PRANATA JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

hukum-jaminan1). Definisi Hukum Jaminan

Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidestelling atau security of law. Menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, mengemukakan bahwa hukum jaminan adalah:

“Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan memberikan fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah, besar, dengan jangka waktu yang lama, dan bunga yang relatif rendah.”

Pernyataan ini merupakan sebuah konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan di masa yang akan datang. Saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan. J. Satrio mengartikan hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. Definisi ini difokuskan pada pengaturan pada hak-hak kreditur semata-mata, tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitur. Dari berbagai kelemahan definisi-definisi tersebut, maka definisi-definisi tersebut perlu dilengkapi dan disempurnakan, bahwa hukum jaminan adalah:

“Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubunagan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.”

Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi ini adalah:

  1. Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis;
  2. Adanya penerima dan pemberi jaminan. Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan (debitur). Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan (orang atau badan hukum). Badan hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan non bank;
  3. Adanya jaminan. Jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan immateriil. Jaminan materiil adalah jaminan berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan jaminan atas benda-benda tidak bergerak. Jaminan immateriil merupakan jaminan non kebendaan;
  4. Adanya fasilitas kredit. Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan non bank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya.


2). Asas-Asas Jaminan

Untuk memantapkan keyakinan kreditur bahwa debitur akan secara nyata mengembalikan pinjamannya setelah jangka waktu pinjaman berakhir, dalam hukum terdapat beberapa asas. Asas tersebut menyangkut jaminan. Secara normatif sarana perlindungan bagi kreditur tercantum dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, Burgerlijk Wetboek atau yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah memberikan sarana perlindungan bagi para kreditur seperti yang diatur dalam Pasal 1131 dan 1132. Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek menentukan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1132 Burgerlijk Wetboek ditentukan pula bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu besar kecil piutang masing-masing, kecuali apabila diantara berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.Terdapat 2 (dua) asas yang penting dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang terkait dengan hukum jaminan, asas yang pertama menentukan, apabila debitur ternyata pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditur karena suatu alasan tertentu, maka harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi agunan atau jaminan utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dituangkan dalam Pasal 1131 yang berbunyi:

“Segala harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan debitur.”

Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tersebut menentukan, harta kekayaan debitur bukan hanya untuk menjamin kewajiban untuk melunasi utang kepada kreditur yang diperoleh dari perjanjian utang-piutang diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitur. Sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perikatan (antara debitur dan kreditur) timbul atau lahir karena adanya perjanjian diantara debitur dengan kreditur maupun timbul atau lahir karena adanya perjanjian antara debitur dengan kreditur atau lahir karena ketentuan undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), wujud perikatan adalah “untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Dalam istilah hukum, perikatan dalam wujudnya yang demikian itu disebut pula dengan istilah “prestasi”. Pihak yang tidak melaksanakan prestasinya disebut “wanprestasi”. Apabila perikatan itu timbul karena perjanjian yang dibuat diantara debitur dan kreditur, maka pihak yang tidak melaksanakan prestasinya disebut sebagai telah melakukan cidera janji atau ingkar janji atau dalam bahasa Inggris disebut in default.

Ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) merupakan jaminan secara umum atau jaminan yang timbul atau lahir dari undang-undang. Undang-undang memberikan perlindungan bagi semua kreditur dalam kedudukan yang sama atau disini berlaku asas paritas creditorium bahwa pembayaran atau pelunasan utang kepada para kreditur dilakukan secara berimbang (ponds-ponds gewijs). Dengan demikian, para kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren yang bersaing dalam pemenuhan piutangnya, kecuali ada alasan yang memberikan kedudukan preferen (droit de preference) kepada para kreditur tersebut.

Oleh karena Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, semua harta kekayaan (aset) debitur menjadi agunan bagi pelaksanaan kewajibannya bukan kepada kreditur tertentu saja tetapi juga semua kreditur lainnya, maka perlu ada aturan main tentang cara membagi aset debitur tersebut kepada para krediturnya apabila aset itu dijual karena tidak dapat membayar utang-utangnya. Aturan main itu ditentukan oleh Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ini merupakan asas kedua yang menyangkut jaminan. Bunyi Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) adalah sebagai berikut:

“Harta kekayaan debitur menjadi agunan bersama-sama bagi semua krediturnya; hasil penjualan harta kekayaan itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut perbandingan besar-kecilnya tagihan masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara para kreditur itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur lainnya.”

Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tersebut mengisyarat-kan bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali ditentu-kan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya. Dengan adanya kalimat dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang berbunyi “kecuali apabila diantara para kreditur itu terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur lainnya”, maka terdapat kreditur-kredi-tur tertentu diberi kedudukan hukum lebih tinggi daripada kreditur lainnya. Dalam hukum, kreditur-kreditur tertentu yang didahulukan itu disebut “kreditur-kreditur preferen atau secured creditors“, sedangkan kreditur-kreditur lainnya itu disebut “kreditur-kreditur konkuren atau unsecured creditors“.Adapun mengenai asas-asas hukum jaminan selain yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka perlu diperhatikan pula 5 (lima) asas-asas penting yang berkaitan dengan jaminan kebendaan yaitu sebagai berikut:

  1. Asas publisitas, yaitu suatu asas yang menentukan bahwa semua hak-hak atas jaminan kebendaan, baik hak tanggungan, hak jaminan fidusia, dan hak hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan agar pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Misalnya, pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, pendaftaran jaminan fidusia di Kantor Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di kantor wilayah tiap-tiap propinsi, sedangkan pendaftaran jaminan hipotek kapal laut didaftarkan di Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Syah Bandar);
  2. Asas spesialitas, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hak hipotek hanya dapat dibebankan atas persil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang atau subyek hukum tertentu;
  3. Asas tidak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya utang tidak dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai meskipun telah dilakukan pembayaran sebagian;
  4. Asas inbezitstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai;
  5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.


3).
Sumber Hukum Jaminan

Sumber hukum jaminan secara tertulis tidak terbatas sebagaimana yang telah diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), akan tetapi diatur juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai jaminan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Seiring dengan adanya perkembangan hukum di Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai hukum jaminan, maka beberapa ketentuan-ketentuan yang mengatur jaminan dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sudah tidak berlaku lagi. Sumber hukum jaminan pada Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) adalah terbatas mengatur mengenai gadai dan hipotek, sedangkan hipotek atas tanah sudah tidak berlaku lagi sejak diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tersebut mengatur mengenai piutang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan hipotek. Secara rinci ketentuan-ketentuan hukum jaminan baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang secara khusus mengatur tentang jaminan adalah sebagai berikut:

Pengaturan Jaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek):

  1. Bab XIX Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tentang Piutang-Piutang Yang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149); Bagian Kesatu tentang Piutang-Piutang Yang Diistimewakan Pada Umumnya (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138); Bagian Kedua tentang Hak-Hak Istimewa mengenai Benda-Benda Tertentu (Pasal 1139 sampai dengan Pasal 1148); Bagian Ketiga atas Semua Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak Pada Umumnya (Pasal 1149);
  2. Bab XX Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160); Pengertian Gadai (Pasal 1150); Perjanjian Gadai (Pasal 1151); Hak-hak Para Pihak atas Jaminan Gadai (Pasal 1152 sampai dengan Pasal 1156); Kewajiban Para Pihak atas Jaminan Gadai (Pasal 1154 dan Pasal 1155); Wanprestasi (Pasal 1156); Tanggung Jawab Para Pihak (Pasal 1157); Bunga atas Jaminan Gadai (Pasal 1158); Berakhirnya Jaminan Gadai (Pasal 1159 dan Pasal 1160);
  3. Bab XXI Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan 1132); Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum (Pasal 1162 sampai dengan 1178); Bagian Kedua tentang Pembukuan-Pembukuan Hipotek Serta Bentuk Cara Pembukuannya (Pasal 1179 sampai dengan 1194); Bagian Ketiga tentang Pencoretan Pembukuan (Pasal 1195 sampai dengan Pasal 1197); Bagian Keempat tentang Akibat-Akibat Hipotek Terhadap Orang Ketiga Yang Menguasai Benda Yang Dibebani (Pasal 1198 sampai dengan Pasal 1208); Bagian Kelima tentang Hapusnya Hipotek (Pasal 1209 sampai dengan 1220); Bagian Keenam tentang Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek, Tanggung Jawab Pegawai-Pegawai Yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek dan Hal Diketahuinya Register-Register Oleh Masyarakat (Pasal 1221 sampai dengan Pasal 1232).

Pengaturan Jaminan yang diatur diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek):

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, pasal-pasal yang terkait dengan Jaminan Hipotek kapal laut, yaitu Pasal 314 sampai dengan Pasal 316 KUHD;
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, ketentuan yang erat dengan jaminan adalah Pasal 51 dan 57;
  3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
  4. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
  5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Pasal 49: (1) Kapal yang telah didaftarkan dapat dibebani Hipotek; (2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.


4).
Jenis-Jenis Jaminan

Jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu jaminan perorangan (personal atau corporate guarantee) yang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan 1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin dengan harta kekayaan seseorang lewat orang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si kreditur mengikatkan diri untuk perikatannya si debitur manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya. Sedangkan jaminan kebendaan mempunyai diatas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sri Soedewi Masjhoen memberikan pengertian jaminan kebendaan yaitu jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya.Jaminan kebendaan digolongkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu:

  1. Gadai (Pand), yaitu jaminan pelunasan utang yang berupa benda-benda bergerak milik debitur yang dipegang oleh kreditur;
  2. Hipotek (Hypotheek) atas kapal laut terdaftar, dalam kapal laut tersebut menjadi benda jaminan pelunasan utang debitur kepada kreditur;
  3. Hak Tanggungan atas Tanah, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu ketentuan dengan tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditur lain. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang dimaksud dengan Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain;
  4. Fidusia atau Jaminan Fidusia, yaitu agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (zakelijke zekerheidsecurity right in rem) yang memberikan kedudukan yang didahulukan penerima fidusia. Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya, hak yang bersifat persoonlijk (perorangan) bagi kreditur. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia). Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia);

Jaminan Perorangan (immateriil) adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan pihak ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang atau debitur. Yang termasuk jaminan perorangan adalah:

    1. Penanggungan Utang (Borgtoght), menurut Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang mana hak orang tersebut tidak memenuhinya. Dari ketentuan pasal tersebut maka beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: Penanggungan utang merupakan suatu perjanjian, borgt/penjamin adalah pihak ketiga, penanggungan diberikan untuk kepentingan kreditur, borgt mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur apabila debitur wanprestasi, ada perjanjian bersyarat. Penanggungan merupakan jaminan yang diberikan guarantor kepada kreditur untuk melunasi kewajiban dari debitur dalam hal debitur ingkar janji (wanprestasi) dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Contoh: Bank Garansi (Guarantee Bank);
    2. Perjanjian Garansi (Perjanjian Indemnity), dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditegaskan bahwa, seseorang boleh seorang boleh menanggung pihak ketiga, dan menjanjikan bahwa pihak ketiga ini tidak mengurangi tuntutan ganti rugi terhadap penanggung atau orang yang berjanji itu, jika pihak ketiga menolak untuk memenuhi perjanjian itu. Perjanjian Garansi (Perjanjian Indemnity) adalah jaminan yang bersifat indemnitas, dimana pemberi jaminan (guarantor) menjamin bahwa seorang pihak ketiga akan berbuat sesuatu yang biasanya tetapi tidak selalu dan harus berupa tindakan menutup suatu perjanjian tertentu. Perjanjian Indemnity juga dapat diartikan bahwa penjamin diposisikan sama sebagai principal debitur yang secara tanggung renteng menyelesaikan kewajiban kepada kreditur (obligee). Perjanjian Indemnity diaplikasikan salah satunya dalam bentuk produk inovatif yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi yang bernama Surety Bond;
    3. Tanggung Menanggung (Tanggung Renteng), dalam Pasal 1278 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan suatu perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng terjadi antara beberapa kreditur, jika dalam bukti persetujuan secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang, sedangkan pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang diantara mereka, membebaskan debitur, meskipun perikatan itu menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi antara para kreditur tadi. Perikatan tanggung renteng/tanggung menanggung adalah suatu perikatan dimana beberapa orang secara bersama-sama sebagai pihak berutang (debitur) berhadapan dengan satu orang kreditur, manakala salah satu debitur itu telah membayar utangnya pada kreditur, maka pembayaran itu akan membebaskan teman-teman yang lain dari utang. Tanggung renteng didefinisikan sebagai tanggung jawab bersama diantara anggota dalam satu kelompok atas segala kewajiban terhadap koperasi dengan dasar keterbukaan dan saling mempercayai.