PENERAPAN LARANGAN PEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE SEBAGAI OBYEK LANDREFORM DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK – POKOK AGRARIA (UUPA)

PENDAHULUAN

 

1.1.   Latar BelakangHukum Agraria

Tanah adalah satu kesatuan wilayah yang spesifik dari permukaan bumi. Dalam hukum adat, tanah adalah benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah memiliki beragam makna, dari makna filosofis, sosiologis, dan ekonomis. Tanah secara luas memiliki pengertian meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta hubungan antara sesama manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh. Tanah menjadi sumber daya strategis sebagai kekayaan nasional, pemersatu wilayah, karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran itu dengan sendirinya memerlukan upaya yang memberikan nilai tambah atau hasil yang bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan[1].

Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian (agraris), baik sebagai pemilik tanah pertanian, petani penggarap maupun buruh tani. Tanah merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia untuk memperoleh suatu bahan makanan yang sebagian besar berasal dari pengelolaan tanah.

Disamping itu, tanah merupakan sumber daya yang penting bagi masyarakat, baik sebagai media cocok tanam maupun sebagai ruang (space) atau wadah (tempat) melakukan berbagai kegiatan. Tanah juga merupakan salah satu faktor produksi yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan suatu bangsa. Tanah dalam masa pembangunan bertambah penting artinya, karena adanya peningkatan volume pembangunan dalam bidang – bidang pertanian, industri modern, perumahan, kelestarian lingkungan hidup, pengamanan sumber kekayaan alam, kesejahteraan sosial dan lain – lain. Hal ini semakin kompleks bila dikaitkan dengan pertambahan penduduk yang memerlukan wilayah yang luas, sehingga mengakibatkan mengecilnya atau berkurangnya persediaan tanah.

Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75) untuk selanjutnya disebut UUD NRI 1945 menentukan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam Pasal ini mengandung makna pemberian kekuasaan pada negara untuk mengatur sumber daya alam yang terkandung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka menyejahterakan segenap rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan isi dari Pasal ini, maka lahir lah Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) untuk selanjutnya disebut dengan UUPA, mengatur mengenai hukum pertanahan yang sesuai dengan jiwa dari bangsa Indonesia. UUPA diundangkan dengan tujuan untuk: (1) Meletakkan dasar – dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional sebagai alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur; (2) Meletakkan dasar – dasar untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; (3) Meletakkan dasar – dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak – hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan tujuan UUPA tersebut ditindaklanjuti dengan lahirnya berbagai peraturan perundang – undangan, salah satunya adalah Undang – Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117), selanjutnya disebut UU Landreform, yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila[2].

Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA tersebut adalah dicanangkannya program Landreform di Indonesia. Program tersebut diantaranya:[3]

“Pembatasan luas maksimal penguasaan tanah; Larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai); Redistribusi tanah – tanah yang menjadi kelebihan dari batas maksimal, tanah – tanah yang terkena larangan absentee, tanah – tanah bekas swapraja dan tanah – tanah negara; Pengaturan berkaitan dengan pengembalian dan penebusan tanah – tanah pertanian yang digadaikan; Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan – perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah – tanah pertanian menjadi bagian – bagian yang terlampau kecil”.

Pada dasarnya Landreform merupakan suatu upaya perubahan struktural yang mendasarkan diri pada hubungan – hubungan intra dan antar subyek – subyek agraria dalam kaitan akses (penguasaan dan pemanfaatan) terhadap obyek – obyek agraria. Namun secara konkret, pembaharuan agraria diarahkan untuk untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perubahan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan dan kekayaan alam yang menyertainya[4].

Selain itu dalam Pasal 10 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria menentukan bahwa, “setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada dasarnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara – cara pemerasan”. Dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara tegas bahwa adanya larangan untuk kepemilikan tanah secara absentee, tetapi melihat apa yang tertulis dalam pasal tersebut yang menyebutkan adanya suatu kewajiban untuk secara aktif mengerjakan atau mengusahakan tanah tersebut dengan mencegah cara – cara pemerasan, maka dapat dinyatakan UUPA melarang adanya kepemilikan tanah secara absentee.

Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut, Pemerintah sebenarnya telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322), yang pada intinya peraturan tersebut melarang adanya kepemilikan tanah secara absentee.

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322), menentukan bahwa “Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322), menentukan bahwa mereka – mereka yang mendapatkan pengecualian untuk memiliki tanah secara absentee, adalah sebagai berikut:

  1. Bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, dengan syarat jika jarak antara tempat tinggal pemilik dengan tanahnya masih memungkinkan untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien menurut pertimbangan panitia Landreform daerah tingkat II.
  2. Mereka yang sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria.
  3. Bagi pegawai – pegawai negeri dan pejabat – pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka yang sedang menjalankan tugas negara.

Kepemilikan tanah pertanian secara absentee dapat terjadi karena adanya peralihan hak baik karena adanya jual – beli maupun pewarisan. Segala perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah diwajibkan bagi calon penerima hak membuat suatu pernyataan sebagaimana telah diamanatkan oleh Pasal 99 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Surat pernyataan itu antara lain memuat masalah kepemilikan tanah absentee dan Landreform. Namun ternyata tidak sedikit yang mengabaikan ketentuan terkait kepemilikan dan peralihan hak tanah secara absentee maupun Landreform. Sampai detik ini masih sering dijumpai adanya Akta Perjanjian Ikatan Jual – Beli yang obyeknya sawah atau tambak dan pembelinya berstatus absentee.

Pemilik hak atas tanah memiliki kewajiban – kewajiban yang telah diatur dalam undang – undang, seperti:

  1. Kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria).
  2. Kewajiban memelihara tanah (Pasal 15 dan Pasal 52 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria).
  3. Kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertanian (Pasal 10 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria).

Secara implisit di dalam UUPA mengamatkan bahwa, agar tidak merugikan kepentingan umum, maka kepemilikan dan penguasaan tanah secara absentee yang melampaui batas tidak diperkenankan. Hal demikian dikhawatirkan seorang pemilik (pemegang hak) tanah yang luas cenderung untuk menjadi tuan tanah (landlord), serta cenderung untuk tidak bertempat tinggal di wilayah tempat tanah (pertanian) tersebut berada.

Pelaksanaan pembatasan tanah secara absentee hingga sampai dengan saat ini masih belum seperti yang diharapkan. Kepemilikan tanah secara absentee merupakan hal yang sangat mudah untuk diketahui, namun sangat sulit untuk dibuktikan dengan berbagai macam alasan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan, kepemilikan tanah pertanian secara absentee pada dasarnya telah dilarang oleh UUPA dan peraturan perundang – undangan lainnya yang terkait. Larangan ini berkenaan dengan ketentuan landreform sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 17 UUPA.

Maksud dari larangan atas kepemilikan tanah pertanian secara absentee ini agar petani yang tinggal di daerah tempat tanah pertanian tersebut berada dapat berperan aktif dan efektif dalam mengerjakan tanah pertanian miliknya, sehingga produktifitasnya bisa tinggi dan melenyapkan pengumpulan tanah di tangan para tuan tanah. Tujuan dari larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee ini adalah agar hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah pertanian tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di daerah tempat tanah tersebut berada. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322), mewajibkan pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya untuk mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada orang lain, dalam Peraturan Pemerintah tersebut mewajibkan pemilik (pemegang hak) atas tanah untuk pindah domisili kecamatan dimana tanah pertanian tersebut berada.

Ketentuan mengenai larangan kepemilikan tanah absentee dapat menimbulkan permasalahan – permasalahan. Permasalahan utama mengenai pengecualian – pengecualiannya, seperti pengecualian pada orang atau badan hukum yang dapat memiliki tanah pertanian secara absentee apabila letak tanah tersebut dan tempat tinggal pemilik tanah tersebut berbatasan kecamatannya. Akan tetapi, untuk saat ini jarak antara kecamatan satu dengan kecamatan lainnya tidak terlalu jauh, bahkan seringkali dijumpai berdekatan, karena dengan adanya perkembangan bidang teknologi dan transportasi serta pembangunan infrastruktur yang semakin maju pesat, sehingga memungkinkan orang yang tempat tinggalnya tidak berbatasan langsung dengan letak tanah pertanian, untuk memiliki tanah pertanian secara absentee. Karena mereka masih memungkinkan untuk dapat mengerjakan tanah tersebut secara aktif. UUPA, tidak memperkenankan untuk memiliki tanah pertanian secara absentee karena alasan kepentingan sosial dan perlindungan tanah. Dikhawatirkan jika tanah yang dimiliki secara absentee tersebut tidak diurus dan dikelola dengan baik sehingga dikhawatirkan akan menjadi tanah yang terlantar atau tidak lagi produktif sebab pemiliknya jauh. Tanah absentee dapat dimiliki oleh penduduk yang masih berbatasan dengan kecamatan dimana letak tanah tersebut berada. Selain itu, tanah pertanian dapat dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Tentara Negara Indonesia (TNI) dengan alasan keduanya merupakan abdi negara yang dapat berpindah tugas dari satu wilayah ke wilayah Indonesia yang lainnya. Untuk itu, pemilik tanah absentee dapat menjual tanah tersebut kepada masyarakat sekitar, atau bisa juga dengan menukar tanah tersebut, atau bahkan memberikan tanah tersebut secara sukarela dalam bentuk hibah kepada penduduk sekitar. Akan tetapi, jika ingin tetap memilikinya, maka dapat meminta salah satu anggota keluarganya untuk pindah ke lokasi tanah tersebut. Namun dalam kenyataannya, praktik di lapangan masih begitu banyak ditemui cara-cara untuk menyiasati kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian secara absentee, beberapa diantaranya adalah dengan cara dibuatnya surat kuasa mutlak, bahkan ditemui pula adanya KTP ganda.

Di era globalisasi ini, terutama dengan adanya kemajuan di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan, ekonomi serta pengaruh pergeseran budaya dalam pergaulan sosial, sebagian masyarakat di daerah pertanian (masyarakat di daerah pedesaan) menganggap bekerja di sektor pertanian bukan lagi dipandang suatu pekerjaan yang dapat dikategorikan sebagai pekerjaan dengan penghasilan yang tetap dan dianggap sebagai pekerjaan yang belum dapat merubah kondisi perekonomiannya untuk menjadi lebih baik, terutama bagi masyarakat dengan angkatan kerja yang berpendidikan minimal Sekolah Menengah Pertama ke atas. Beberapa dari mereka lebih memilih untuk bekerja sebagai karyawan / buruh pabrik, pedagang di kota – kota besar, atau bahkan ada yang lebih memilih bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia di beberapa negara dan lain sebagainya. Sedangkan, pemilik (pemegang hak) atas tanah pertanian (absentee) merupakan masyarakat daerah perkotaan (luar daerah pertanian) / bukan penduduk setempat, yang telah memperoleh tanah – tanah pertanian tersebut melalui peralihan hak baik dengan cara jual – beli, pewarisan, hibah maupun cara – cara lainnya, dan penggunaan tanah pertanian tersebut bukan dikelola sebagaimana peruntukan tanahnya, akan tetapi sebagai sarana investasi yang nantinya akan dijual kembali setelah harganya tinggi.

Menurut A. P. Parlindungan, di Indonesia sekarang ini memang banyak terjadi absentee baru, dengan tujuan bukan landlordism, sungguhpun kadangkala mereka menggaji orang – orang untuk menggarap tanahnya tersebut, tetapi lebih banyak penguasaan tanah yang luas untuk kepentingan spekulasi dan manipulasi. Keadaan ini lebih berbahaya, oleh karena mereka pemiliknya sama sekali tidak mengusahakan tanahnya dalam arti mengembangkan produktifitas tanahnya, kadangkala mereka membiarkan tanah tersebut dalam keadaan kosong (terlantar) dan tidak ditanami, dengan kemungkinan segera akan menjualnya jika telah terbayang akan kesulitan yang dideritanya akibat dari memiliki tanah tersebut. Jika pun ditanaminya, tanah tersebut sekedar untuk memberi kesan bahwa tanah itu ada empunya dan pemiliknya telah meletakkan orangnya untuk menjaga tanah yang dimaksud. Tembakan mereka adalah untuk kepentingan pembangunan perumahan dengan kedok real estate, ataupun tanah – tanah tersebut akan dijadikan proyek pembangunan yang akan diadakan oleh Pemerintah[5].

Akan tetapi, menyangkut hak dan kewajiban tersebut, terkadang kedudukan Pemerintah bukan hanya sebagai penengah apabila timbul konflik antara orang yang satu dengan orang yang lainnya, tak jarang konflik tersebut justru tercipta akibat perselisihan antara hak masyarakat dengan Pemerintah itu sendiri, misalnya dikarenakan adanya suatu kebijakan Pemerintah yang merugikan hak – hak konstitusionalitas dan mencederai nilai – nilai yang hidup di masyarakat, atau dengan cara lainnya yang dipandang tidak sesuai dengan norma – norma sosial dan tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat itu sendiri.

Berkenaan dengan uraian tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pembuatan regulasi oleh Pemerintah ternyata masih terdapat beberapa kendala dan hambatan yang mengakibatkan tidak berjalannya peraturan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Sehingga secara yuridis, permasalahan tersebut terletak pada efektifitas regulasi atau peraturan yang mengatur mengenai program Landreform itu sendiri, yang mana salah satu asasnya terkait larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa gagalnya Landreform di Indonesia dikarenakan salah satunya sebagai akibat dari peraturan mengenai larangan pemilikan tanah absentee tidak dapat diterapkan sebagaimana mestinya dan perlu dilakukan pengkajian ulang serta disesuaikan lagi dengan perkembangan jaman dan pola pikir masyarakat, serta kemajuan teknologi di Indonesia saat ini.


1.2.
Rumusan Masalah.

  1. Apakah peraturan perundnag – undangan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee telah sesuai dengan tujuan dari Landreform?
  2. Apakah urgensi dari penerapan peraturan perundang – undangan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee?
  3. Apakah terdapat pengecualian dalam peraturan perundang – undangan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee?
  4. Bagaimana penerapan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee dalam perspektif Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA)?

 


PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Umum tentang Landreform di Indonesia.

2.1.1. Definisi Landreform.

Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad – abad lamanya oleh negara – negara di dunia. Perombakan atau pembaharuan struktur keagrariaan terutama terkait masalah tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat petani yang semula tidak memiliki lahan garapan untuk memiliki tanah. Sehingga dapat dikatakan, bahwa negara yang ingin maju harus mengadakan Landreform.

Landreform berasal dari kata – kata dalam bahasa Inggris yang terdiri dari kata “Land” dan “Reform”. Land artinya tanah, sedangkan reform artinya perubahan dasar atau perombakan untuk mnembentuk/membangun/menata kembali struktur pertanian. Jadi, arti Landreform adalah perombakan struktur pertanian lama dan pembangunan struktur pertanian lama menuju struktur pertanian baru[6]. Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan dengan penguasaan tanah[7].

Landreform dalam arti luas yang merupakan Agrarian Reform yang meliputi 5 (lima) program, yaitu:

  1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum.
  2. Penghapusan hak – hak asing dan konsesi – konsesi kolonial atas tanah.
  3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur – angsur.
  4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
  5. Perencanaan, persediaan, dan peruntukan bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya[8].

Pelaksanaan Reforma Agraria (Agrarian Reform) yang ke-4 dikenal sebagai kebijakan Landreform atau Reforma Agraria (Agrarian Reform) dalam arti sempit, yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.

Pada tataran implementasi, istilah Landreform sering dipadankan atau diidentikkan dengan istilah Agrarian Reform atau Reforma Agraria, karena Landreform secara langsung dapat menunjukkan hasil yang lebih nyata melalui perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah yang lebih berkeadilan dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini sebagaimana menurut pendapat Elias H. Tuma, yang menyatakan bahwa “dalam praktiknya konsep Landreform telah diperluas cakupannya untuk menekankan peran strategis dari tanah dan pertanian dalam pembangunan”. Oleh karenanya konsep ini kemudian menjadi sinonim dari konsep Reforma Agraria (Agrarian Reform)[9].

Pelaksanaan landreform merupakan kebutuhan dan keharusan yang tidak dapat dihindari guna mewujudkan keadilan sosial dan demi pemanfaatan yang sebesar – besarnya dari tanah untuk kemakmuran bersama. Dengan demikian pelaksanaan Landreform dapat diartikan membantu mewujudkan tujuan nasional negara kita, yaitu masyarakat adil dan makmur.


2.1.2. Dasar Hukum Landreform.

Dalam melaksanakan program Landreform, Pemerintah mempunyai dasar – dasar hukum, yaitu:

a)   Pancasila.
Konsep keadilan sebagaimana yang dijelaskan oleh Aristoteles dan para pemikir sesudahnya, demikian juga konsep keadilan sosial yang tercantum dalam sila ke-5 Pancasila, memang tidak mudah untuk dipahami, terlebih bila harus dihadapkan pada kasus yang konkret. Bagi Indonesia sesuai dengan falsafah Pancasila maka tepat kiranya untuk menerapkan asas keadilan sosial. Keadilan itu sendiri bersifat universal. Jauh di dalam lubuk hati setiap orang ada kesepakatan tentang sesuatu yang dipandang sebagai adil dan tidak adil itu. Dalam pengertian keadilan, pada umumnya diberi arti sebagai keadilan membagi kepada setiap orang yang diberikan bagian atau haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing – masing. Namun, perlu dipahami bahwa keadilan itu bukanlah hal yang statis, akan tetapi merupakan suatu proses yang dinamis dan senantiasa bergerak diantara berbagai faktor termasuk persamaan hak itu sendiri.

b)   Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Secara konstitusional masalah perekonomian di dalamnya, termasuk ekonomi Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia telah diatur dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 33 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur sebagai berikut:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha berdasarkan atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang – cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh negara.
(3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang – Undang.

c)   Landreform dalam Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA).
Sebagaimana disinggung sebelumnya, Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu telah dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), terutama tentang pengertian “dikuasai negara”, yaitu memberi wewenang negara untuk:

(1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan luar angkasa tersebut.
(2) Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang – orang dan perbuatan – perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan angkasa.
(3) Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang – orang dan perbuatan – perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(4) Sementara wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar – besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan Makmur. Payung hukum bagi pelaksanaan landreform di Indonesia adalah Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) dan Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 5 tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), maka UUPA menempati posisi yang strategis dalam sistem hukum nasional Indonesia, karena UUPA mengandung nilai – nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang berperikemanusiaan dan keadilan sosial. Nilai – nilai tersebut dicerminkan oleh:

a. Tanah dan tataran paling tinggi dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
b. Pemilikan atau penguasaan tanah yang berkelebihan tidak dibenarkan.
c. Tanah bukanlah komoditas ekonomi biasa, oleh karena itu tanah tidak boleh diperdagangkan semata – mata untuk mencari keuntungan.
d. Setiap warga negara yang memiliki atau menguasai tanah diwajibkan mengerjakan sendiri tanahnya, menjaga dan memelihara sesuai dengan asas kelestarian kualitas lingkungan hidup dan produktifitas sumber daya alam.
e. Hukum adat atas tanah diakui sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

d)   Beberapa ketentuan pelaksanaan Landreform.
Jika menelusuri beberapa ketentuan lain dari UUPA, maka akan dijumpai beberapa peraturan yang lain jika dipelajari secara mendalam sesungguhnya adalah ketentuan Landreform.

(1) Undang – Undang (Perppu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang – Undang ini merupakan ketentuan dari Pasal 7 dan 17 UUPA. Undang – Undang ini mengatur tiga masalah pokok, yaitu penetapan luas maksimum penguasaan tanah dan luas minimum tanah pertanian.
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
(3) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
(5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform.
(6) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 18 tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian.


2.1.3.
Tujuan Landreform.

Tujuan Landreform diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Secara umum Landreform bertujuan untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Secara khusus, berdasarkan tujuan umum Landreform sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka Landreform di Indonesia diarahkan agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus, yaitu:[10]

a)      Tujuan Sosial – Ekonomis

(1) Memperbaiki keadaan sosial – ekonomi masyarakat dengan memperkuat hak milik, serta memberi isi dan fungsi sosial pada hak milik.
(2) Memperbaiki produksi nasional khususnya di sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

b)     Tujuan Sosial – Politis.

(1)   Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas.
(2)  Mengadakan pembagian yang adil atas sumber – sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil.

c)      Tujuan Mental Psikologis.

(1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah.
(2)  Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.


2.1.4. Obyek Landreform.

Tanah – tanah yang menjadi obyek landreform yang akan diredistribusikan pada petani penggarap menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, meliputi:[11]

a) Tanah – tanah selebihnya dari batas maksimum sebagaimana yang dimaksud dalam Undang – Undang (Perppu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
b) Tanah – tanah yang diambil oleh Pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah kecamatan letak tanahnya atau karena pemilikan tanah absentee (guntai), menyebabkan:

(1) Penguasaan tanah yang tidak ekonomis.
(2) Menimbulkan sistem penghisapan.
(3) Ditelantarkan.

c) Tanah – tanah swapraja dan bekas swapraja yang dengan berlakunya ketentuan UUPA menjadi hapus dan beralih kepada negara.
d) Tanah – tanah lain yang langsung dikuasai oleh negara, misalnya bekas tanah partikelir, tanah – tanah dengan Hak Guna Usaha yang telah berakhir waktunya, diberhentikan, atau dibatalkan.
e) Tanah – tanah lain, tidak termasuk di dalamnya tanah – tanah wakaf dan tanah – tanah untuk peribadatan.

Tanah – tanah sebagai obyek Landreform sebelum dibagi – bagikan kepada masyarakat petani (penggarap), terlebih dahulu dinyatakan sebagai tanah – tanah yang dikuasai langsung oleh negara.


2.2. Tinjauan Umum tentang Tanah Pertanian Absentee sebagai Obyek dari Landreform.

2.2.1. Definisi Tanah Pertanian.

Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/1/12 tentang Tanah Pertanian, angka 5 huruf (b) menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan tanah pertanian adalah juga semua tanah perkebunan tambak untuk perikanan, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya, tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan, berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah, dan berapa yang merupakan tanah pertanian.

Kemudian diperluas dengan tanah – tanah usaha (bukan kongsi) di dalam areal / persil eks tanah partikelir dan eks – eigendom yang luasnya melebihi 10 bouw. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah – Tanah Partikelir, dijelaskan bahwa tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang / badan hukum dan Pemerintah, selain tanah untuk perumahan dan bangunan[12].


2.2.2. Definisi Tanah Pertanian Absentee dan Dasar Hukumnya.

Kata absentee berasal dari kata latin “absentee” atau “absentis”, yang berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris karangan John M. Echols dan Hasan Sadily, absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat tinggal di lain tempat[13]. Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau dalam Bahasa Sunda disebut “guntai”, yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal yang empunya[14].

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, yang mengatur sebagai berikut:

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”.

Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 3d Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan tentang Perubahan dan Penambahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, yang mengatur sebagai berikut:

“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar kecamatan dimana ia bertempat tinggal”.

Ketentuan – ketentuan tersebut di atas, secara implisit menunjukkan bahwa pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) menurut peraturan perundang – undangan tidak diperbolehkan. Karena pada prinsipnya melanggar ketentuan dalam Pasal 10 UUPA yang mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara – cara pemerasan. Selanjutnya, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian menyebutkan secara implisit pula mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee yang terdapat pada Pasal 7 ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanah dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal perolehan hak, harus:
a) Mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lain yang berdomisili di kecamatan letak tanah tersebut; atau
b) Pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”.

Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee tidak berlaku bagi pemilik tanah pertanian yang tempat tinggalnya berbatasan langsung dengan kecamatan tempat letak tanah pertaniannya, dengan syarat jarak tempat tinggal pemilik tanah pertanian itu masih memungkinkan untuk dapat mengerjakan tanah pertaniannya dengan baik dan efisien.

Pengertian dari tanah pertanian absentee menurut Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dalam Pasal 1 (b) dan Pasal 3 ayat (1) dan (3) yaitu tanah – tanah pertanian yang pemiliknyabertempat tinggal diluar daerah kecamatan tempat tanah itu berada. Sedangkan di negara lain, pengertian tanah pertanian absentee tersebut rumusan yang dipakai tergantung dari peraturan masing – masing, ada yang menetapkan ukuran jarak tertentu antara tanah pertaniannya dan tempat tinggal pemilik bahkan ada yang lebih ekstrim, apabila tidak dikerjakan lahan pertaniannya dan bekerja di sektor lain dianggap absentee[15].


2.2.3. Maksud dan Tujuan Diterapkannya Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee.

Pada umumnya tanah – tanah pertanian letaknya adalah di desa, sedang mereka yang memiliki tanah pertanian secara absentee (guntai) umumnya bertempat tinggal di kota / kabupaten. Orang yang tinggal di kota memiliki tanah pertanian di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip tanah pertanian untuk petani. Orang yang tinggal di kota sudah jelas bukan termasuk kategori petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) adalah agar hasil yang diperoleh dari pengelolaan dan / atau penggarapan tanah pertanian sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, bukan dinikmati oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.

Menurut Boedi Harsono, tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil[16]. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, secara implisit juga menyebutkan maksud dan tujuan adanya larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee, yaitu “untuk mengurangi kesenjangan sosial, memeratakan kesejahteraan masyarakat dan menjamin ketahanan pangan”.

Pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) ini menimbulkan penggarapan yang tidak efisien, misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya, juga dapat menimbulkan sistem – sistem penghisapan. Ini berarti bahwa, para petani menggarap tanah milik orang lain dengan sepenuh tenaganya, tanggung jawabnya dan segala resikonya, tetapi hanya menerima sebagian dari hasil yang dikelolanya. Di sisi lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak mengerjakan tanahnya tanpa menanggung segala resiko, serta tanpa mengeluarkan keringatnya akan mendapatkan bagian lebih besar dari hasilnya.

Sehingga hal itu tidak sesuai dengan tujuan Landreform yang diselenggarakan di Indonesia, yaitu untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah serta sebagai landasan atau persyaratan untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila[17]. Secara yuridis, dasar hukum mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) telah dituangkan ke dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dan Pasal 3 (a) sampai dengan Pasal 3 (e) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian[18].

Dalam Pasal 10 UUPA telah dikemukakan bahwa yang mempunyai tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, sehingga kemudian diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut absentee (guntai), yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar wilayah kecamatan tempat tinggal pemilik tanah. Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar kecamatan tempat letak tanahnya. Larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak tempat pemilik itu dengan tanahnya, masih memungkinkan untuk mengerjakan tanahnya tersebut secara efisien.

Untuk memperjelas mengenai tanah absentee (guntai), dapat dikatakan bahwa syarat – syarat berlakunya larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) didasarkan pada adanya peristiwa – peristiwa hukum yang dapat menyebabkan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai), seperti dijelaskan sebagai berikut:

a)  Pemilik tanah pertanian yang meninggalkan kecamatan letak tanahnya.
b) Seseorang yang menerima warisan tanah pertanian yang letaknya di kecamatan lain.
c) Semua bentuk pemindahan hak milik atas tanah pertanian, seperti jual – beli, hibah, dan tukar – menukar.

Yang terjadi dalam praktik adalah bahwa, ada sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasai lagi karena telah beralih secara diam – diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Penguasaan tanah secara absentee (guntai) ini pada umumnya diketahui oleh masyarakat sekitar[19].


2.2.4.
Pengecualian terhadap Pemilikan Tanah Pertanian secara Absentee.

Pengecualian dari larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai), adalah sebagai berikut:

a)   Mereka yang sedang menjalankan tugas negara.
b)   Mereka yang sedang menunaikan kewajiban agama.
c) Mereka yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Menteri Agraria[20].

Pengecualian pemilikan tanah secara absentee (guntai) sampai 2/5 dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II (sekarang Kabupaten / Kota) yang bersangkutan, diberikan kepada:

a)  Pensiunan Pegawai Negeri.
b) Janda Pegawai Negeri dan Janda Pensiunan Pegawai Negeri selama tidak menikah lagi dengan dengan seorang bukan Pegawai Negeri atau Pensiunan Pegawai Negeri.

Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) tidak berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas negara, misalnya pergi dinas ke luar negeri, menunaikan ibadah haji, dan lain sebagainya. Juga pegawai – pegawai negeri dan pejabat – pejabat militer serta mereka yang dipersamakan, yang sedang menjalankan tugas negara boleh memiliki tanah di luar kecamatan, tetapi pemilikan itu terbatas pada 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan. Misalnya, di daerah yang sangat padat, maka hanya diperbolehkan memiliki sawah 2/5 x 5 ha = 2 ha. Di dalam pengecualian yang dimaksudkan pada ayat (3) dan (4) termasuk pula pemilikan oleh isteri dan / atau anak – anak yang menjadi tanggungannya. Tetapi, jika sewaktu – waktu seorang Pegawai Negeri atau yang dipersamakan dengan mereka berhenti menjalankan tugas negara, maka ia wajib pindah ke kecamatan tempat tanah tersebut atau memindahkan hak miliknya kepada orang lain yang tinggal di kecamatan tempat tanah tersebut berada dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak mengakhiri tugasnya dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria apabila terdapat alasan yang wajar dan dapat diterima.

Untuk pensiunan Pegawai Negeri atau mereka yang dipersamakan dengannya, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian secara (Guntai) Absentee bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Dalam Pasal 2 ayat (1) diatur, bahwa:

“Sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, pengecualian dari ketentuan – ketentuan mengenai larangan untuk memiliki tanah pertanian secara guntai (absentee) yang berlaku bagi para pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961, Nomor 280) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Tahun 1964, Nomor 112) sampai batas 2/5 (dua per lima) dari maksimum pemilikan tanah untuk Daerah Tingkat II yang bersangkutan diperlakukan juga bagi: (a) Pensiunan Pegawai Negeri, dan (b) Janda Pegawai Negeri dan Janda Pensiunan Pegawai Negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan Pegawai Negeri atau Pensiunan Pegawai Negeri”.

Diadakan ketentuan pula, bahwa seorang Pegawai Negeri dalam waktu 2 (dua) tahun menjelang pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian secara absentee (guntai). Tetapi, luas tanah yang dimilikinya secara absentee (guntai) itu tidak boleh melebihi 2/5 (dua per lima) dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II (sekarang Kabupaten / Kota) yang bersangkutan. Pemilikan tanah itu boleh diteruskannya setelah pensiun dan sekiranya kemudian ia berpindah tempat tinggal ke kecamatan letak tanah tersebut, maka pemilikan itu dengan sendirinya dapat ditambah hingga seluas batas maksimum.

Kemungkinan – kemungkinan yang dapat timbul terkait pemindahan atau peralihan hak atas tanah pertanian secara absentee (guntai) ini adalah sering terjadi peralihan hak atas tanah pertanian secara absentee (guntai) yang dilakukan kepada seseorang yang bukan Pegawai Negeri Sipil, namun berdomisili di daerah tersebut. Sehingga menyebabkan pengurusan ijin kepemilikan tanah menjadi sulit karena berbenturan dengan peraturan penataan status kepemilikan tanah dengan batas maksimum sesuai peraturan daerah di daerah yang bersangkutan.

Ketentuan tentang kewajiban melaporkan dan memindahkan bagi pemilik tanah pertanian secara absentee (guntai) diatur dalam Pasal 3a Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian[21]:

(1) Pemilik tanah pertanian yang berpindah tempat tinggal atau meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah pertanian selama 2 (dua) tahun berturut – turut, sedangkan ia melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang (kepala desa), maka dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak berakhirnya jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut di atas ia diwajibkan untuk memindahkan hak milik atas tanah pertaniannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan tempat tinggalnya semula atau pemilik tanah pertanian menjalankan tugas negara atau menunaikan kewajiban agama.
(2) Jika pemilik tanah pertanian berpindah tempat tinggal atau meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat tanah pertanian itu, sedangkan ia tidak melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang (kepala desa), makan dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak ia meninggalkan tempat kediamannya itu diwajibkan untuk memindahkan hak milik atas tanah pertaniannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut.

Jika seseorang memiliki tanah pertanian di luar kecamatan dimana ia bertempat tinggal, kecuali Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diperolehnya tanah pertanian tersebut dari warisan, maka dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak pewaris meninggal dunia diwajibkan untuk memindahkan tanah pertaniannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah pertanian tersebut terletak. Pemilik tanah pertanian tidak terkena kewajiban ini, apabila berpindah tempah tempat tinggal di kecamatan dimana tanah pertanian tersebut terletak atau pemilik tanah pertanian berpindah tempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dimana tanah pertanian tersebut terletak.

Perjanjian bagi hasil (hak usaha bagi hasil) sebagai hak atas tanah sementara, dalam waktu yang singkat dan akan dihapuskan karena mengandung sifat – sifat pemerasan dan mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA). Terkait perhitungan bagi hasil, menurut Pasal 1 huruf c Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), yang dimaksud dengan perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun yang dibedakan antara pemilik tanah pada satu pihak atau seseorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalam undang – undang ini disebut penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tanah tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik. Jadi, terhadap tanah pertanian yang dimiliki secara absentee (guntai) oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih diperkenankannya untuk mempekerjakan tanah pertanian tersebut dengan cara bagi hasil, akan tetapi hanya bersifat sementara dan dengan luas tanah pertanian yang telah ditentukan oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku.


2.3. Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee (Guntai) dalam Perspektif Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA).

2.3.1. Kedudukan Pemilikan Tanah Pertanian secara Absentee (Guntai) Ditinjau dari Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA)

Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), pada pokoknya tidak mengijinkan pemilikan tanah secara absentee (guntai), dengan alasan kepentingan sosial dan perlindungan tanah. Dikhawatirkan jika pemilikan tanah secara absentee (guntai) tidak diolah akan menjadi tanah terlantar atau tidak produktif dikarenakan pemilik (pemegang hak) nya jauh. Tanah pertanian absentee (guntai) dapat dimiliki oleh penduduk yang masih berbatasan dengan kecamatan dimana tanah pertanian tersebut berada. Selain itu, tanah absentee (guntai) juga dapat dimiliki oleh Pegawai Negeri atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), dengan alasan keduanya adalah abdi negara yang dapat berpindah tugas dari satu wilayah ke wilayah lain. Oleh karenanya, pemilik tanah pertanian absentee (guntai) dapat menjual tanah tersebut kepada masyarakat sekitar. Bisa juga menukarkan tanah tersebut atau memberikan secara sukarela dalam bentuk hibah kepada penduduk di sekitar letak tanah tersebut berada. Apabila tetap ingin memilikinya, dia dapat meminta salah satu anggota keluarganya untuk pindah ke lokasi tanah tersebut. Dalam praktik di lapangan, kerap kali terjadi kecurangan terhadap pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai). Biasanya pemilik tanah menyiasatinya dengan cara membuat surat kuasa mutlak atau membuat Kartu tanda Penduduk (KTP) ganda. Akan tetapi, ternyata larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai) hanya untuk kategori tanah pertanian saja, bukan lahan yang akan digunakan untuk membangun properti dan / atau perumahan (pemukiman).

Dengan demikian, maka yang dipunyai hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi, wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian dari tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya. Hak penguasaan tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang dalam badan hukum tertentu sebagai subyek hukum atau pemegang haknya. Adapun ketentuan hukum tanah yang mengatur hak – hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum adalah sebagai berikut:[22]

  1. Memberi nama pada penguasaan hak yang bersangkutan.
  2. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya.
  3. Mengatur hal – hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh jadi pemegang haknya dan syarat – syarat bagi penguasaannya.
  4. Mengatur hal – hal mengenai tanahnya.

Berdasarkan dari hal – hal tersebut di atas, sehubungan dengan dengan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) dalam hal kejelasan pemilikan tanah dapat dibenarkan oleh karena hak setiap orang melekat pada dirinya untuk dapat memiliki setiap benda tentunya dengan cara – cara yang wajar atau dengan cara – cara jual – beli dan sebagainya. Tetapi pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) apabila dilihat dari segi asas kemanfaatan tentunya berbeda dengan pandangan lainnya, ini dikarenakan setiap tanah atau lahan harus memberikan kemakmuran atau manfaat yang sebesar – besarnya bagi masyarakat sesuai dengan apa yang termaktub dalam Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya. Pada dasarnya sumber hukum tanah di Indonesia dapat dibagi dengan dua sumber hukum, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Boedi Harsono[23] menjelaskan bahwa, norma – norma hukum tertulis merupakan norma yang dituangkan ke dalam peraturan perundang – undangan, sedangkan norma hukum adat tidak tertulis, berupa hukum adat dan hukum kebiasaan baru yang bukan hukum adat.

Sehubungan dengan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) berdasarkan dari apa yang dijelaskan di atas, maka pemilikan tanah pertanian tersebut juga tidak lepas dari norma – norma adat dari setiap wilayah atau di tempat tanah tersebut. Sudah barang tentu mengenai hal – hal adat memang keberadaannya diakui juga oleh norma – norma hukum dalam hidup bermasyarakat.

Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah, biasanya calon penerima hak diwajibkan membuat pernyataan sebagaimana yang diamanatkan Pasal 99 Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997, manakala Surat Pernyataan itu antara lain memuat masalah pemilikan tanah secara absentee dan Landreform.

Ternyata tidak sedikit yang kurang paham mengenai pemilikan tanah pertanian secara absentee dan Landreform. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa adanya larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee pada dasarnya sebagai bentuk usaha menghapus sistem tersebut dapat menciptakan kesempatan yang sama bagi masyarakat yang lainnya untuk memanfaatkan tanah dalam menopang kebutuhan hidup sehari – hari. Mengingat juga apa yang tercantum dalam memori penjelasan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), pada angka II (1), antara lain diuraikan bahwa prinsip nasionalitas berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Indonesia menjadi hak pula dalam bangsa Indonesia, jadi tidak semata – mata jadi pemilik dari pemiliknya saja, dengan demikian bangsa Indoensia merupakan semacam hak ulayat yang diangkat dari tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan mengenai seluruh wilayah Indonesia[24].

Dalam kepemilikan tanah secara absentee bahkan terkadang ditemukan ada Akta Perjanjian Ikatan Jual – Beli yang obyeknya adalah tanah sawah, dan pemiliknya berstatus absentee, sedangkan dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA), telah menjelaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Maka seseorang yang mempunyai tanah dan luasnya cenderung menjadikannya sebagai tuan tanah (landlord) dan hal tersebut cenderung untuk tidak bertempat tinggal di lokasi dimana tempat tanah pertanian tersebut berada.

Dalam ruang lingkup pertanian sesuai dengan ratio – nya, maka syarat – syarat akan dapat tinggal itu kiranya masih dapat diperlukan sesuai dengan ketentuan mengenai tanah pertanian secara absentee, yaitu tidak ada keberatan jika petani penggarap bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan tempat letak tanahnya berada asal jarak tempat tinggal pemilik dengan tanah yang bersangkutan masih masih dapat dijangkau serta masih dirasa sangat mudah akses transportasinya untuk sampai pada lokasi tanah tersebut, sehingga tidak terkendala untuk menggarap dan / atau mengelola lahan (tanah) pertanian tersebut.

2.3.2. Penerapan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria terhadap Tanah Pertanian yang Dimiliki Secara Absentee.

Penerapan dari Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) terhadap tanah – tanah pertanian yang dimiliki secara absentee (guntai) hingga sampai dengan saat ini dapat terlihat dalam masyarakat sebagai suatu gejala hukum yang belum ada kepastiannya. Hal ini disebabkan begitu banyaknya orang – orang terutama pengusaha – pengusaha maupun pejabat – pejabat yang masuk dalam kategori “konglomerat”, tidak sedikit dari mereka yang memiliki tanah pertanian secara absentee. Sedangkan dalam segi hukumnuya, hal tersebut merupakan suatu hak individu untuk melakukan peralihan hak atas tanah baik dengan cara jual – beli atau dengan cara – cara lainnya, seperti gadai.

Mengenai ketentuan hak atas tanah tentunya didasarkan pada hak suatu bangsa, yaitu hak bangsa adalah istilah untuk lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi, air, bumi, dan ruang angkasa Indonesia, termasuk juga kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Istilah ini bukanlah istilah resmi yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA). Hak ini merupakan hak penguasaan tanah yang tertinggi dalam di dalam hukum tanah nasional. Pemilik dari hak ini adalah seluruh rakyat Indonesia yang sepanjang bersatu sebagai bangsa – bangsa Indonesia yang terdahulu dan generasi yang akan datang. Hak ini meliputi semua tanah yang ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan hal tersebut secara umum masalah kepemilikan tanah diserahkan penuh pada masyarakat pemegang hak atas tanah, tetapi disisi lain UUPA dalam pelaksanaannya tidak merekomendasi adanya pemilikan tanah secara absentee.

Dalam hubungannya dengan Hukum Perdata, lebih khususnya dengan Hukum Kebendaan yakni, adalah hukum yang mengatur hubungan subyek hukum dengan benda, yang menimbulkan hak kebendaan[25]. Sesuai apa yang dimaksud dengan benda, bahwa benda adalah segala sesuatu yang dapat dihak’i[26]. Hukum benda merupakan bagian dari hukum kekayaan, yang diatur dalam Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pasal 499 sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), meliputi pengertian benda dan macam – macam benda serta pengertian benda dan macam – macam benda serta pengertian hak kebendaan dan macam – macam hak kebendaan. Dengan berlakunya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September Tahun 1960, maka di dalam Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tidak ada lagi ketentuan – ketentuan tentang benda tidak bergerak.

Berdasarkan dari apa yang dijelaskan di atas, maka jelaslah hubungan antara Hukum Perdata dengan Hukum Agraria, yakni Hukum Agraria merupakan hukum yang lebih khusus dari Hukum Perdata. Kemudian mengenai hak kepemilikan atas tanah, hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA, adalah hak turun – temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA, yaitu “semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial”. Pengaturan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tentang masalah kepemilikan benda, terutama benda tidak bergerak, khususnya tanah, memang sudah merupakan hak bagi setiap individu untuk melakukan peralihan hak atas tanah atau lahan kepada subyek hukum, baik yang berada di daerahnya maupun yang berada di luar daerahnya. Hal inilah yang menjadi kendala sehingga menimbulkan isu hukum terkait ketidakpastian dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria dan terkesan tidak sinkron dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, terkait praktik larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai). Sehingga antara UUPA dengan peraturan pelaksanaannya menimbulkan konflik norma. Dalam praktik di lapangan, pelanggaran mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) masih seringkali dijumpai. Hal ini dikarenakan, UUPA tidak mengakomodir ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) secara tegas, dan sanksi serta pemberian atas ganti kerugian mengenai tanah yang diambil alih oleh Pemerintah untuk dibagikan kembali kepada masyarakat di sekitar juga sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman, perlu dilakukan revisi kembali atas regulasi tersebut.

Hierarki hak – hak penguasaan atas tanah dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) dan Hukum Tanah Nasional, adalah sebagai berikut:

  1. Hak bangsa Indonesia atas tanah: Hak bangsa Indonesia atas tanah ini merupakan hak penguasaan tanah yang tertinggi dan meliputi semua yang ada dalam wilayah negara, yang merupakan tanah Bersama, bersifat abadi, dan menjadi induk bagi hak – hak penguasaan yang lain atas tanah.[27]
  2. Hak menguasai dari negara atas tanah: Hak menguasai atas tanah bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tegas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola Hukum Tanah Bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh Bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, Bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.[28]

Kemudian mengenai pengukuran hak – hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah dibagi menjadi dua, yaitu:[29]

  1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum, hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan antara tanah dan orang dan badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.
  2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret. Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan antara tanah tertentu sebagai obyek dan orang atau badan hukum tertentu dan sebagai subyek hukum atau pemegang haknya.

Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya kreditur (bank) pemegang hak atas jaminan tanah mempunyai hak penguasaan tanah secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, akan tetapi secara fisik penguasaan tanah tetap ada pada pemilik tanah[30]. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah tersebut dipakai dalam aspek privat atau keperdataan sedang penguasaan yuridis yang beraspek publik dapat dilihat pada penguasaan tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA). Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang kewajiban, wajib atau dilarang bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihak’inya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda diantara hak – hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Pengertian penguasaan tanah dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis, juga beraspek privat dan publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan dilandasi oleh hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik atas tanah yang dihak’i, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihak’i, tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihak’i secara fisik, namun pada kenyataannya penguasaan fisiknya masih dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah. Orang – orang asing atau Warga Negara Asing (WNA) hanya dapat menguasai tanah dengan status hak pakai yang dan jangka waktunya terbatas. Demikian pula, pada dasarnya badan – badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik. Adapun yang menjadi pertimbangan untuk melarang badan – badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetap cukup hak – hak lainnya, asalkan saja ada jaminan – jaminan yang cukup bagi keperluan – keperluannya yang khusus (hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak – hak lainnya). Kecuali, badan – badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan dapat mempunyai hak milik atas tanah, sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dan peruntukannya sesuai dengan fungsi sosial dan keagamaan dari badan hukum itu sendiri. Dalam hal – hal ini yang tidak langsung berhubungan dengan bidang – bidang itu, maka badan – badan hukum ini dianggap sebagai badan hukum biasa. Dengan demikian, akan dapat mencegah usaha – usaha penyelundupan hukum yang memiliki maksud untuk menghindari mengenai ketentuan – ketentuan batas maksimum luas tanah yang dimiliki berdasarkan hak milik oleh badan – badan hukum yang bersangkutan.

Selain hak – hak sebagaimana telah disebutkan di atas, ada hak yang sifatnya khusus, yang bukan hanya sekedar berisikan kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihak’i, tetapi juga mengandung hubungan psikologis emosional antara pemegang hak dengan tanah tertentu. Pemegang haknya sebagai orang Indonesia yang belum mendapat pengaruh pemikirna barat, dan merasa handarbeni (merasa ikut memiliki) atas tanah tersebut[31].

Kemudian tiap – tiap Warga Negara Indonesia, baik laki – laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah, serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Maka dari itu, perlu diadakan suatu perlindungan hukum bagi golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat di dalam kedudukan ekonominya. Dengan ditentukan bahwa, jual – beli, penukaran, hibah, pemberian karena wasiat, serta perbuatan – perbuatan yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan ini merupakan alat untuk melindungi golongan – golongan yang lemah sebagaimana telah diuraikan dan dijelaskan sebelumnya. Dalam hubungan itu, dibuat ketentuan untuk mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang – bidang usaha di bidang agrarian. Hal ini bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha Bersama dalam ruang lingkup agrarian harus berdasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional sehingga Pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan usaha – usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat adanya praktik monopoli swasta. Kemudian mengenai hak pengelolaan yang mana hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang sebagian haknya dilimpahkan kepada pemegang haknya dan bagian – bagian dari hak pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak ketiga dengan adanya hak – hak tertentu[32]. Jadi, dalam konteks bidang keagrariaan, Hak Pengelolaan ini termasuk hak atas tanah, yakni hak menguasai negara yang dapat diberikan kepada Badan Hukum sebagai pemegang haknya, dikarenakan ketentuan dari peraturan perundang – undangan yang berlaku, baik itu karena adanya perintah dari undang – undang maupun peraturan pemerintah. Dengan demikian secara obyektif, artinya kewenangan untuk menggunakan Hak Pengelolaan ini telah ditentukan. Maka dengan demikian, hak pengelolaan tanah sebagai “gempilan”[33] hak menguasai tanah ini sudah jelas sebagai hak atas tanah yang sudah konkret diberikan kepada subyek hukumnya untuk keperluan subyek hukumnya dengan segala kewajiban dan kewenangannya yang melekat.

Kemudian berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menentukan sebagai berikut:

“Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang – undangan.”

Maka dari itu, apabila suatu benda berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan dan demi kepentingan umum harus dimusnahkan dan / atau tidak diberdayakan lagi fungsinya baik untuk sementara waktu maupun selamanya, maka hal tersebut harus ada ganti kerugian yang diberikan kepada pemegang haknya dengan nilai yang wajar dan proporsional disesuaikan dengan nilai benda yang dicabut haknya, dimusnahkan atau tidak diberdayakan tersebut dengan tetap memperhatikan ketentuan dari peraturan perundang – undangan yang berlaku, kecuali terdapat ketentuan peraturan perundang – undangan yang secara tegas dan eksplisit menentukan lain.

Penerapan UUPA terhadap kepemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) memang belum maksimal, artinya belum mengakomodir ketentuan mengenai ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) tersebut secara tegas dan eksplisit, namun hanya mengaturnya secara implisit sehingga hal demikian mengakibatkan multi interpretasi yang mengakibatkan adanya kekaburan norma karena tidak secara tegas diakomodir dalam UUPA mengenai larangan tersebut. Dalam penerapannya, masih banyak ditemukan begitu banyak permasalahan terkait kepemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) terutama di bidang administrasi baik di desa maupun kecamatan untuk tanah – tanah yang belum didaftarkan haknya pada Kantor Pertanahan, manakala tanah – tanah pertanian tersebut bukan lagi menjadi hak (milik) dari warga yang bertempat tinggal dimana tempat (lokasi) tanah pertanian tersebut berada. Hal inipun juga akan menimbulkan masalah – masalah tertib administrasi lainnya, salah satunya masalah di bidang perpajakan. Tentunya dalam hal domisili pemilik dengan tanahnya sudah berbeda, yang sudah jelas mengakibatkan ketidaksesuaian data administrasi di bidang perpajakan atas tanah pertanian tersebut, khususnya mengenai subyek hukum (pajak) dengan obyeknya yang menjadikannya kabur, atau tidak jelas siapa yang akan menanggung sebagai wajib pajaknya, karena permasalahan di lapangan akan sering terjadi saling lempar tanggung jawab akan kewajiban untuk membayar dan melunasi pajak – pajak atas tanah tersebut. Hal inilah yang selalu menjadi salah satu permasalahan umum dalam kepemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai).

 


Endnotes
(Daftar Bacaan dan Referensi)

 

[1] Benhard Limbong, Politik Pertanahan, Penerbit: Margaretha Pustaka, Jakarta, 2014, hlm. 26.

[2] Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia; Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 122.

[3] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 203.

[4] Ida Nurlinda, Prinsip – Prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hlm. 77.

[5] A. P. Parlindungan, Komentar atas Undang – Undang Pokok Agraria, Penerbit: CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 121.

[6] I Nyoman Budi Jaya, Tinjauan Yuridis tentang Redistribusi Tanah Pertanian dalam Rangka Pelaksanaan Landreform, Penerbit: Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 9.

[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm. 364.

[8] Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, Penerbit: Liberty, Jogjakarta, 1997, hlm. 66.

[9] Sulasi Rongiyati, Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah Pertanian (Kajian Yuridis terhadap UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian), Penelitian pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI, Diterbitkan dalam Jurnal “Negara Hukum: Vol. 4, No. 1, Juni 2013”, Jakarta, 2013, hlm. 4.

[10] I Nyoman Budi Jaya, Op.Cit., hlm. 11.

[11] Ibid., hlm 23.

[12] Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 247.

[13] John M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris – Indonesia, Penerbit; Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 3.

[14] Effendi Perangin, Op.Cit., hlm. 122.

[15] A. P. Parlindungan, Op.Cit., hlm. 55.

[16] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, dan Isi Pelaksanaannya, Penerbit; Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 385.

[17] Effendi Perangin, Loc.Cit.

[18] Boedi Harsono, Op.Cit., 2005, hlm. 385.

[19] Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, antara regulasi dan Implementasi, Penerbit: Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 21.

[20] Ibid., hlm. 22.

[21] Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Penerbit: Kencana Pernada Media, Jakarta, 2012, hlm. 119 –   210.

[22] Angger Sigit Pramukti & Erdha Widayanto, Tanah Sengketa (Panduan Mengurus Peralihan Hak atas Tanah Secara Aman), Penerbit: Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, Hlm. 34.

[23] Ibid., hlm. 9.

[24] H. Muhammad Yamin Lubis, dan Abdul Rahim Lubis, Kepemilikan Properti di Indonesia (Termasuk Kepemilikan Rumah Orang Asing), Penerbit: Mandar Maju, Bandung, 2013, hlm. 13.

[25] Djaja S. Meilala, Hukum Perdata dalam Perspektif Burgerlijk Wetboek, Penerbit: Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hlm. 10.

[26] Lihat ketentuan Pasal 499 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

[27] Pasal 1 ayat (1 sampai dengan 3) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.

[28] Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.

[29] Kurniawan Ghazali, Cara Mudah Mengurus Sertifikat Tanah, Kata Pena, Jakarta, 2013, hlm. 35.

[30] Ibid.

[31] Mohammad Machfudh Zarqoni, Hak atas Tanah (Perolehan, Asal dan Turunannya, serta Kaitannya dengan Jaminan Kepastian Hukum Legal Guaranteemaupun Perlindungan Hak Kepemilikannya Property Right”), Penerbit: Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, 2015, hlm. 14.

[32] H. Muhammad Yamin Lubis, dan Abdul Rahim Lubis, Op.Cit., hlm. 23.

[33] Menurut Boedi Harsono, bahwa Hak Pengelolaan pada dasarnya bukan ha katas tanah, melainkan merupakan gempilan dari hak menguasai negara. Penggunaan istilah “gempilan” didasarkan pada ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, yang menentukan Hak Pengelolaan sebagai Hak Menguasai Negara yang sebagian kewenangannyadilimpahkan kepada pemegangnya. Hak pengelolaan diberikan dengan tujuan bahwa tanah tersebut disediakan untuk penggunaan pihak – pihak lain yang memerlukan. Dalam penyediaan dan pemberian tanah itu, pemegang hak pengelolaan diberikan kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan bagian dari kewenangan negara yang diatur dalam Pasal 2 UUPA. Dengan demikian, pengertian Hak Pengelolaan adalah hak penguasaan atas tanah negara dengan maksud untuk digunakan sendiri oleh pemegang haknya atau pemegang hak dapat memeberikan suatu hak kepada pihak ketiga dengan wewenang untuk: a) Merencanakan peruntukan dan penggunaan hak atas tanah tersebut; b) Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya; dan c) Menyerahkan bagian tanah tersebut untuk pihak ketiga dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, yang pemberian hak atas bagian tanah – tanah tersebut tetap dilakukan oleh Pejabat yang berwenang. Dikutip dari Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan; Seri Hukum Pertanahan I dan II, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 55.

Published by achmadnizam_lawyer

Member of Indonesian Advocates Association (Perhimpunan Advokat Indonesia) - Pengurus Bidang Hubungan Masyarakat dan Publikasi DPC PERADI Surabaya. Managing Partners Achmad Nizam & Associates (Advocate & Counsellor at Law) Phone: 087823859065

One thought on “PENERAPAN LARANGAN PEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE SEBAGAI OBYEK LANDREFORM DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK – POKOK AGRARIA (UUPA)

Leave a comment