robert L. Jordan, et.al, Bankruptcy, Foundation Press, New York, 1999, hlm. 2.

[41] Ibid., hlm. 17.

[42] Ibid.

[43] Epstein, et.al., Bankruptcy, St. Paul, West Publishing Co., Minnesota, 1993, hlm. 2.

[44] Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo, Op.Cit., hlm. 96.

[45] Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 29-31.

[46] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Ke-3, Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 33.

[47] Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hlm. 30.

[48] Gregory J. Churchill dalam Ridwan Khairandy, “Beberapa Kelemahan Mendasar Undang-Undang Kepailitan Indonesia”, Jurnal Magister Hukum Vol. 2 No. 2, Magiter Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Februari 2000, hlm. 74.

[49] Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm 51.

[50] Adrian Sutedi, Loc.Cit.

[51] Ibid., hlm. 31.

[52] Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo, Op.Cit., hlm. 55-56.

[53] Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang-perorangan yang dangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang.

[54] Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

[55] Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 105.

[56] Ibid., hlm. 53.

[57] Ibid.

[58] Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

[59] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Putusan Nomor 071/PUU-II/PUU-III/2005 dan 001-002/PUU-III/2005 yang menyatakan longgarnya syarat mengajukan permohonan pailit merupakan kelalaian pembuat undang-undang dalam merumuskan Pasal 2 ayat (1), dengan tidak adanya persyaratan “tidak mampu membayar”, maka kreditur dapat dengan mudah mengajukan permhonan pernyataan pailit tanpa harus membuktikan bahwa perusahaan dalam keadaan tidak mampu.

[60] Sutan Remy Sjahdeini, Makalah Paparan di BPHN dalam Rapat Tim Pokja Penyusunan Naskah Akademik RUU KPKPU, 2017, hlm. 127.

[61] Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditur dan Kreditur dalam Hukum Kepailitan Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 469.

[62] Robert Sunarmi, Dedi Suharto, dan T. Keizerina Devi Anwar, “Konsep Utang Dalam Hukum Kepailitan Dikaitkan Dengan Pembuktian Sederhana (Studi Putusan No. 04/PDT.SUS.PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST)”, Usu Law Journal Volume 4 Nomor 4, Oktober 2016, hlm. 33.

SEBUAH RINGKASAN MENGENAI ASAS-ASAS DAN DASAR YURIDIS BERLAKUNYA KONTRAK KERJA KONSTRUKSI (KONTRAK PENGADAAN JASA KONSTRUKSI) DALAM TEORI DAN PRAKTIK

Legal Akses to JusticeKontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) di antara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. Kontrak juga sering disebut dengan perjanjian, hal ini secara jelas dapat dilihat dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Buku Ketiga Bab II tentang Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian, yang dalam bahasa Belanda disebut van verbintenissen die uit contract of overenkoomst geboren worden. Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya para pihak yang saling mengikatkan diri.

Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tentang Perikatan (van Verbintenissen) tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan perikatan itu. Namun justru diawali dengan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengenai sumber perikatan, yaitu kontrak atau perjanjian, dan undang-undang. Dengan demikian kontrak atau perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Bahkan apabila diperhatikan dalam praktek di masyarakat, perikatan yang bersumber dari perjanjian atau kontrak begitu mendominasi.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban.

Perjanjian atau Kontrak pada dasarnya merupakan bagian terpenting dari suatu proses bisnis yang sarat dengan pertukaran kepentingan diantara para pelakunya. Merancang suatu kontrak pada hakikatnya “menuangkan proses bisnis ke dalam format hukum”. Mengandaikan hubungan yang sinergis-korelatif antara aspek bisnis dengan hukum (kontrak), ibarat lokomotif dengan gerbongnya sebagai personifikasi aspek bisnis, sedangkan bantalan rel dimana lokomotif dan gerbong itu berjalan menuju tujuannya sebagai personifikasi aspek hukumnya (kontrak). Oleh karena itu, keberhasilan bisnis antara lain juga akan ditentukan oleh struktur atau bangunan kontrak yang akan dirancang dan disusun oleh para pihak. Namun patut disayangkan para pelaku bisnis merumuskan kontrak yang asal-asalan, sehingga tidak memperhatikan proses, prosedur serta norma perancangan kontrak yang benar (drafting contract process).

Sebagai suatu proses, kontrak yang ideal seharusnya mampu mewadahi pertukaran kepentingan para pihak secara fair dan adil (proporsional) pada setiap fase atau tahapan kontrak, yaitu negosiasi. Negosiasi dalam kontrak komersial merupakan perwujudan penerapan asas proporsionalitas menuju tahapan pembentukan kontrak. Fase negosiasi ini merupakan “crucial point” untuk merumuskan pertukaran hak dan kewajiban para pihak yang nantinya mengikat dan wajib untuk dipenuhi.

Dalam setiap proses negosiasi kontrak sasaran atau tujuan para pihak sebenarnya hanya satu, yaitu untuk mencapai kata sepakat. Melalui negosiasi proses pertukaran kepentingan diantara para pihak berjalan sesuai dinamika kontrak itu sendiri, artinya para pihak dihadapkan dengan dua karakteristik negosiasi kontrak, yaitu sifat positif dan negatif. Suatu negosiasi kontrak mempunyai sifat positif, apabila para pihak hendak mencapai suatu kontrak yang bersifat kerjasama. Dengan demikian, sifat positif itu diperoleh dari maksud orang yang memulai sesuatu yang baru dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Sebaliknya, suatu negosiasi kontrak mempunyai sifat negatif jika para pihak hendak mencapai suatu perdamaian. Suatu negosiasi untuk mencapai perdamaian bersifat negatif karena melalui negosiasi itu orang hendak mengakhiri sesuatu yang negatif, yaitu perselisihan atau sengketa itu. Sifat positif atau negatif itu juga lebih berkembang diantara para pihak itu sendiri.

Perumusan hubungan kontraktual pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak. Proses negosiasi dapat terjadi sekali saja untuk masalah tertentu, namun juga berulang-ulang (simultan) untuk masalah yang lebih rumit dan kompleks. Bagi pelaku bisnis modern, negosiasi merupakan bagian yang “inheren” dengan ritme dan kinerja mereka. Sementara bagi mereka yang belum begitu paham dan mengenalnya, negosiasi dianggap barang baru dan aneh bahkan sesuatu yang terlalu teoritis dan akademis.

Pada kontrak komersial, proses negosiasi dibutuhkan dalam rangka terwujudnya pertukaran kepentingan yang proporsional diantara para kontraktan. Negosiasi menjadi begitu penting karena berperan dalam mempertemukan kepentingan para pihak, sehingga pada akhirnya tercapai kata sepakat. Dengan demikian, bertemunya kehendak para pihak yang berkontrak maupun proporsionalitas pertukaran hak dan kewajibannya sangat ditentukan oleh proses negosiasi itu sendiri.

Aktifitas bisnis pada dasarnya senantiasa dilandasi aspek hukum terkait, ibaratnya sebuah kereta api hanya akan dapat berjalan menuju tujuannya apabila ditopang dengan rel yang berfungsi sebagai landasan geraknya. Tidak berlebihan kiranya, apabila keberhasilan suatu proses bisnis yang menjadi tujuan akhir para pihak hendaknya senantiasa memperhatikan aspek kontraktual yang membingkai aktifitas bisnis mereka. Dengan demikian, bagaimana agar bisnis mereka berjalan sesuai tujuan akan berkorelasi dengan struktur kontrak yang yang dibangun bersama. Kontrak akan melindungi proses bisnis para pihak apabila pertama-tama dan terutama, kontrak tersebut dibuat secara sah karena hal ini menjadi penentu proses hubungan hukum selanjutnya.

Menyikapi tuntutan tersebut di atas, pembuat undang-undang telah menyiapkan seperangkat aturan hukum sebagai tolok ukur bagi para pihak untuk menguji standar keabsahan kontrak yang dibuat. Perangkat aturan hukum tersebut sebagaimana yang diatur dalam sistematika Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yaitu:

Syarat sahnya kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan kontrak yang dibuat para pihak. Dalam Pasal tersebut terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu:

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toestemming van degenen die zich verbinden);
  2. Kecakapan untuk membuat perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan);
  3. Suatu hal tertentu (een bepald onderwerp);
  4. Suatu sebab yang diperbolehkan (eene geoorloofde oorzaak).

Syarat sahnya kontrak yang diatur diluar Pasal 1320 Kitab Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yaitu:

  • Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang melarang dibuatnya kontrak tanpa sebab atau kausa, atau dibuat berdasarkan suatu kausa yang palsu atau yang terlarang, konsekuensinya tidaklah mengikat atau tidak mempunyai kekuatan hukum;
  • Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum;
  • Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan;
  • Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak (bestandig gebruiklijk beding).

Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menganut sistem terbuka, artinya hukum (menurut Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht – aanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht), bahwa para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang sudah ada di dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tersebut.

Meskipun hukum kontrak menganut sistem terbuka, akan tetapi harus berlandaskan terhadap asas-asas atau prinsip-prinsip hukum yang tetap harus diperhatikan oleh para pihak untuk menjadi pedoman dalam proses dan pelaksanaan suatu kontrak. 4 (empat) Asas-asas atau prinsip-prinsip dalam hukum kontrak tersebut adalah sebagai berikut:

  • Asas Konsesualisme (consensualism). Pengertian dari asas konsesualisme ialah pada dasarnya perjanjian yang timbul karenanya itu dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan, sehingga perjanjian sudah sah bila para pihak sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan formalitas. Dengan adanya asas ini maka kesepakatan secara lisan telah dianggap sebagai perjanjian yang mengikat para pihak. Asas konsesualisme tertuang dalam Pasal 1320 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengenai syarat sahnya perjanjian salah satunya adalah kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) daripihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka. Pengecualian terhadap asas ini adalah perjanjian formil dan riil dimana kesepakatan secara lisan saja tidak cukup menimbulkan perikatan dan hubungan hukum antara para pihak. Perjanjian formil ini adalah perjanjian yang selain harus memenuhi syarat kata sepakat juga harus memenuhi formalitas tertentu. Contohnya: perjanjian perdamaian yang diatur dalam Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang mewajibkan perjanjian dibuat secara tertulis. Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang harus memenuhi kata sepakat dan perbuatan tertentu untuk melahirkan perjanjian untuk melahirkan perjanjian, contohnya: perjanjian penitipan yang diatur pada Pasal 1694 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
  • Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract). Sistem terbuka Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tercermin dari substansi Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah “semua” di dalamnya terkandung asas partij autonomie, freedom of contract, beginsel van de contract vrijheid memang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk kontrak standar. Kebebasan berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun (tertulis, lisan, scriptless, paperless, autentik, non autentik, sepihak (eenzijdig), adhesi, standar baku, dan lain-lain), serta dengan isi atau substansi sesuai yang diinginkan para pihak. Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak, para pihak dalam kontrak pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan suatu perjanjian/kontrak. Di dalam asas ini terkandung pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian;
  • Asas Daya Mengikat Kontrak (The Binding Force of Contract/Pacta Sunt Servanda). Asas daya mengikat kontrak (the binding force of contract) dipahami sebagai mengikatnya kewajiban kontraktual yang harus dilaksanakan para pihak. Jadi, pertama-tama makna daya mengikat kontrak tertuju pada isi atau prestasi kontraktualnya. Pada dasarnya janji itu mengikat (janji harus ditepati) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan berlaku atau daya mengikatnya kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang (Pacta Sun Servanda). Asas Pacta Sun Servanda merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya daya atau kekuatan mengikat kontrak. Pacta Sunt Servanda bahasa latin yang berarti “janji harus ditepati/janji itu mengikat”. Pacta Sunt Servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam Civil Law System (Continental European Law System). Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan diantara para individu, yang mengandung makna bahwa perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, dan mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap terhadap kewajiban yang ada dalam suatu kontrak merupakan suatu hal yang melanggar janji atau wanprestasi. Asas Pacta Sunt Servanda merupakan salah satu norma dasar (grundnorm; basic norm) dalam hukum, dan erat kaitannya dengan Asas I’tikad Baik (Good Faith) untuk menghormati atau menaati suatu perjanjian atau kontrak. Asas Pacta Sunt Servanda merupakan salah satu asas hukum yang berada dalam sistem, karena telah diwujudkan dalam kaidah hukum dari sistem hukum nasional maupun hukum nasional positif. Perwujudan Asas Pacta Sunt Servanda ke dalam hukum nasional positif Indonesia yang bersumberkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) dan (2) yang mana pada ayat (1) menyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berlaku dan mengikat sebagaimana undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”, selanjutnya ayat (2) yang menyatakan: “Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan oleh para pihak yang membuatnya, atau karena alasan-alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang”. Asas Pacta Sunt Servanda menjadi dasar pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian (kontrak). Dengan berlandaskan pada asas Pacta Sunt Servanda, para pihak senantiasa harus menaati dan melaksanakan apa yang telah disepakati dalam suatu perjanjian. Kekuatan mengikat kontrak pada dasarnya hanya menjangkau sebatas para pihak yang membuatnya. Hal ini dalam beberapa literatur, khususnya di Common Law, disebut dengan “Privity of Contract”. Doktrin “Privity of Contract” atau disebut juga asas Personality merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang mengadakan suatu kontrak hanya untuk kepentingan perorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menegaskan “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Pada Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menyebutkan bahwa “Perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat merugikan pihak ketiga; Perjanjian tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 1317”. Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang yang mengadakan suatu perjanjian tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), tidak hanya mengatur perjanjian untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu, maka Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengatur perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 memiliki ruang lingkup yang luas. Demikian asas ini memberikan penekanan pada daya kerja (strekking) terhadap “siapa yang terikat kontrak” bukan “apa isi kontrak atau prestasi kontrak”;
  • Asas Itikad baik (Good Faith). Sebagaimana diketahui bahwa dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tersimpul asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, serta daya mengikatnya perjanjian. Pemahaman terhadap pasal tersebut terdapat berada dalam satu sistem yang padu dan integratif dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Terkait dengan daya mengikatnya perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (Pacta Sunt Servanda), pada situasi tertentu daya berlakunya (strekking) dibatasi, antara lain dengan itikad baik. Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), menyatakan bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pengaturan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menetapkan bahwa perjanjian harus harus dilaksanakan dengan itikad baik (contractus bonafidei), maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Jadi, selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat-sifat yang berpotensi merugikan pihak lain, atau menggunakan klausul-klausul secara membabi buta yang memberatkan dan dapat berpotensi merugikan salah satu pihak pada saat para pihak mengadakan suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.

Keseluruhan asas dan instrumen hukum sebagaimana tersebut di atas, seyogyanya pada praktiknya juga berlaku pada kontrak-kontrak yang terdapat dalam aktifitas bisnis (Kontrak Komersial), misalnya Kontrak Kerja Konstruksi atau Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi. Sebelum membahas mengenai kontrak komersial dalam suatu aktifitas bisnis yang berkaitan dengan Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi), maka perlu diketahui mengenai pembagian kontrak menurut penamaan, sifat pengaturan hukum, dan fungsinya.

Kontrak menurut penamaan dan sifat pengaturan hukumnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

  • Kontrak Bernama. Kontrak bernama (benoemde contract atau nominaat contract) adalah kontrak yang mempunyai nama sendiri sebagaimana telah diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya, kontrak jual beli, kontrak sewa-menyewa, kontrak hibah, kontrak tukar menukar, kontrak persekutuan perdata, kontrak untuk melakukan pekerjaan, kontrak tentang perkumpulan, kontrak penitipan barang, kontrak pinjam pakai, kontrak pinjam meminjam, kontrak pemberian kuasa, kontrak penanggungan utang, kontrak bunga tetap atau bunga abadi, kontrak untung-untungan, dan kontrak perdamaian;
  • Kontrak Tidak Bernama. Kontrak tidak bernama (onbenoemde contract atau innominaat contract) adalah kontrak yang tidak diatur secara khusus di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), tetapi timbul dan berkembang di masyarakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Jumlah kontrak ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang membuatnya. Misalnya, kontrak pembiayaan konsumen, kontrak sewa guna usaha, kontrak anjak piutang, kontrak modal ventura, kontrak waralaba, Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi), kontrak pengadaan barang, kontrak lisensi hak kekayaan intelektual, dan lain sebagainya).

Dilihat dari aspek pengaturan hukumnya, kontrak tidak bernama dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

  • Kontrak Tidak Bernama yang diatur secara khusus dan dituangkan ke dalam bentuk undang-undang dan/atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) pada pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang dan/atau peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya, kontrak production sharing yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) yang diatur dalam Undang-Undang 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi selanjutnya direvisi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (yang berlaku sekarang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi) dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
  • Kontrak Tidak Bernama yang hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Misalnya Kontrak Waralaba (Franchise) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba;
  • Kontrak Tidak Bernama yang belum diatur atau belum ada undang-undang yang secara khusus mengaturnya di Indonesia. Misalnya kontrak sewa rahim (surrogate mother contract).

Dilihat dari fungsinya, kontrak memiliki 2 (dua) fungsi yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah memberi kepastian hukum bagi para pihak, sedangkan fungsi ekonomis kontrak adalah menggerakkan sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.

Adapun fungsi yang utama dari kontrak adalah fungsi yuridis. Fungsi yuridis dari kontrak adalah:

  • Mengatur kewajiban para pihak;
  • Menggunakan transaksi bisnis;
  • Mengatur tentang cara penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak yang terikat dalam suatu kontrak.

Disamping itu kontrak berfungsi untuk mengamankan kepentingan/transaksi bisnis. Ditinjau dari fungsi ekonomisnya, maka suatu kontrak dalam aktifitas/kegiatan bisnis sangatlah penting, karena dari kontrak itu paling tidak dapat diketahui:

  • Perikatan apa yang dilakukan, kapan, dan dimana kontrak itu dilakukan;
  • Siapa saja yang mengikatkan diri dalam kontrak tersebut;
  • Hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak;
  • Syarat-syarat berlakunya kontrak tersebut;
  • Cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan perselisihan dan domisili hukum yang dipilih dan bila terjadi perselisihan antara para pihak;
  • Kapan berakhirnya kontrak atau hal-hal apa saja yang dapat mengakibatkan berakhirnya kontrak tersebut;
  • Sebagai alat kontrol bagi para pihak, apakah masing-masing pihak telah menunaikan kewajiban atau prestasinya atau belum ataukah malah telah melakukan suatu wanprestasi;
  • Sebagai alat bukti bagi para pihak apabila dikemudian hari terjadi perselisihan diantara mereka, misalnya apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi.

Sebagaimana diketahui bahwa dilihat dari karakteristiknya Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) merupakan salah satu bentuk kontrak komersial yang termasuk dalam kategori Kontrak Tidak bernama (Innominaat Contract). Kontrak tersebut pengaturannya telah diatur secara khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (maka yang berlaku sekarang adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi), akan tetapi dalam pembuatan dan pelaksanaannnya tetap mengacu dan tidak menyimpangi ketentuan-ketentuan dan asas-asas hukum kontrak yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Selain itu mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) pada prinsipnya bersifat konsesual (merupakan perjanjian timbal balik), artinya Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat diantara para pihak, yaitu baik pihak Pemberi Kerja (Pemilik Proyek) dengan Pihak Penyedia Jasa (Kontraktor) maupun Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) mengenai pembuatan suatu karya (bangunan) atau harga jasa, barang, pekerjaan di bidang jasa konstruksi, serta jangka waktu pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi. Dengan terjadinya kata sepakat, Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) mengikat dan harus dipatuhi oleh para pihak, sehingga para pihak tidak dapat serta-merta memutus ataupun membatalkan kontrak tersebut (secara sepihak), melainkan telah disepakati bersama oleh para pihak mengenai ketentuan maupun tata cara pemutusan atau pembatalan kontrak tersebut. Hal ini merupakan refleksi atau perwujudan dari adanya salah satu syarat sahnya kontrak sebagaimana diatur menurut Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sekaligus merupakan asas pokok yang wajib dipenuhi dalam hukum kontrak, yaitu asas konsensualisme.

Definisi Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi). Definisi tersebut menyebutkan keseluruhan dokumen kontrak, adapun yang dimaksud dengan keseluruhan dokumen kontrak ialah dokumen-dokumen administratif yang terdapat dalam seluruh proses kegiatan kontraktual mulai dari tahap pra-kontraktual, pembentukan kontrak, hingga pelaksanaan kontrak kaitannya dengan orientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para kontraktan (para pihak), manakala dokumen-dokumen tersebut seyogyanya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan yang menjadi bagian dari Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) tersebut. Lebih lanjut Pasal 20 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi menentukan bahwa:

  1. Kontrak Kerja Konstruksi pada dasarnya dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam pekerjaan konstruksi yang terdiri dari Kontrak Kerja Konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, Kontrak Kerja Konstruksi untuk pekerjaan pelaksanaan, dan Kontrak Kerja Konstruksi untuk pekerjaan pengawasan;
  2. Dalam hal pekerjaan terintegrasi, Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dituangkan dalam 1 (satu) Kontrak Kerja Konstruksi.

Para pihak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:

  • Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan jasa konstruksi (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi);
  • Penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi kepada Penyedia Jasa (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi);
  • Sub Penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi kepada Penyedia Jasa (Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi).

Hubungan kontraktual para pihak diatas tersebut apabila dituangkan ke dalam suatu kontrak kerja konstruksi (kontrak pengadaan jasa konstruksi) terbagi menjadi dua hubungan kontraktual, yaitu hubungan kontraktual antara Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Kontraktor) dan hubungan kontraktual antara Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor). Pada prinsipnya hubungan kontraktual antara Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Kontraktor) dan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) seyogyanya tunduk terhadap keberlakuan Asas Daya Mengikat Kontrak (The Binding Force of Contract) sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), atau yang dikenal dengan adanya doktrin “Privity of Contract”. Akan tetapi dalam hal ini, Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) juga diberikan hak intervensi terhadap hubungan kontraktual antara Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) terbatas dalam 2 (dua) hal, yakni yang pertama mengenai pembayaran dari Penyedia Jasa (Kontraktor) kepada Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor)/Pemasok terlambat dan yang kedua mengenai Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) tidak memenuhi ketentuan kontrak kerja konstruksi (lihat Pasal 23 ayat (4) huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). Hak intervensi oleh Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) terkait dengan hubungan kontraktual antara Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) tersebut merupakan perwujudan dari keberlakuan dari Asas Daya Mengikat Kontrak atau yang dikenal dengan doktrin “Privity of Contract”, manakala asas tersebut selain mengacu pada ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat merugikan pihak ketiga; perjanjian tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan menurut Pasal 1317”. Selanjutnya, Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menentukan sebagai berikut: “Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu. Siapapun yang telah menentukan suatu syarat, tidak boleh menariknya kembali, jika pihak ketiga telah menyatakan dan menggunakan syarat itu”.

Terkait dengan berlakunya Asas Daya Mengikat Kontrak (The Binding Force of Contract/Pacta Sunt Servanda) atau disamping itu dikenal juga dengan adanya doktrin “Privity of Contract” tersebut diatas jika dikaitkan dengan hubungan kontraktual antara Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Kontraktor) dan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) dalam mengadakan suatu Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) ternyata telah direspons oleh Pemerintah dan diakomodir melalui ketentuan Pasal 23 ayat (4) huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Bahwa, ketentuan tersebut merupakan perwujudan dari pengecualian terhadap Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), manakala Pasal 1317 dan 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) jo. Pasal 23 ayat (4) huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi memberikan ruang bagi pihak ketiga (Pengguna Jasa selaku Pemberi Kerja) untuk dapat melindungi hak-hak dan kepentingan hukumnya dengan melakukan intervensi terhadap hubungan kontraktual para pelaksana (Penyedia Jasa dengan Sub Penyedia Jasa) terbatas pada hal-hal yang telah ditentukan secara khusus mengenai tanggung jawab Penyedia Jasa (Kontraktor) atas pekerjaan (spesialis) yang dilakukan oleh Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor). Misalnya, apabila Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) dalam melaksanakan kewajibannya untuk menyelesaikan suatu proses tahapan pekerjaan (konstruksi) mengalami keterlambatan diluar jangka waktu yang telah disepakati antara Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) disebabkan karena tidak dibayar ataupun terlambat dibayarnya jasa hasil pekerjaan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) oleh Penyedia Jasa (Kontraktor) manakala dalam praktiknya seringkali digunakan tata cara pembayaran dengan sistem progress payment sehingga hal tersebut berpotensi mengakibatkan kerugian bagi Pengguna Jasa (Pemilik Proyek), maka Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) dapat menggunakan hak intervensinya untuk melakukan teguran (somasi) terhadap Penyedia Jasa (Kontraktor) agar Penyedia Jasa (Kontraktor) melaksanakan kewajibannya untuk segera membayar sisa pembayaran hasil/jasa pekerjaan kepada Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor), meskipun dalam hal ini Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) sebagai pihak ketiga tidak terikat dalam hubungan kontraktual berdasarkan kontrak kerja konstruksi yang dibuat antara Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor), namun hal tersebut sah-sah saja dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Pasal 1317 dan 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) jo. Pasal 23 ayat (4) huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagai bentuk pengecualian terhadap Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Pada dasarnya hubungan kontraktual antara Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) itu lahir setelah hubungan kontraktual antara Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Kontraktor) telah terjadi. Dalam proses terjadinya hubungan kontraktual antara Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Kontraktor) dapat terjadi dengan cara penawaran pekerjaan oleh Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) baik melalui pelelangan, penunjukan langsung, maupun pemilihan langsung. Kemudian, Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) dan Penyedia Jasa (Kontraktor) melakukan negosiasi maupun penawaran mulai dari rumusan pekerjaan yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsum, dan batasan waktu pekerjaan yang akan dilaksanakan berikut dengan segala hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak termasuk pula menentukan pilihan penyelesaian perselisihan apabila terjadi sengketa dan lain sebagainya yang akan diatur dalam kontrak selama tidak bertentangan dengan hukum maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah terjadi kesepakatan antara Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Kontraktor) maka selanjutnya dibuat dan ditandatangani suatu Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) yang mengikat para pihak berikut dengan segala hak dan kewajiban yang timbul atas kontrak tersebut. Dari sini mulai timbul hubungan kontraktual antara Pengguna Jasa dengan Penyedia Jasa, yang mana Penyedia Jasa (Kontraktor) mulai memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan kewajiban dalam melaksanakan suatu pekerjaan yang diberikan oleh Pengguna Jasa (Pemilik Proyek). Dalam menentukan hubungan kontraktual antara Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) bermula ketika antara Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Kontraktor) membuat suatu kesepakatan mengenai suatu spesifikasi pekerjaan tertentu yang berdasarkan waktu, teknis, administrasi, sumber daya manusia (SDM) serta biaya-biaya yang manakala tidak memungkinkan pekerjaan tersebut dapat dilakukan sendiri oleh Penyedia Jasa (Kontraktor), maka dari itu Penyedia Jasa (Kontraktor) membuat suatu usulan atau penawaran kepada Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) berkenaan dengan pekerjaan (spesialis) dengan menggunakan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) guna melaksanakan kerjasama dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) tersebut. Penyedia Jasa (Kontraktor) terlebih dahulu telah mencari data dan informasi mengenai harga bahan dan sewa peralatan, upah, menentukan harga satuan dari setiap item pekerjaan, bahkan mengenai spesifikasi dan harga pekerjaan (spesialis) yang bersifat khusus dan lain sebagainya. Setelah hal-hal tersebut diperoleh dan dipenuhi oleh Penyedia Jasa (Kontraktor), maka Penyedia Jasa (Kontraktor) menetapkan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) yang potensial untuk pekerjaan (spesialis) sesuai dengan keahlian di bidangnya. Sebelum mengadakan Kontrak Kerja Konstruksi, Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor)  mengadakan negosiasi maupun penawaran yang tertuang dalam proses pra-kontraktual atau terjadi Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding). Dalam hal ini, terlebih dahulu Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) mengajukan penawaran terhadap Penyedia Jasa (Kontraktor) mengenai pekerjaan (spesialis) yang dikehendaki. Apabila penawaran tersebut telah disetujui oleh Penyedia Jasa (Kontraktor), selanjutnya Penyedia Jasa (Kontraktor) melakukan klarifikasi mengenai pekerjaan (spesialis) yang akan dilaksanakan oleh Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor) yang kemudian dikeluarkan Surat Perintah Kerja (SPK) berikut dengan dokumen-dokumen administratif lainnya untuk disetujui bersama-sama sebelum dibuat dan ditandatanganinya suatu Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi). Setelah dibuat dan ditandatanganinya Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak pengadaan Jasa Konstruksi) oleh Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor), dari sinilah timbul hubungan kontraktual yang mengikat antara Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor).

Para pihak dalam membuat/menyusun (contract drafting) Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) harus memperhatikan unsur-unsur penting dalam klausula kontrak, lazimnya dalam setiap kontrak terdapat 3 (tiga) unsur yang meliputi:

  • Unsur Esensialia, merupakan unsur pokok yang harus/wajib ada dalam suatu kontrak. Pada dasarnya unsur ini mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai keabsahan (syarat sahnya) kontrak sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Misalnya, dalam Kontrak Kerja Konstruksi harus memuat kesepakatan para pihak dan adanya sesuatu hal (obyek) yang diperjanjikan mengenai pekerjaan di bidang konstruksi yang menjadi obyek perjanjian. Karena tanpa adanya kesepakatan para pihak dan sesuatu hal yang diperjanjikan (obyek perjanjian), maka perjanjian (kontrak) tersebut dianggap tidak pernah terjadi atau dapat juga dikatakan batal demi hukum;
  • Unsur Naturalia, merupakan unsur perjanjian yang telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan (undang-undang), namun oleh para pihak dapat disimpangi, diganti, ditambah, atau dipertegas dengan mencantumkan ketentuan yang diatur secara tegas dan jelas ke dalam klausul perjanjian (kontrak) sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, peraturan perundang-undangan, kebiasaan, maupun nilai-nilai keadilan dan kepatutan yang berlaku. Akan tetapi, jika para pihak tidak mengatur unsur ini ke dalam klausula kontrak, maka unsur ini tetap dianggap ada dan mengikat para pihak karena sudah diatur dalam undang-undang. Misalnya, dalam pembuatan suatu Kontrak kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) pada prinsipnya menggunakan pilihan penyelesaian sengketa menggunakan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan, namun dalam hal musyawarah untuk mencapai suatu kemufakatan tidak tercapai atau tidak memberikan solusi maka tahapan upaya penyelesaian dilaksanakan dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Namun apabila penyelesaian sengketa semacam itu dirasa kurang efektif, efisien, dan tidak memberikan solusi terutama untuk mengembalikan ganti kerugian salah satu pihak yang menderita kerugian akibat adanya wanprestasi atau itikad buruk oleh salah satu pihak dalam Kontrak Kerja Konstruksi, maka dengan ini penyelesaian sengketa dapat hanya dengan mencantumkan atau mengatur penyelesaian sengketa langsung melalui prosedur hukum acara perdata yang berlaku, yakni mengajukan gugatan pada pengadilan yang berwenang. Hal semacam ini boleh saja dilakukan dan diatur dalam Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) oleh para pihak, mengingat Pasal 23 ayat (1) huruf h Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi menentukan bahwa penyelesaian perselisihan memuat: 1. Penyelesaian di luar pengadilan melalui alternatif penyelesaian sengketa, atau arbitrase; dan 2. Penyelesaian melalui pengadilan melalui pengadilan sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku. Oleh karenanya berkaitan dengan unsur naturalia dalam pembuatan Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi), para pihak dapat langsung mengatur penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui pengadilan sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku dengan mengesampigkan penyelesaian sengketa atau perselisihan melalui tahapan upaya alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau arbitrase ke dalam klausula kontrak. Hal ini disebabkan dalam praktik seringkali penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan atau dengan cara arbitrase sekalipun disarankan oleh undang-undang, namun masih belum mampu mengakomodir perlindungan hukum serta menjamin kepastian hukum bagi pihak yang dirugikan terutama bagi pihak diposisi yang lemah dalam suatu perjanjian (kontrak);
  • Unsur Accidentalia, unsur ini merupakan unsur tambahan dalam kontrak manakala undang-undang sendiri pada dasarnya tidak mengatur mengenai ketentuan apa yang harus diatur dalam klausula perjanjian (kontrak), namun para pihak dapat menambahkan mengenai ketentuan yang akan diatur dalam klausula kontrak sesuai dengan kebutuhan yang ada sepanjang hal tersebut dibenarkan oleh hukum serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kebiasaan, dan tidak melanggar maupun mencederai nilai-nilai keadilan dan kepatutan yang berlaku. Hal ini tentunya bukan berarti para pihak bisa serta-merta memasukkan ketentuan apa saja yang mereka kehendaki, sebab sekalipun unsur ini beranjak dari asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) sebagaimana diatur oleh Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Namun keberlakuan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) itu sendiri tidak berlaku secara mutlak, dikatakan demikian karena asas kebebasan berkontrak harus tetap memperhatikan syarat-syarat sahnya kontrak (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)) serta dikecualikan oleh beberapa hal seperti adanya overmacht (force majeure) dan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menentukan bahwa “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” dan harus dilaksanakan berdasarkan i’tikad baik sebagaimana ketentuan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Sebagai contoh unsur accidentalia yang boleh diatur dalam Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) yakni para pihak sepakat mengadakan perjanjian (kontrak) dengan mensyaratkan adanya Bank Garansi sebagai jaminan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau pekerjaan di bidang jasa konstruksi manakala memiliki nilai risiko pekerjaan yang sangat tinggi sehingga perlu disyaratkan suatu jaminan untuk mengantisipasi bilamana suatu ketika terjadi kegagalan bangunan maupun ketidakmampuan dalam menyelesaikan kewajiban atau tanggung jawab pekerjaan yang telah disepakati bersama kecuali dalam keadaan memaksa (overmacht/force majeur). Bank Garansi merupakan jaminan bank yang berupa kesanggupan tertulis yang diberikan oleh bank kepada seseorang yang menerima jaminan dari orang lain yang disebut pihak terjamin, bahwa bank akan membayar sejumlah uang kepadanya pada waktu yang telah ditentukan jika pihak terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya. Ditinjau dari segi hukum kontrak, Bank Garansi merupakan Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) sebagaimana diatur oleh Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menentukan bahwa: “Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga guna kepentingan debitur (si berhutang), mengikatkan diri untuk memenuhi kewajiban perikatan debitur (si berhutang) manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya”. Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) merupakan perjanjian accesoir, artinya keberadaan perjanjian ini disebabkan adanya perjanjian lain yang merupakan perjanjian pokok. Suatu perjanjian yang mempunyai sifat accesoir atau mengikuti perjanjian pokok tidak diperkenankan melebihi perikatan pokok itu sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 1822 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menentukan bahwa: “Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat daripada perikatan debitur (si berhutang). Adapun penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari utangnya, atau dengan syarat-syarat yang kurang”. Bank Garansi merupakan bentuk perjanjian kredit yang bersifat indirect loan antara bank dengan dengan pihak nasabah. Kredit ini mengandung suatu komitmen bahwa bank akan baru akan mencairkan dana ketika nasabah melakukan wanprestasi atau melalaikan kewajiban atau tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana telah disepakati bersama dalam Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) dengan pihak yang menjadi lawan kontraknya. Adapun perlunya diatur mengenai unsur accidentalia terkait dengan adanya syarat jaminan berupa Bank Garansi ini tujuannya untuk memberikan keyakinan bahwa pihak pemegang jaminan tidak akan menderita kerugian bila pihak yang dijamin melalaikan kewajibannya, karena pemegang jaminan akan memperoleh ganti rugi dari bank. Perlu diketahui bahwa, Bank Garansi dapat ditambahkan ke dalam klausula Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) sebagai jaminan untuk menjalankan suatu kewajiban dalam kontrak dan/atau tanggung jawab pekerjaan di bidang jasa konstruksi manakala pekerjaan tersebut memiliki nilai risiko kegagalan yang sangat tinggi. Pada dasarnya undang-undang sendiri tidak mengatur secara tegas mengenai ketentuan untuk menggunakan Bank Garansi dalam klausula kontrak sebagai jaminan atas suatu pekerjaan, namun  pada praktiknya hal demikian sering digunakan oleh para pihak dalam Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak pengadaan Jasa Konstruksi).

Selanjutnya, mengenai berlakunya Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) sebagaimana menurut ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang menentukan bahwa:

  1. Pengaturan hubungan kerja antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa harus dituangkan ke dalam Kontrak kerja Konstruksi;
  2. Bentuk Kontrak Kerja Konstruksi dapat mengikuti perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan tersebut di atas mengisyaratkan bahwa Kontrak Kerja Konstruksi dapat dibuat dalam bebas bentuk, artinya Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) tersebut dapat dibuat dalam bentuk non autentik atau dibawah tangan serta dibuat terpisah maupun terintegrasi sesuai dengan kebutuhan para pihak yang mengadakan kontrak tersebut, namun disarankan agar tidak dibuat kontrak dengan mencantumkan klausula yang sangat baku sebagaimana dalam praktik seringkali dibuat Kontrak Kerja Kostruksi dengan klausula yang sangat baku oleh salah satu pihak sehingga merugikan pihak lainnya dalam kontrak. Kontrak dengan klausula baku juga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena meniadakan hak dan kewajiban yang setara para pihak dalam kontrak (lihat Pasal 47 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi), hal semacam ini berpotensi memicu terjadinya sengketa atau konflik oleh para pihak dalam kontrak, bahkan dapat juga dilakukan pembatalan terhadap kontrak tersebut. Selain itu, pada prinsipnya klausula baku dalam kontrak merupakan penyimpangan terhadap Asas I’tikad Baik (Good Faith) bahwa pengaturan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menentukan bahwa perjanjian harus harus dilaksanakan dengan itikad baik (contractus bonafidei), maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Maka apabila salah satu pihak dalam kontrak memasukkan klausula baku untuk keuntungan pribadi dengan menggunakan klausul-klausul secara membabi buta yang memberatkan dan dapat berpotensi merugikan salah satu pihak pada saat para pihak mengadakan suatu perjanjian merupakan tindakan unfair. Hal demikian sudah jelas dapat dikatakan menyalahgunakan penerapan Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract) dengan menyimpangi keberadaan Asas I’tikad Baik (Good Faith).

Mengingat Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) dilihat dari jenis dan aspek pengaturan hukumnya termasuk dalam kategori Kontrak Tidak Bernama (Innominaat Contract) yang diatur khusus oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan di bidang jasa konstruksi, maka dalam pembuatan atau penyusunan suatu Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) selain harus memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak dan tunduk pada asas-asas yang berlaku dalam hukum kontrak. Disamping itu kerangka atau anatomi penyusunan Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Setidaknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi telah mengatur mengenai hal-hal apa saja yang harus dimuat dalam Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) agar kontrak tersebut ideal dan proporsional bagi para pihak, baik antara Pengguna Jasa (Pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Kontraktor) maupun antara Penyedia Jasa (Kontraktor) dengan Sub Penyedia Jasa (Sub Kontraktor). Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menentukan bahwa Kontrak Kerja Konstruksi paling sedikit harus mencakup uraian mengenai:

  • Para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
  • Rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsum, dan batasan waktu pekerjaan;
  • Masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa;
  • Hak dan kewajiban yang setara, memuat hak Pengguna Jasa untuk memperoleh hasil Jasa Konstruksi dan kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak Penyedia Jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan jasa konstruksi;
  • Penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban mempekerjakan tenaga kerja konstruksi yang bersertifikat;
  • Cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil layanan Jasa Konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas pembayaran;
  • Wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
  • Penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
  • Pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
  • Keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
  • Kegagalan bangunan, memuat tentang ketentuan tentang kewajiban Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa atas kegagalan bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban kegagalan bangunan;
  • Perlindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan kewajiban dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
  • Perlindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, memuat kewajiban dalam hal terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;
  • Aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan;
  • Jaminan atas resiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi akibat kegagalan bangunan; dan
  • Pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.

Disamping itu, Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menentukan bahwa selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kontrak Kerja Konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif. Pasal 48 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi memuat ketentuan-ketentuan secara khusus yang dapat diatur dalam Kontrak Kerja Konstruksi meliputi: untuk layanan jasa perencanaan harus memuat ketentuan tentang Hak Kekayaan Intelektual; untuk kegiatan pelayanan Jasa Konstruksi dapat memuat ketentuan tentang Sub Penyedia Jasa serta pemasok bahan, komponen bangunan, dan/atau peralatan yang harus memenuhi standar yang berlaku; dan yang dilakukan oleh pihak asing, memuat kewajiban alih teknologi.

Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) dibuat dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal Kontrak Kerja Konstruksi dilakukan dengan pihak asing harus dibuat dalam bahasa indonesia dan Bahasa Inggris. Dalam hal terjadi perselisihan dengan pihak asing, maka digunakan Kontrak Kerja Konstruksi dalam Bahasa Indonesia (perhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi). Mengenai hal-hal yang secara rinci dan lebih jelas mengenai ketentuan-ketentuan apa saja yang harus dimuat dalam penyusunan Kontrak Kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) serta untuk melengkapi rumusan dan ketentuan yang mengatur Kontrak kerja Konstruksi (Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi) sebagaimana terdapat pada Pasal 47, 48 dan 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi maka dapat juga dilihat pada keseluruhan rumusan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Selain itu, apabila kegiatan Pengadaan Jasa Konstruksi dilakukan antara pihak swasta dengan instansi Pemerintah maka selain diberlakukan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, juga harus memperhatikan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Penyelenggaraan pekerjaan di bidang jasa konstruksi wajib dimulai dengan tahap perencanaan, yang selanjutnya diikuti dengan tahap pelaksanaan beserta pengawasannya yang masing-masing tahap dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan, pengerjaan, dan pengakhiran.